Penemuan lima bangkai gajah sumatera di kawasan Desa Tuwi Priya, Kecamatan Pasie Raya, Kabupaten Aceh Jaya, Provinsi Aceh, Rabu (1/1) lalu menjadi kado terburuk bertepatan dengan Tahun Baru 2020.
Sebanyak lima bangkai gajah itu diduga sengaja dijerat melalui pagar kawat bertegangan listrik yang terpasang dengan ketinggian 1,5 meter.
Penyidik Kepolisian Resor Aceh Jaya mengaku telah mengantongi sejumlah nama diduga pelaku yang menjerat kawanan satwa liar yang dilindungi tersebut, namun belum ditetapkan sebagai tersangka.
"Untuk sementara kita belum tetapkan (tersangka, red.) karena kita masih memilih, kalau kita lihat dari kejadian itu kan banyak yang terlibat. Maka dari itu kita masih memilih mana yang sangat memungkinkan untuk dijadikan tersangka," kata Kasat Reskrim Polres Aceh Jaya Iptu Bima Nugraha Putra di Banda Aceh, akhir pekan lalu.
Proses hukum dalam kasus ini masih terus berlanjut. Menurut Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh ada lima ekor gajah yang mati, berdasarkan identifikasi dari tengkorak dan tulang-belulang yang ditemukan di lokasi kejadian.
BKSDA Aceh menyerahkan proses hukum kasus itu kepada Polres Aceh Jaya, dengan harapan polisi dapat mengungkap motif dari kematian lima ekor satwa bertubuh besar tersebut.
Di sisi lain, konflik gajah liar dengan manusia masih terus terjadi di daerah berjulukan Serambi Mekkah ini, beberapa di antaranya di kawasan Kecamatan Pintu Rime Gayo, Kabupaten Bener Meriah dan Kecamatan Mila, Kabupaten Pidie.
Pada Sabtu (18/1) lalu, kawanan gajah liar kembali merusak satu rumah warga di Desa Blang Rakal, Kecamatan Pintu Rime Gayo, Bener Meriah. Dinding kayu, atap seng, serta kasur di rumah itu berhamburan.
Kawanan gajah liar itu juga ikut merusak tanaman di perkebunan milik warga, seperti menumbangkan pohon pinang, pisang, dan bahkan batang durian. Hal yang sama juga dialami sejumlah desa di kecamatan setempat.
"Iya satu rusak. Dalam minggu (pekan, red.) ini satu rumah dirusak kawanan gajah (liar, red.)," kata Kepala Desa Blang Rakal Rahmadi di Bener Meriah, Sabtu lalu.
Dia menjelaskan konflik gajah dengan masyarakat itu tidak hanya terjadi sejak sebulan terakhir, namun sejak 2014 silam. Kawanan gajah itu secara terus-menerus memasuki pemukiman warga hingga awal 2020.
Kawanan satwa berbelalai itu merusak rumah-rumah dan perkebunan masyarakat. Persoalan ini telah dilaporkan ke pemerintah daerah, namun belum menuai solusi konkret.
"Konflik ini sudah sejak 2014. Khusus di Kampung (Desa, red.) Blang Rakal ini ada 18 rumah rusak, satu orang meninggal, dan lima orang cedera," katanya.
Dalam sebulan terakhir, terpantau sekitar tujuh ekor gajah liar dalam satu kawanan memasuki pemukiman warga di Blang Rakal sehingga menimbulkan keresahan warga.
Sejak 2014, konflik itu terus berlanjut. Ada beberapa waktu, kawanan gajah itu keluar meninggalkan perkampungan dan kembali ke pemukiman sekitar enam bulan ke depan.
"Jadi kami masyarakat sangat resah dengan keberadaan gajah liar ini," katanya.
Selama ini, masyarakat melakukan pengusiran kawanan gajah itu dari perkampungan bersama petugas Conservation Response Unit (CRU) Das Peusangan Bener Meriah, menggunakan petasan api.
"Harapan kami segera ada tanggapan dari pemerintah daerah untuk mengeluarkan gajah-gajah liar ini dari kampung kami," katanya.
Petugas CRU Das Peusangan, Yusuf, mengatakan konflik satwa dengan masyarakat di daerah itu telah berlangsung lama.
