Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Syiah Kuala (USK) menemukan dugaan pelecehan seksual terhadap mahasiswa oleh dosen.
"Dugaan itu kami temukan dalam survei terhadap 101 mahasiswi USK dari Juli hingga September 2023," kata Wakil Menteri Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan BEM USK Cut Sarah Humaira di Banda Aceh, Senin.
Berdasarkan hasil survei tersebut, BEM menemukan sebanyak 9,3 persen mahasiswi USK mengaku pernah mendapatkan pelecehan seksual dari dosen, lima persen dari tenaga kependidikan, 22 persen dari sesama mahasiswa, dan 64 persen dari orang lain di luar lingkungan kampus.
"Secara khusus kami belum pernah menerima pengaduan dari mahasiswi terkait pelecehan seksual dari dosen, sejauh ini yang kami terima adalah ungkapan saja, serta ada beberapa penjelasan tambahan termasuk kronologi dalam kolom survei kami," ujarnya.
Menurut dia, pelecehan seksual yang dilakukan oleh dosen ini disebabkan karena eratnya kultur patriarki dan adanya relasi kuasa antara pelaku terhadap pihak yang dianggap lemah dalam hal ini mahasiswa.
"Mungkin bentuk pelecehan seksualnya dianggap lelucon atau hal lumrah bagi kebanyakan orang. Padahal, korban sudah dirugikan," katanya.
Hal itu pula yang kemudian membuat korban pelecehan seksual enggan melaporkan kekerasan yang dialaminya karena takut diintimidasi atau mendapatkan respons yang tidak sesuai dengan harapannya.
"Bisa jadi ketika mahasiswa mau melaporkan, pelaku malah menantang korban untuk melihat sejauh mana keberanian korban," katanya.
Atas fakta tersebut, Cut Sarah menilai bahwa USK belum menjamin keamanan bagi mahasiswinya agar dapat terbebas dari jeratan pelecehan seksual di lingkungan kampus.
Apalagi, kehadiran satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) USK sejak diresmikan pertama kali pada 26 September 2022 belum berkontribusi terhadap pencegahan dan perlindungan korban kekerasan seksual di lingkungan kampus.
"Satgas PPKS USK ini mandul sejak selama setahun berjalan, buktinya ternyata ada sebanyak ini kasus pelecehan seksual yang dialami oleh mahasiswa selama satgas telah dibentuk," katanya.
Padahal, lanjut dia, pembentukan satgas PPKS merupakan amanat dari Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 untuk mencegah dan menangani perkara kekerasan seksual di lingkup kampus.
"Namun, Satgas PPKS USK hanya baru ada pengurusnya saja, sedangkan persyaratan lainnya untuk menunjang kegiatan seperti SOP belum ada," katanya.
Karena itu, Kementerian Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan BEM USK akhirnya menggagas Inong Gender Darurat (IGD) sebagai wadah untuk menampung pengaduan kekerasan seksual, memberikan perlindungan, serta menjadi rumah aman bagi korban.
"Karena kami rasa lembaga legal di kampus belum mampu mengakomodasi layanan tersebut kepada mahasiswa, maka kami gagas program ini sebagai saluran terdekat. Sementara penanganan kasusnya tetap oleh Satgas PPKS USK," demikian Cut Sarah.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2023
"Dugaan itu kami temukan dalam survei terhadap 101 mahasiswi USK dari Juli hingga September 2023," kata Wakil Menteri Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan BEM USK Cut Sarah Humaira di Banda Aceh, Senin.
Berdasarkan hasil survei tersebut, BEM menemukan sebanyak 9,3 persen mahasiswi USK mengaku pernah mendapatkan pelecehan seksual dari dosen, lima persen dari tenaga kependidikan, 22 persen dari sesama mahasiswa, dan 64 persen dari orang lain di luar lingkungan kampus.
"Secara khusus kami belum pernah menerima pengaduan dari mahasiswi terkait pelecehan seksual dari dosen, sejauh ini yang kami terima adalah ungkapan saja, serta ada beberapa penjelasan tambahan termasuk kronologi dalam kolom survei kami," ujarnya.
Menurut dia, pelecehan seksual yang dilakukan oleh dosen ini disebabkan karena eratnya kultur patriarki dan adanya relasi kuasa antara pelaku terhadap pihak yang dianggap lemah dalam hal ini mahasiswa.
"Mungkin bentuk pelecehan seksualnya dianggap lelucon atau hal lumrah bagi kebanyakan orang. Padahal, korban sudah dirugikan," katanya.
Hal itu pula yang kemudian membuat korban pelecehan seksual enggan melaporkan kekerasan yang dialaminya karena takut diintimidasi atau mendapatkan respons yang tidak sesuai dengan harapannya.
"Bisa jadi ketika mahasiswa mau melaporkan, pelaku malah menantang korban untuk melihat sejauh mana keberanian korban," katanya.
Atas fakta tersebut, Cut Sarah menilai bahwa USK belum menjamin keamanan bagi mahasiswinya agar dapat terbebas dari jeratan pelecehan seksual di lingkungan kampus.
Apalagi, kehadiran satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) USK sejak diresmikan pertama kali pada 26 September 2022 belum berkontribusi terhadap pencegahan dan perlindungan korban kekerasan seksual di lingkungan kampus.
"Satgas PPKS USK ini mandul sejak selama setahun berjalan, buktinya ternyata ada sebanyak ini kasus pelecehan seksual yang dialami oleh mahasiswa selama satgas telah dibentuk," katanya.
Padahal, lanjut dia, pembentukan satgas PPKS merupakan amanat dari Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 untuk mencegah dan menangani perkara kekerasan seksual di lingkup kampus.
"Namun, Satgas PPKS USK hanya baru ada pengurusnya saja, sedangkan persyaratan lainnya untuk menunjang kegiatan seperti SOP belum ada," katanya.
Karena itu, Kementerian Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan BEM USK akhirnya menggagas Inong Gender Darurat (IGD) sebagai wadah untuk menampung pengaduan kekerasan seksual, memberikan perlindungan, serta menjadi rumah aman bagi korban.
"Karena kami rasa lembaga legal di kampus belum mampu mengakomodasi layanan tersebut kepada mahasiswa, maka kami gagas program ini sebagai saluran terdekat. Sementara penanganan kasusnya tetap oleh Satgas PPKS USK," demikian Cut Sarah.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2023