Di balik semua kemudahannya menghubungkan semua orang untuk berinteraksi, kilau dunia maya ibarat rimba belantara bagi pelaku kekerasan seksual nyaman bersembunyi. Mereka bagaikan binatang buas yang memancing mangsanya dengan buaian puja dan puji.
Kejahatan di dunia maya tidak memandang batas geografis, sekali pun bagi Provinsi Aceh yang menerapkan syariat Islam. Syariat yang ketat tidak lantas menjadi tameng bagi masyarakat Aceh terbebas dari kejahatan seksual yang memanfaatkan perkembangan digitalisasi.
"Selama seminggu, pesan itu terus datang. Dia bilang suka sama aku," kata korban kekerasan seksual di Banda Aceh pada Agustus 2024, yang namanya dirahasiakan karena merasa belum benar-benar aman.
Kisah kelam perempuan Aceh tersebut terjadi pada 2019, ketika ia begitu aktif di Facebook untuk membagikan swafoto dirinya di platform media sosial besutan Mark Zuckerberg itu.
Unggahan foto-fotonya, meski sederhana tanpa maksud menggoda, ternyata memancing perhatian dari seseorang lelaki yang tak pernah ia kenal. Lelaki asing itu rutin mengirimkan pesan hampir setiap hari untuk meluapkan perasaan cinta, namun korban tidak pernah merespons.
Karena tak kunjung mendapatkan balasan, lelaki asing itu tiba-tiba mengirim pesan ancaman bahwa ia akan mengedit foto-foto korban menjadi bugil dan menyebarkannya.
Pesan itu membuat korban akhirnya membalas, memohon agar ancaman itu tidak diwujudkan. Namun, jawaban yang diterimanya justru lebih mengerikan. Pelaku bersedia berhenti dengan syarat korban mau menerima cintanya.
Baca juga: Menguak joki skripsi di perguruan tinggi
Pesan berisi puja-puji berubah jadi intimidasi yang masuk hampir setiap hari ke gawai korban. Karena merasa tertekan, korban memutuskan untuk menghapus akun Facebook dan mundur sepenuhnya dari aktivitas online. Ia vakum dari jagat maya selama hampir 2 tahun.
Peristiwa itu masih meninggalkan bekas yang mendalam hingga usianya kini menginjak 26 tahun. Sejak kejadian itu, ia tak lagi memiliki keberanian untuk mengunggah foto-fotonya seperti dulu lagi.
“Sejak saat itu, aku enggak berani lagi unggah foto di sosial media yang menampakkan seluruh tubuh, kalau unggah foto pun cuma di-story karena durasinya singkat dan hilang dalam 24 jam,” katanya.
Hal selanjutnya: arti sekstorsi
Peristiwa yang dialami korban merupakan sekstorsi. Istilah ini diadopsi dari bahasa Inggris sextortion, gabungan dari kata sexual yang berarti seksual dan extortion atau pemerasan.
Sekstorsi dapat dimaknai sebagai pemerasan seksual dengan cara mengancam akan menyebarkan konten intim baik berupa gambar maupun video, apabila korban tidak mengikuti keinginan pelaku. Keinginan itu bisa berupa pemberian uang, layanan seksual, atau menjalin hubungan percintaan.
Ada berbagai modus yang sering digunakan pelaku untuk mendapatkan konten intim korban. Misalnya, konten diperoleh dari hubungan konsensual disertai sexting atau percakapan sensual, tetapi kemudian disalahgunakan pelaku. Ada juga modus catfishing atau menggunakan identitas palsu, rekayasa digital, hingga peretasan.
Dulu, kejahatan seksual online ini dikenal dengan istilah revenge porn (pornografi balas dendam). Namun, belakangan istilah tersebut tidak lagi digunakan karena cenderung menyiratkan seolah-olah kejahatan terjadi akibat dari tindakan korban sendiri.
Istilah sekstorsi atau image-based sexual abuse (IBSA) dianggap lebih tepat karena menekankan pada kenyataan bahwa ini adalah bentuk kekerasan dengan cara pemerasan, dan bukan tindakan balas dendam karena adanya kesalahan yang terlebih dahulu dilakukan korban.
Alasan lainnya adalah tidak semua pelaku kejahatan seksual ini memiliki motif balas dendam. Tujuan utama pelaku sekstorsi adalah merendahkan korban. Selain itu, persetujuan (consent) dari korban saat distribusi konten bisa saja diperoleh pelaku dengan cara intimidasi atau manipulasi.
Perubahan istilah ini penting untuk memastikan bahwa fokus tetap pada kejahatan yang dilakukan pelaku, bukan malah mempermalukan atau menyalahkan korban.
Baca juga: Melirik Kemiskinan Aceh melalui Dana Otonomi Khusus (Otsus)
Mendominasi laporan ke LBH
Hampir sebagian besar korban kekerasan berbasis gender online (KBGO) yang membuat aduan ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh merupakan korban kejahatan sekstorsi.
Ketua LBH Banda Aceh, Aulianda Wafisa, menyampaikan kejahatan ini kebanyakan bermula dari korban mencoba menjalin hubungan asmara via media sosial, yang lambat laun berubah menjadi teror. Pelaku mengancam menyebarkan konten intim korban apabila tidak lagi menuruti keinginannya.
Aduan seperti ini pernah didapatkan dari seorang perempuan Aceh—sebut saja A—pada tahun 2021. Dia terlibat dalam hubungan asmara online tanpa pernah bertemu langsung. Komunikasi mereka sangat intens hingga saling bertukar pesan kata-kata, foto, maupun video yang bernuansa seksual.
