Organisasi masyarakat sipil pemerhati isu pengungsi dan pencari suaka meminta Pemerintah Indonesia menghargai hak pengungsi Rohingya yang masuk ke perairan Indonesia berdasarkan hukum baik lokal, nasional dan internasional.
"Pemerintah harus menjamin penyelamatan pengungsi Rohingya yang masuk perairan Indonesia," kata Project Koordinator Jesuit Refugee Service Hendra Saputra, di Banda Aceh, Kamis.
Desakan masyarakat sipil itu sebagai respon atas tindakan Pemerintah Kota Lhokseumawe dan TNI AL yang melakukan kegiatan mencegah masuknya pengungsi etnis Rohingya ke perairan Indonesia.
Baca juga: Puluhan warga Rohingya kembali mendarat di Aceh, kali ini ke Bireuen
Sebelumnya, Prajurit Pangkalan TNI Angkatan Laut (Lanal) Lhokseumawe bersama aparat Pemerintah Kota Lhokseumawe melakukan patroli laut terpadu dalam upaya mengantisipasi masuknya imigran etnis Rohingya ke perairan laut Aceh, Kamis (19/10).
Patroli terpadu itu melibatkan puluhan prajurit TNI menggunakan KAL Bireuen I-1-70. Upaya tersebut dilakukan menindaklanjuti kedatangan sebanyak 36 orang imigran Rohingya di perairan Bireuen pada Senin lalu (16/10).
Kata Hendra, tindakan itu tidak sesuai dengan komitmen pemerintah terhadap hukum internasional terkait pemenuhan hak asasi manusia yakni pengungsi.
"Pengungsi Rohingya merupakan pengungsi dunia yang mencari perlindungan dan keselamatan dan saat ini berstatus stateless sehingga penghalauan itu sangat tidak relevan," kata Hendra.
Hal senada juga disampaikan Koordinator KontraS Aceh, Azharul Husna menyatakan bahwa dalam Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 Tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri telah mengatur mekanisme perlindungan dan penanganan pengungsi yang
teridentifikasi di wilayah Indonesia.
Perpres itu, kata Husna, memberikan semangat adanya penerimaan negara untuk akses mencari dan mendapatkan suaka sebagai sebuah bentuk perlindungan.
"Tidak ada ketentuan dalam Perpres ini untuk adanya penghalangan atau pencegahan pengungsi untuk masuk ke wilayah Indonesia," kata Husna.
Husna sangat menyayangkan keputusan Pemkot Lhokseumawe dan TNI AL tersebut karena tidak menghargai hak manusia dalam mencari suaka dan bertentangan dengan Perpres 125/2016.
"Tindakan ini juga bertentangan dengan kaidah hukum dan prinsip-prinsip kemanusiaan yang
selama ini diimplementasikan dalam penerimaan kedatangan pengungsi Rohingya," ujarnya.
Dirinya menjelaskan, hukum internasional melalui pasal 98 ayat (1) The United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) menyatakan bahwa adanya kewajiban negara untuk memberikan asistensi dan melakukan penyelamatan terhadap setiap orang yang terancam hilang di laut.
Kemudian, pada bab dua annex International Convention on Maritime and Search Rescue
(Konvensi SAR), khususnya pada paragraf 2.1.1, negara memiliki kewajiban membuat mekanisme penyelamatan dan segera memberikan bantuan kepada kapal yang sedang dalam keadaan darurat.
"Penting untuk dicatat bahwa Indonesia telah meratifikasi dan mengesahkan kedua konvensi tersebut, sehingga kewajiban negara terhadap isi konvensi ini mengikat secara hukum," katanya.
Dirinya menambahkan, masyarakat dan nelayan Aceh telah lama mengakui adanya hukum adat untuk memberikan pertolongan bagi siapapun yang mengalami keadaan darurat di laut.
Sehingga, lanjut Husna, operasi pengamanan dan pencegahan kedatangan pengungsi Rohingya bukan hanya tidak sesuai dengan hukum internasional, tetapi juga dengan kaidah-kaidah adat laut yang telah ada sejak dahulu serta eksis hingga kini.
"Karena itu, kami mendesak pemerintah untuk memberhentikan patroli laut dan melaksanakan mekanisme penyelamatan, penanganan sesuai Perpres 125/2016, hukum internasional, dan hukum adat Aceh jika kembali ditemukan kapal pengungsi Rohingya," demikian Azharul Husna.
Komandan Lanal Lhokseumawe Kolonel Laut (P) Andi Susanto saat patroli pada 19 Oktober lalu mengatakan, pihaknya juga berkoordinasi dengan para nelayan untuk memberi informasi demi mengantisipasi kedatangan imigran.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2023
"Pemerintah harus menjamin penyelamatan pengungsi Rohingya yang masuk perairan Indonesia," kata Project Koordinator Jesuit Refugee Service Hendra Saputra, di Banda Aceh, Kamis.
