Banda Aceh (ANTARA Aceh) - PT Surya Panen Subur (SPS) yang memiliki lahan di Kabupaten Nagan Raya, Provinsi Aceh, telah melakukan upaya pemadaman saat terjadi kebakaran di lahannya pada tahun 2012. Dalam melaksanakan pembukaan dan pengolahan lahan pun perusahaan sudah menerapkan teknologi PLTB (Pembukaan Lahan Tanpa Bakar), terlihat dari rumpukan pada lahan yang tidak terbakar dan sisa-sisa bekas kebakaran pada rumpukan serta jalur tanaman yang sudah dibersihkan. 

Hal itu diungkapkan oleh saksi ahli dari Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, Ir. I Gede Putu Karwadi, MSi, saat sidang kasus pidana kebakaran lahan di Pengadilan Negeri (PN) Meulaboh, Selasa, 28 April 2015. Penjelasan ahli di depan majelis hakim itu berdasarkan pada pengamarannta selama dua kali kunjungan lapangan pada bulan September 2012.

Menurut Putu, PT SPS sudah selesai melaksanakan pembukaan lahan dan lahan pun sudah ditanami sawit hingga berumur satu tahun. Dari pelacakan dokumen, benih kelapa sawit (benih impor) termasuk benih dengan varietas unggul. "Jadi, tdak masuk bila dituduh bahwa perusahaan sengaja membakar lahannya," ungkapnya.

Menurut telaah dokumen import benih kelapa sawit PT SPS, disimpulkan bahwa perusahaan telah melalui serangkaian proses yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku. “Bibit tersebut sudah melalui peraturan karantina yang meliputi: pengasingan, pengamatan, dan pemusnahan. Proses ini (pengasingan dan pengamatan) dilakukan selama 6 bulan,” jelas Putu. 

Selain itu, benih ini disertai pula dengan surat Keterangan Mutu Benih (Information Required For Seed Introduction/Important To Indonesia) yang dikeluarkan oleh ASD Costarica dengan penjelasan bahwa benih kelapa sawit yang dimaksud merupakan benih unggul, bermutu, dan sangat sesuai dengan kondisi lahan di Indonesia termasuk lahan gambut. 

Saksi ahli menjelaskan bahwa perusahaan telah menerapkan manajemen pengelolaan lahan PLTB secara benar. Hal itu terlihat dari kondisi blok kebun yang tidak terbakar di lapangan, terlihat adanya bekas kebakaran pada rumpukan dahan. Sisa-sisa kebakaran di jalur rumpukan terdiri dari bekas pohon/kayu, cabang dan ranting. Pada bagian blok kebun yang tidak terbakar yang lokasinya masih dalam satu blok terlihat rumpukan yang terdiri dari bekas rencekan cabang dan ranting serta batang kayu yang tidak terbakar dan sudah ditutupi oleh semak dan paku-pakuan. 

Atas bukti-bukti tersebut di atas, saksi menampik tuduhan bahwa PT SPS membuka lahan dengan cara membakar, mengingat proses pembukaan/pengolaan lahan sudah selesai dilakukan. Untuk mengantisipasi terjadinya kebakaran kebun, PT SPS juga sudah mengupayakan penyediaan sarana dan prasarana.  

Tidak Merusak Lahan Gambut 

Sehari sebelumnya, dihadirkan saksi ahli lainnya, yakni Gusti Z Anshari, ahli lingkungan dari Universitas Tanjungpura (Untan), Pontianak, Kalimantan Barat. Dalam persidangan, saksi ahli mengatakan bahwa kebakaran kebun PT SPS tidak merusak gambut karena kebakaran hanya terjadi di permukaan kebun.

"Ada bekas-bekas tanda kebakaran. Kebakaran di sana hanya di lapisan atas, terutama kayu-kayu," kata Gusti saat memberikan keterangan sebagai saksi kasus kebakaran kebun lahan SPS di  Pengadilan Negeri Meulaboh, NAD, Senin (27/4).

Ahli yang meneliti pengaruh kebakaran terhadap pencemaran tanah ini mengatakan, mengambil sampel tanah dari lahan yang terbakar dan tidak terbakar untuk diuji di laboratorium. "Cara ambil sampel kami pakai alat bor untuk gambut. Sampel diambil di beberapa kedalaman dan sampel paling dalam dalan untuk kontrol. Total ada 42 sampel yang kami ambil, lalu kami analisis kadar PH, abu, dan air di laboratorium," ujarnya.

Kesimpulannya, kebakaran lahan di lahan SPS merupakan kebakaran permukaan (surface fire), karena kebakaran tidak berlangsung lama, yakni hanya sekitar 4 hari. "Ini kebakaran permukaan, kebakaran relatif singkat dan tidak terjadi kebakaran bagian bawah gambut. Dari hasil uji penelitian, kondisi gambut masih bisa menyerap air. Kalau terjadi kebakaran sempurna, maka gambut akan kehilangan fungsi untuk menyerap air, sehingga gambut akan mengapung. PH juga tidak berbeda secara signifikan antara permukaan dan bagian bawah gambut," tandasnya.

Menurut Gusti, kebakaran di lahan SPS merupakan kebakaran tidak sempurna, karena masih ditemukan sejumlah arang-arang kayu. Namun Gusti tidak bisa memastikan penyebab kebakaran, ia hanya berasumsi kebakaran itu terjadi sebagai musibah.

Gusti mengatakan, ia melihat ada upaya untuk memadamkan api. "Karena kebakaran hanya terjadi di blok tertentu saja dan tidak menyebar, saya menduga ada upaya meminimalisir kebakaran, di antaranya membuat kanal. Ada periode cukup lama tidak turun hujan," tandasnya.

Saat kuasa hukum tergugat SPS bertanya, apakah kebakaran itu berdampak pada polusi gas rumah kaca, Gusti mengaku sulit memastikannya, karena belum ada penelitian kebakaran itu  menyatakan adanya pengaruh terhadap emisi rumah kaca.

"Ini masalah global sulit dipaparkan, setiap pembakaran itu ada efek rumah kaca, karbon dioksida itu siklus, dan kalau organik terbakar itu terdekomposisi. Ini tidak langsung jadi penyebab pemanasan global, karena ada yang diserap kembali oleh tanaman dan plankton di laut. Terlalu sulit untuk simpulkan terjadi pemanasan global karena hanya satu kali kebakaran. Saat ini panas karena banyak terjadi akibat pembakaran BBM dan energi fosil," paparnya.

Efek gas rumah kaca dari kebakaran lahan tersebut kemungkinan bisa dihitung jika pada saat kebakaran ada pengambilan sampel asap. "Misalnya di kabut asap berapa kandungannya. Ini bisa diukur saat terjadi kebakaran dengan ambil sampel, tanpa itu sulit untuk diukur," tandasnya.

Pewarta:

Uploader : Salahuddin Wahid


COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2015