Dalam kurun waktu sebulan terakhir, terpantau pihaknya sekitar 34 ekor gajah liar memasuki pemukiman yang tersebar di sejumlah desa di kecamatan setempat.
"Ada satu ekor gajah liar, namanya Magna bertubuh dan belalainya besar. Dia suka main solo (sendiri, red.), masuk kampung-kampung, bahkan kemarin (masuk, red.) ke pekarangan sekolah," katanya.
Sejak berdiri pada 2016, CRU Das Peusangan terus melakukan penggiringan gajah-gajah liar itu dengan menggunakan gajah jinak, sebagai upaya meminimalisasi konflik satwa itu dengan manusia.
Untuk Das Peusangan wilayahnya mencakupi Bireuen, Bener Meriah, dan Aceh Tengah. Di kawasan itu, terdapat 60 ekor lebih gajah liar.
"Selama ini kalau turun (ke kampung, red.) gajah kami giring dengan gajah jinak dan menggunakan marcon (petasan api). Kadang-kadang lari gajahnya, kadang-kadang enggak lari juga," katanya.
Upaya
BKSDA Aceh menyebutkan pihaknya sedang membangun parit penghalau gajah (barier), dalam upaya penanganan konflik gajah liar dengan masyarakat yang kerap terjadi di Bener Meriah.
"Di Bener Meriah sedang berjalan pembuatan barier yang kurang lebih panjangnya 15 kilometer, yang harapannya ini bisa meminimalisir konflik yang terjadi di Bener Meriah," kata Kepala BKSDA Aceh Agus Arianto di Banda Aceh.
Pemerintah pusat dan Pemerintah Aceh juga telah memiliki sejumlah strategi dalam penanganan konflik gajah dengan manusia, di mana ada yang sudah mulai berjalan dan beberapa yang segera direalisasikan.
Hal itu, katanya, termasuk pembuatan qanun (perda) tentang pengelolaan satwa liar, yang merupakan wujud kepedulian Pemerintah Aceh terhadap pelestarian satwa liar.
Pengesahan qanun ini akan berdampak positif dalam penyelesaian konflik satwa di Aceh.
"Khususnya inisiasi-inisiasi yang terkait dengan kawasan ekosistem esensial yang memang itu menjadi salah satu solusi jangka panjang yang kita lakukan untuk mengatasi konflik-konflik yang terjadi saat ini," katanya.
Petugas BKSDA Aceh juga terus melakukan upaya pengusiran gajah-gajah liar yang memasuki pemukiman, seperti di kawasan Kecamatan Mila.
Bahkan, memasang GPS collar kepada salah satu gajah dalam kawanan guna mempermudah strategi dalam penggiringan mereka kembali ke hutan.
Populasi
BKSDA Aceh mencatat populasi gajah sumatera di Aceh sekitar 539 ekor. Data-data tersebut perlu diperbaharui guna mendapatkan data terbaru.
Mengawali 2020, BKSDA Aceh juga menyebutkan terdapat lima ekor gajah mati di Aceh Jaya dan satu ekor bayi gajah ditemukan mati di Aceh Utara. Tercatat 38 ekor gajah mati sejak 2016 dengan berbagai penyebab.
Agus menyebut konflik satwa liar dengan manusia tersebut terjadi tidak terlepas dari habitatnya yang semakin terganggu.
Habitat gajah semakin berkurang dan bahkan 85 persen populasinya telah berada di luar kawasan konservasi dan juga di luar kawasan hutan.
"Konflik satwa tidak terlepas habitat sudah terganggu,” katanya.
Frekuensi konflik gajah dengan manusia terus meningkat dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Tercatat pada 2016 sebanyak 39 kali konflik, pada 2017 sebanyak 103 kali, pada 2018 turun menjadi 73 kali, dan pada 2019 naik kembali menjadi 107 kali.
"Konflik satwa semakin meningkat selama lima tahun terakhir. Meningkat ini juga ditambah tidak ada strategi khusus penanganan konflik,” katanya.
Data kematian gajah tercatat dari 2016 hingga 2020 terdapat 38 ekor dengan penyebabnya 74 persen karena konflik, 14 persen karena perburuan, dan 12 persen mati secara alami.
