Pihak legislatif dan eksekutif pemerintah kabupaten (Pemkab) Aceh Tamiang sepakat akan melakukan konsultasi terkait status pegawai daerah dengan perjanjian kerja (PDPK/honorer) di daerah itu ke dua lembaga Kementerian di Jakarta.

“Jadi kita DPRK dan eksekutif ke Jakarta. Kita konsultasi ke sana, karena aturannya di sana. Kita ke Menpan RB termasuk juga ke Kementerian Keuangan karena urusan ini bukan Kemen PAN-RB. Disetujui oleh Kemen PAN tapi tidak tersedia anggaran dari Kemenkeu nanti bisa kacau juga ini,” kata Sekdakab Aceh Tamiang Asra di Karang Baru, Senin.

Asra menyatakan hal itu dalam pertemuan dengan Forum Honorer PDPK Aceh Tamiang yang melakukan unjuk rasa di gedung DPRK Aceh Tamiang. Delegasi PDPK yang dikoordinatori Bunyamin diterima oleh pimpinan kolektif dewan dan anggota Komisi 1.

Pemkab Aceh Tamiang minta DPRK menentukan tanggal berangkat ke Jakarta secepatnya supaya nasib PDPK tidak mengambang. Apapun hasil konsultasi dari Kemenpan RB akan dijalankan di daerah. Tujuan menghadap pihak Kementerian adalah mencari solusi, apa yang harus dibuat pemerintah daerah bersama legislatif untuk menyikapi nasib PDPK Aceh Tamiang 2.000 orang ini.

“Ini kan, yang terjadi pemerintah pusat membuat aturan daerah, kita yang menahan protes di sini,” tegas Sekda.

Asra telah memerintahkan bawahannya pejabat BKPSDM dan DPKD Aceh Tamiang untuk membangun komunikasi yang efektif ke pihak Kementerian agar tidak sia-sia pergi ke Jakarta. Sekda memastikan minimal minggu depan unsur eksekutif dan legislatif serta perwakilan forum honorer sudah berangkat.

Sekda Aceh Tamiang juga tak sungkan bersedia mengajak unsur pemda lain seperti Aceh Utara atau Aceh Besar yang kabarnya masih bisa menganggarkan gaji tenaga honorer/PDPK pada APBK TA 2023.

 “Saya sepakat ingin tahu ke depan bagaimana biar ada jawaban dari pusat. Jangan nanti selesai ini, bulan November tahun depan ada unjukrasa seperti ini lagi, jadi tidak jelas nasib kita ke depan,” ujarnya.

Menurut Asra dalam RAPBK 2023, Pemkab Aceh Tamiang telah mengalokasikan dana sekitar Rp5,2 milyar untuk mempekerjakan tenaga PDPK melalui program outsourcing memggunakan kode pembayaran administrasi lainnya. Hal itu dilakukan karena PP 49/2018 dan UU tentang ASN telah menghilangkan kode pembayaran honorarium honorer/PDPK pada 2023 mendatang.

Saat ini, lanjut Sekda adalah kondisi transisi peralihan status ASN dari pemerintah pusat yang hanya masuk dalam dua kategori yaitu PNS dan PPPK. Selain status dua tersebut maka tidak masuk dalam status kepegawaian. Sementara dalam rekrutmen PPPK banyak PDPK pesimis bisa lulus karena sejumlah faktor.

Namun permasalahannya sampai saat ini belum ada keputusan yang tetap dan terukur dari pemerintah pusat terhadap ketentuan tersebut. Disinyalir masih terjadi beda pendapat antara Menpan RB dan Kemenkeu RI dalam menyikapi hal dimaksud, menyebabkan kesulitan bagi pemerintah daerah termasuk Aceh Tamiang dalam mengambil kebijakan tentang permasalahan tenaga honorer/PDPK di daerah.

Sementara bila Pemkab Aceh Tamiang tetap mengakomodir alokasi anggaran untuk kelompok PDPK tersebut, sedangkan kode pembayaran sudah dihapus oleh pemerintah pusat dikhawatirkan akan menjadi temuan oleh BPK serta melanggar Undang-Undang tentang ASN.

“Begitu dibayar nanti atau besok orang keuangan DPKD yang bermasalah. Kan, jadi masalah juga, artinya jangan ini enak, di sini enggak enak, semua harus sama-sama enak,” tukas Sekda.

Anggota Komisi 1 DPRK DPRK Maulizar Zikri menyatakan tetap memperjuangkan status pemberdayaan tenaga honorer daerah yang tidak terakomodir dalam rekrutmen PPPK tersebut. Selain rencana bertemu Kementerian terkait, pihaknya juga akan konsultasi ke daerah lain karena ada Kabupaten/Kota di Aceh masih tetap menganggarkan hingga 2023.

“Kita lihat Aceh Besar, Meulaboh atau pun Kota Subulussalam kenapa bisa. Ini kita butuh waktu untuk konsultasi kemana uang PDPK itu dicangkokan, karena di kita sendiri uang Rp5,2 miliar itu untuk outsourcing/pihak ketiga,” kata Zikri.

Seandainya konsultasi ke daerah nanti bisa, lanjut Zikri apabila ke Menpan RB, pihak dewan khusus menanyakan bagaimana status keuangan untuk menganggarkan PDPK. Artinya harus cari tahu pakai aturan apa, kenapa daerah lain bisa Aceh Tamiang tidak bisa. 

“Karena dari angka Rp5 miliar sudah ada biasanya kami anggarkan Rp24 miliar/tahun tinggal lagi kesepakatan dari tim TAPK dan tim Banggar nanti mau tidak kalau memang aturannya bisa ini,” ujar politisi NasDem ini.

Sebelumnya para PDPK ramai-ramai menggeruduk gedung DPRK mempertanyakan kejelasan status dan anggaran gaji mereka tidak dianggarkan lagi pada 2023. Aksi unjukrasa pegawai non-PNS ini demi memperjuangkan nasib mereka yang terancam di rumahkan. PDPK yang tergabung dalam forum ini menilai hingga saat ini belum ada sikap pasti dari pemda setempat terkait penerimaan PPPK yang belum bisa terdaftar semuanya.

Adapun pernyataan sikap para PDPK yang sudah mengabdi bertahun-tahun ini meminta kepada legislatif dan eksekutif Aceh Tamiang agar dapat mencarikan solusi supaya tenaga PDPK yang tidak terdaftar dalam program PPPK tetap bekerja dan mendapatkan gaji pada 2023 dan seterusnya.

Pewarta: Dede Harison

Editor : Heru Dwi Suryatmojo


COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2022