Jaksa penuntut umum (JPU) menyatakan menolak eksepsi atau sanggahan terhadap dakwaan yang disampaikan eks Bupati Aceh Tamiang Mursil yang menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana korupsi pertanahan.

Penolakan tersebut disampaikan JPU Mursyid dan Umar Assegaf dari Kejaksaan Negeri Aceh Tamiang dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Banda Aceh, Kamis.

Sidang dengan majelis hakim diketuai Sadri didampingi Hamzah Sulaiman dan Ani Hartati, masing-masing sebagai hakim anggota. Terdakwa Mursil hadir ke persidangan didampingi tim penasihat hukumnya.

"Kami menolak eksepsi terdakwa karena dakwaan yang kami bacakan pada persidangan sebelumnya telah memenuhi syarat sebagai mana yang ditentukan dalam Pasal 143 Ayat (2) huruf a dan b KUHAP," kata Mursyid.

Baca juga: Mantan Bupati Aceh Tamiang didakwa rugikan negara Rp6,4 miliar di kasus pertanahan

Selain itu, JPU menyatakan bahwa Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Banda Aceh berwenang memeriksa dan mengadili perkara tersebut serta melanjutkan pemeriksaan terdakwa.

"Sebagian besar eksepsi yang disampaikan pada persidangan sebelumnya masuk dalam pokok perkara. Pokok perkara tersebut akan dibuktikan dalam persidangan sebagaimana diatur Pasal 156 Ayat (1) KUHAP," kata Mursyid.
 

Pada persidangan sebelumnya, Junaidi, penasihat hukum terdakwa Mursil, menyatakan menolak dakwaan JPU. Sebab, perbuatan yang ditujukan kepada terdakwa bukan pidana, tetapi tata usaha negara.

"Kami menolak dakwaan JPU dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi tidak berwenang mengadili klien kami. Sebab, perbuatan klien kami bukan merupakan tindak pidana, tetapi tata usaha negara," katanya.

Junaidi menyebutkan kliennya Musril dalam status di perkara tersebut menjabat Kepala Badan Pertanahan Negara (BPN) Kabupaten Aceh Tamiang pada 2009. Selaku pejabat pertanahan, Mursil menerbitkan sertifikat atas tanah milik orang lain.

"Tanah tersebut kemudian diganti rugi yang tidak ada kaitannya dengan klien kami. Sertifikat yang diterbitkan klien kami sampai kini tidak ada gugatan hukum atau pembatalan secara hukum," kata Junaidi.

Menurut Junaidi, kliennya memproses permohonan sertifikat hak milik yang diajukan pihak lain sudah sesuai dengan ketentuan. Apabila terjadi kekeliruan, maka yurisdiksi hukumnya adalah hukum administrasi negara.

"Produk akhir dari proses administrasi pertanahan dalam pemberian sertifikat hak milik atas tanah merupakan produk tata usaha negara yang kewenangan absolut dari peradilan tata usaha negara. Jadi, tidak bukan lingkup peradilan tindak korupsi," ungkap Junaidi.

Sebelumnya, JPU mendakwa mantan Bupati Aceh Tamiang Musril melakukan tindak pidana korupsi pertahanan dengan kerugian negara mencapai Rp6,4 miliar.

JPU dalam dakwaannya menyatakan terdakwa Mursil pada 2009 menjabat sebagai Kepala Badan Pertanahan Negara (BPN) Kabupaten Aceh Tamiang. Terdakwa menerima uang Rp100 juta dari saksi Tengku Rusli yang juga dituntut dalam berkas perkara terpisah untuk penerbitan enam sertifikat tanah. 

Pensertifikatan tanah tersebut dari eks hak guna usaha (HGU) perkebunan sawit PT Desa Jaya. Izin HGU tersebut berakhir pada 1988 dan tidak pernah diperpanjang hingga sekarang. Artinya, tanah HGU tersebut merupakan tanah negara, kata JPU

Kemudian, terdakwa menerbitkan sertifikat tanah eks HGU tersebut. Selang beberapa waktu kemudian, Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang melakukan ganti rugi atas tanah tersebut dengan nilai Rp6,4 miliar.

Baca juga: Mantan Bupati Aceh Tamiang tolak dakwaan JPU di sidang korupsi pertanahan

Pewarta: M.Haris Setiady Agus

Editor : Febrianto Budi Anggoro


COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2023