Langkah sosialisasi untuk menjaga lingkungan hutan dan melestarikan habitat gajah di daerah itu selayaknya terus-menerus disosialisasikan kepada masyarakat guna meminimalisasi konflik gajah dan manusia.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2020
Sebanyak lima bangkai gajah itu diduga sengaja dijerat melalui pagar kawat bertegangan listrik yang terpasang dengan ketinggian 1,5 meter.
Penyidik Kepolisian Resor Aceh Jaya mengaku telah mengantongi sejumlah nama diduga pelaku yang menjerat kawanan satwa liar yang dilindungi tersebut, namun belum ditetapkan sebagai tersangka.
"Untuk sementara kita belum tetapkan (tersangka, red.) karena kita masih memilih, kalau kita lihat dari kejadian itu kan banyak yang terlibat. Maka dari itu kita masih memilih mana yang sangat memungkinkan untuk dijadikan tersangka," kata Kasat Reskrim Polres Aceh Jaya Iptu Bima Nugraha Putra di Banda Aceh, akhir pekan lalu.
Proses hukum dalam kasus ini masih terus berlanjut. Menurut Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh ada lima ekor gajah yang mati, berdasarkan identifikasi dari tengkorak dan tulang-belulang yang ditemukan di lokasi kejadian.
BKSDA Aceh menyerahkan proses hukum kasus itu kepada Polres Aceh Jaya, dengan harapan polisi dapat mengungkap motif dari kematian lima ekor satwa bertubuh besar tersebut.
Di sisi lain, konflik gajah liar dengan manusia masih terus terjadi di daerah berjulukan Serambi Mekkah ini, beberapa di antaranya di kawasan Kecamatan Pintu Rime Gayo, Kabupaten Bener Meriah dan Kecamatan Mila, Kabupaten Pidie.
Pada Sabtu (18/1) lalu, kawanan gajah liar kembali merusak satu rumah warga di Desa Blang Rakal, Kecamatan Pintu Rime Gayo, Bener Meriah. Dinding kayu, atap seng, serta kasur di rumah itu berhamburan.
Kawanan gajah liar itu juga ikut merusak tanaman di perkebunan milik warga, seperti menumbangkan pohon pinang, pisang, dan bahkan batang durian. Hal yang sama juga dialami sejumlah desa di kecamatan setempat.
"Iya satu rusak. Dalam minggu (pekan, red.) ini satu rumah dirusak kawanan gajah (liar, red.)," kata Kepala Desa Blang Rakal Rahmadi di Bener Meriah, Sabtu lalu.
Dia menjelaskan konflik gajah dengan masyarakat itu tidak hanya terjadi sejak sebulan terakhir, namun sejak 2014 silam. Kawanan gajah itu secara terus-menerus memasuki pemukiman warga hingga awal 2020.
Kawanan satwa berbelalai itu merusak rumah-rumah dan perkebunan masyarakat. Persoalan ini telah dilaporkan ke pemerintah daerah, namun belum menuai solusi konkret.
"Konflik ini sudah sejak 2014. Khusus di Kampung (Desa, red.) Blang Rakal ini ada 18 rumah rusak, satu orang meninggal, dan lima orang cedera," katanya.
Dalam sebulan terakhir, terpantau sekitar tujuh ekor gajah liar dalam satu kawanan memasuki pemukiman warga di Blang Rakal sehingga menimbulkan keresahan warga.
Sejak 2014, konflik itu terus berlanjut. Ada beberapa waktu, kawanan gajah itu keluar meninggalkan perkampungan dan kembali ke pemukiman sekitar enam bulan ke depan.
"Jadi kami masyarakat sangat resah dengan keberadaan gajah liar ini," katanya.
Selama ini, masyarakat melakukan pengusiran kawanan gajah itu dari perkampungan bersama petugas Conservation Response Unit (CRU) Das Peusangan Bener Meriah, menggunakan petasan api.
"Harapan kami segera ada tanggapan dari pemerintah daerah untuk mengeluarkan gajah-gajah liar ini dari kampung kami," katanya.
Petugas CRU Das Peusangan, Yusuf, mengatakan konflik satwa dengan masyarakat di daerah itu telah berlangsung lama.
Dalam kurun waktu sebulan terakhir, terpantau pihaknya sekitar 34 ekor gajah liar memasuki pemukiman yang tersebar di sejumlah desa di kecamatan setempat.
