Peneliti LIPI, Prof Dr Syamsuddin Haris, mengatakan, selentingan isu yang berkembang tentang penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) KPK bisa berdampak pada pemakzulan Presiden Joko Widodo merupakan pembodohan publik.
"Ini pembodohan publik, bukan saja salah paham tapi paham yang salah. Pemakzulan itu tidak seperti itu," kata dia, di Jakarta, Minggu.
Pemakzulan sesuai konstitusi, kata dia, bisa terjadi kalau presiden melakukan pelanggaran hukum yang mencakup pengkhianatan terhadap negara, tindak kriminal, penyuapan atau presiden melakukan perbuatan tercela.
"Dan yang melakukan penilaian atas semua itu adalah Mahkamah Konstitusi bukan partai politik di dewan, jadi jangan salah tidak tepat Perppu dihubungkan dengan pemakzulan," katanya.
Presiden Joko Widodo seharusnya tidak perlu terganggu oleh isu pemakzulan dalam mengambil keputusan soal penerbitan Perppu KPK.
Sebagian publik menolak UU KPK hasil revisi karena diyakini melemahkan lembaga antikorupsi itu, sehingga perlu dibatalkan, ditinjau ulang atau menunda penggunaan UU KPK itu dengan cara penerbitan Perppu oleh presiden.
Haris menilai UU KPK hasil revisi terdapat cacat prosedural sebab undang-undang itu disusun secara diam-diam, tergesa-gesa serta tanpa partisipasi publik.
"Bahkan, tanpa melibatkan KPK sebagai pemangku kepentingan utama sebagai lembaga utama yang diatur di dalam undang-undang itu," kata dia.
Selain cacat prosedural, dia juga menilai UU KPK cacat secara substansi sebab isinya melemahkan institusi anti rasuah itu.
"Saya bahkan mengatakannya sebagai pelumpuhan atas KPK dan ini bertentangan dengan visi Presiden Jokowi yang ingin mengawal KPK dan memberantas korupsi, oleh sebab itu presiden mesti menerbitkan Perppu untuk membatalkannya," ujar dia.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2019