Meulaboh (ANTARA Aceh) - Jaksa Penuntut Umum menuntut enam terdakwa nelayan Kabupaten Aceh Barat masing-masing dengan hukuman pidana tiga bulan penjara, karena terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan pelanggaran menggunakan alat tangkap yang dilarang undang-undang.
JPU Maiman Limbong, SH pada amar tuntutan pada sidang lanjutan di Pengadilan Negeri Meulaboh, Rabu menyampaikan, selain pidana penjara, masing-masing terdakwa juga dituntut membayar denda Rp1 juta atau subsider satu bulan penjara.
Keenam terdakwa dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana memiliki, menguasai, membawa dan/atau menggunakan alat bukti penangkap ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP-NRI).
Barang bukti kapal dinahkodai oleh keenam terdakwa, fiber, serta dokumen-dokumen terkait kapal, dikembalikan kepada yang berhak melalui terdakwa, serta merampas dan memusnahkan satu set jaring trawl serta ikan campuran sekitar 15 kilogram.
Enam nelayan Aceh Barat tersebut sebelumnya ditangkap pada 23 Maret 2017 oleh Pol Air Polres Aceh Barat bersama Pol Air Polda Aceh saat beraktivitas di wilayah perairan setempat, komunitas nelayan tradisional Aceh terus melakukan upaya desakan lewat aksi di depan PN Meulaboh, agar ke enam terdakwa dibebaskan.
Penasehat hukum terdakwa dari LBH Banda Aceh Pos Meulaboh, Herman, SH mengatakan, kleinnya dinyatakan JPU terbukti bersalah melakukan tindak pidana pasal 85 Undang-Undang RI Nomor 45 Tahun 2009.
"Kami selaku kuasa hukum akan melakukan pledoi karena berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dimuka persidangan, bahwa keenam terdakwa tidak pernah mendapatkan pemahaman yang utuh terkait penggunaan alat tangkap yang dilarang," katanya.
Kondisi tersebut bertolak belakang dengan Surat Edaran Nomor B.1/SJ/PL.610/I/2017 yang dikeluarkan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia tentang Pendampingan Penggantian Alat Penangkapan Ikan yang dilarang Beroperasi di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia, yang berlaku sejak 3 Januari 2017.
Dalam edaran itu yang mewajibkan negara yang dalam hal ini Pemprov maupun kabupaten dan instansi terkait Dinas Kelautan dan Perikanan untuk melakukan langkah-langkah pendampingan atau asistensi terhadap nelayan dalam hal proses pengalihan penggunaan alat tangkap dari yang dilarang menjadi alat tangkap yang diperbolehkan.
Herman menganggap, ada suatu kondisional yang nyatanya terjadi yakni suatu pengabaian oleh negara dan sangat ironis apabila akibat kontribusi negara yang abai mengharuskan enam terdakwa nelayan kecil Aceh ini dijerat pidana.
"Kami mendesak pemerintah melakukan evaluasi menyeluruh terkait fenomena regulasi tersebut, guna penjamin, pemenuhan, penghormatan serta perlindungan terhadap warga negara khususnya nelayan," tegasnya.
Dalam sidang perkara dugaan tindak pidana perikanan di Pengadilan Negeri Meulaboh itu diketuai Majelis Hakim Said Hasan, SH dan menghadirkan enam terdakwa yakni Bahtiar, Erfin, Yuli, Aliman, M Mizar, dan M Din.