"Ada satu ekor gajah liar, namanya Magna bertubuh dan belalainya besar. Dia suka main solo (sendiri, red.), masuk kampung-kampung, bahkan kemarin (masuk, red.) ke pekarangan sekolah," katanya.
Sejak berdiri pada 2016, CRU Das Peusangan terus melakukan penggiringan gajah-gajah liar itu dengan menggunakan gajah jinak, sebagai upaya meminimalisasi konflik satwa itu dengan manusia.
Untuk Das Peusangan wilayahnya mencakupi Bireuen, Bener Meriah, dan Aceh Tengah. Di kawasan itu, terdapat 60 ekor lebih gajah liar.
"Selama ini kalau turun (ke kampung, red.) gajah kami giring dengan gajah jinak dan menggunakan marcon (petasan api). Kadang-kadang lari gajahnya, kadang-kadang enggak lari juga," katanya.
Upaya
BKSDA Aceh menyebutkan pihaknya sedang membangun parit penghalau gajah (barier), dalam upaya penanganan konflik gajah liar dengan masyarakat yang kerap terjadi di Bener Meriah.
"Di Bener Meriah sedang berjalan pembuatan barier yang kurang lebih panjangnya 15 kilometer, yang harapannya ini bisa meminimalisir konflik yang terjadi di Bener Meriah," kata Kepala BKSDA Aceh Agus Arianto di Banda Aceh.
Pemerintah pusat dan Pemerintah Aceh juga telah memiliki sejumlah strategi dalam penanganan konflik gajah dengan manusia, di mana ada yang sudah mulai berjalan dan beberapa yang segera direalisasikan.
Hal itu, katanya, termasuk pembuatan qanun (perda) tentang pengelolaan satwa liar, yang merupakan wujud kepedulian Pemerintah Aceh terhadap pelestarian satwa liar.
Pengesahan qanun ini akan berdampak positif dalam penyelesaian konflik satwa di Aceh.
"Khususnya inisiasi-inisiasi yang terkait dengan kawasan ekosistem esensial yang memang itu menjadi salah satu solusi jangka panjang yang kita lakukan untuk mengatasi konflik-konflik yang terjadi saat ini," katanya.
Petugas BKSDA Aceh juga terus melakukan upaya pengusiran gajah-gajah liar yang memasuki pemukiman, seperti di kawasan Kecamatan Mila.
Bahkan, memasang GPS collar kepada salah satu gajah dalam kawanan guna mempermudah strategi dalam penggiringan mereka kembali ke hutan.
Populasi
BKSDA Aceh mencatat populasi gajah sumatera di Aceh sekitar 539 ekor. Data-data tersebut perlu diperbaharui guna mendapatkan data terbaru.
Mengawali 2020, BKSDA Aceh juga menyebutkan terdapat lima ekor gajah mati di Aceh Jaya dan satu ekor bayi gajah ditemukan mati di Aceh Utara. Tercatat 38 ekor gajah mati sejak 2016 dengan berbagai penyebab.
Agus menyebut konflik satwa liar dengan manusia tersebut terjadi tidak terlepas dari habitatnya yang semakin terganggu.
Habitat gajah semakin berkurang dan bahkan 85 persen populasinya telah berada di luar kawasan konservasi dan juga di luar kawasan hutan.
"Konflik satwa tidak terlepas habitat sudah terganggu,” katanya.
Frekuensi konflik gajah dengan manusia terus meningkat dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Tercatat pada 2016 sebanyak 39 kali konflik, pada 2017 sebanyak 103 kali, pada 2018 turun menjadi 73 kali, dan pada 2019 naik kembali menjadi 107 kali.
"Konflik satwa semakin meningkat selama lima tahun terakhir. Meningkat ini juga ditambah tidak ada strategi khusus penanganan konflik,” katanya.
Data kematian gajah tercatat dari 2016 hingga 2020 terdapat 38 ekor dengan penyebabnya 74 persen karena konflik, 14 persen karena perburuan, dan 12 persen mati secara alami.
Langkah sosialisasi untuk menjaga lingkungan hutan dan melestarikan habitat gajah di daerah itu selayaknya terus-menerus disosialisasikan kepada masyarakat guna meminimalisasi konflik gajah dan manusia.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2020