Desakan masyarakat sipil itu sebagai respon atas tindakan Pemerintah Kota Lhokseumawe dan TNI AL yang melakukan kegiatan mencegah masuknya pengungsi etnis Rohingya ke perairan Indonesia.
Baca juga: Puluhan warga Rohingya kembali mendarat di Aceh, kali ini ke Bireuen
Sebelumnya, Prajurit Pangkalan TNI Angkatan Laut (Lanal) Lhokseumawe bersama aparat Pemerintah Kota Lhokseumawe melakukan patroli laut terpadu dalam upaya mengantisipasi masuknya imigran etnis Rohingya ke perairan laut Aceh, Kamis (19/10).
Patroli terpadu itu melibatkan puluhan prajurit TNI menggunakan KAL Bireuen I-1-70. Upaya tersebut dilakukan menindaklanjuti kedatangan sebanyak 36 orang imigran Rohingya di perairan Bireuen pada Senin lalu (16/10).
Kata Hendra, tindakan itu tidak sesuai dengan komitmen pemerintah terhadap hukum internasional terkait pemenuhan hak asasi manusia yakni pengungsi.
"Pengungsi Rohingya merupakan pengungsi dunia yang mencari perlindungan dan keselamatan dan saat ini berstatus stateless sehingga penghalauan itu sangat tidak relevan," kata Hendra.
Hal senada juga disampaikan Koordinator KontraS Aceh, Azharul Husna menyatakan bahwa dalam Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 Tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri telah mengatur mekanisme perlindungan dan penanganan pengungsi yang
teridentifikasi di wilayah Indonesia.
Perpres itu, kata Husna, memberikan semangat adanya penerimaan negara untuk akses mencari dan mendapatkan suaka sebagai sebuah bentuk perlindungan.
"Tidak ada ketentuan dalam Perpres ini untuk adanya penghalangan atau pencegahan pengungsi untuk masuk ke wilayah Indonesia," kata Husna.
Husna sangat menyayangkan keputusan Pemkot Lhokseumawe dan TNI AL tersebut karena tidak menghargai hak manusia dalam mencari suaka dan bertentangan dengan Perpres 125/2016.
"Tindakan ini juga bertentangan dengan kaidah hukum dan prinsip-prinsip kemanusiaan yang
selama ini diimplementasikan dalam penerimaan kedatangan pengungsi Rohingya," ujarnya.
Dirinya menjelaskan, hukum internasional melalui pasal 98 ayat (1) The United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) menyatakan bahwa adanya kewajiban negara untuk memberikan asistensi dan melakukan penyelamatan terhadap setiap orang yang terancam hilang di laut.
Kemudian, pada bab dua annex International Convention on Maritime and Search Rescue
(Konvensi SAR), khususnya pada paragraf 2.1.1, negara memiliki kewajiban membuat mekanisme penyelamatan dan segera memberikan bantuan kepada kapal yang sedang dalam keadaan darurat.
"Penting untuk dicatat bahwa Indonesia telah meratifikasi dan mengesahkan kedua konvensi tersebut, sehingga kewajiban negara terhadap isi konvensi ini mengikat secara hukum," katanya.
Dirinya menambahkan, masyarakat dan nelayan Aceh telah lama mengakui adanya hukum adat untuk memberikan pertolongan bagi siapapun yang mengalami keadaan darurat di laut.
Sehingga, lanjut Husna, operasi pengamanan dan pencegahan kedatangan pengungsi Rohingya bukan hanya tidak sesuai dengan hukum internasional, tetapi juga dengan kaidah-kaidah adat laut yang telah ada sejak dahulu serta eksis hingga kini.
"Karena itu, kami mendesak pemerintah untuk memberhentikan patroli laut dan melaksanakan mekanisme penyelamatan, penanganan sesuai Perpres 125/2016, hukum internasional, dan hukum adat Aceh jika kembali ditemukan kapal pengungsi Rohingya," demikian Azharul Husna.
Komandan Lanal Lhokseumawe Kolonel Laut (P) Andi Susanto saat patroli pada 19 Oktober lalu mengatakan, pihaknya juga berkoordinasi dengan para nelayan untuk memberi informasi demi mengantisipasi kedatangan imigran.
"Kita melakukan penghalauan pengungsi, sehingga tidak diarahkan untuk memasuki wilayah kita. Maka kita minta untuk nelayan bekerjasama, agar memberikan informasi apabila melihat adanya kapal asing yang melintas," ujarnya.
Baca juga: Panglima Laot Aceh bantu tangani masalah pengungsi Rohingnya dengan hukum adat
Baca juga: Panglima Laot Aceh bantu tangani masalah pengungsi Rohingnya dengan hukum adat
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2023