Foto dan video seksual korban kemudian dijadikan pelaku sebagai senjata untuk memeras korban. Pelaku meminta uang dan banyak hal lainnya.
Kasus serupa juga dialami oleh B, perempuan Aceh lainnya. B melakukan sexting dengan seseorang yang mencitrakan diri sebagai sosok pemuda sukses di media sosialnya. Namun, setelah ditelusuri, akun tersebut ternyata menggunakan identitas palsu untuk menipu.
Korban B mulai berinteraksi dengan akun tersebut setelah diperkenalkan oleh seorang teman perempuan yang diduga sengaja mengenalkannya untuk balas dendam.
Teman perempuan ini diduga juga mengkloning nomor kontak di gawai korban secara diam-diam. Akibatnya, video sexting korban tersebar ke orang-orang di sekitarnya, seperti kepala desa, tetangga, bahkan sampai ke anak korban.
“Teman perempuan ini, menurut klien, seorang lesbian dan dia (red-klien) pernah menolak cintanya. Kami duga dendam akibat penolakan tersebut,” ujar Aulianda.
Selain sekstorsi, LBH juga menerima aduan kekerasan seksual online dengan modus impersonasi akun di media sosial yang dialami oleh perempuan C. Modus ini melibatkan pencurian data untuk membuat akun palsu yang menggunakan identitas korban.
Dalam kasus ini, sebuah akun di platform media sosial TikTok yang dikembangkan ByteDance Technology mengimpersonisasi korban dengan mengambil tanpa izin foto-foto yang diunggah korban ke media sosial. Melalui akun palsu tersebut, pelaku menggambarkan korban sebagai pekerja seks komersial (PSK).
“Foto-fotonya diambil dan diunggah ulang dengan narasi seolah-olah korban menawarkan jasa 'open BO' (booking ),” katanya.
Sekstorsi dan impersonisasi akun ini termasuk ke dalam tindakan KBGO, yaitu kejahatan yang dilakukan melalui teknologi dengan tujuan melecehkan korban berdasarkan gender atau identitas seksualnya.
Ada beberapa istilah lain yang digunakan untuk merujuk pada KBGO. Komnas Perempuan memilih istilah kekerasan siber berbasis gender (KSBG), sedangkan Undang-Undang (UU) No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) menggunakan istilah kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE).
Halaman selanjutnya: korban laki-laki
Lelaki juga bisa jadi korban
Siapa pun bisa menjadi korban KBGO, termasuk laki-laki. Berdasarkan aduan yang diterima LBH Banda Aceh, korban kekerasan seksual online yang meminta bantuan hukum justru kebanyakan kaum adam.
Aulia menceritakan LBH Banda Aceh pernah menerima aduan dari seorang lelaki yang mendapatkan ancaman penyebaran konten intim pada tahun 2022. Sama seperti kasus lainnya, ini juga bermula dari hubungan asmara jarak jauh di media sosial.
Dalam hubungan itu, korban mengirimkan video masturbasi ke akun yang mengaku sebagai perempuan. Namun, Aulia menduga, pelakunya sebenarnya bukan perempuan.
Video itu kemudian digunakan pelaku untuk memeras korban. Awalnya, pelaku meminta pulsa, tetapi lama kelamaan juga meminta uang sebanyak Rp500 ribu. Pelaku berjanji tidak akan menyebarkan konten intim tersebut jika terus diberi uang.
“Korban kirimkan uang itu agar konten intim itu tidak disebarkan, walaupun masih ada peluang video itu muncul lagi. Namun, sejauh ini kontennya tidak tersebar,” ujar Aulia.
Kasus lainnya melibatkan seorang mahasiswa dari luar daerah yang berkuliah di Banda Aceh. Selama kuliah, ia berpacaran dengan perempuan asal Aceh. Mereka beberapa kali melakukan hubungan suami istri yang direkam di ponsel masing-masing.
Sampailah tiba ia dinyatakan lulus dan mendapatkan gelar sarjana dari kampus, korban berencana pulang ke kampung halamannya. Namun, pacarnya tidak rela ditinggal dan meminta dinikahi.
Ketika korban menolak, pacarnya mengkloning semua kontak di ponsel korban dan mengancam akan menyebarkan video intim mereka kepada keluarga korban. Ancaman itu kemudian juga berubah menjadi pemerasan. Pelaku meminta sejumlah uang kepada korban yang menolak menikahi pelaku.
Baca juga: Pilkada 2024 dan Kemajuan Aceh Barat¹
Potensi mengkriminalisasi korban
Belum ada instrumen hukum yang cukup tegas untuk melindungi korban KBGO. Kehadiran UU ITE dan UU Pornografi justru berpotensi memidanakan korban lantaran dianggap ikut berkontribusi dalam produksi konten pornografi.
Sebagaimana UU Pornografi No. 4 Tahun 2008 pasal 4 ayat (1) dan Pasal 29 yang menyatakan bahwa siapa pun yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menyebarkan, atau menyediakan pornografi dapat dipidana dengan penjara 6 bulan hingga 12 tahun dan atau denda Rp250 juta hingga Rp6 miliar.
Begitu juga dalam UU ITE, Pasal 27 ayat (1) menyebutkan bahwa siapa pun yang mendistribusikan, mentransmisikan, atau membuat informasi elektronik yang memuat kesusilaan dapat dipidana hingga 6 tahun penjara dan denda paling banyak Rp1 miliar.
“Karena konteksnya siapa yang menyiarkan dan memproduksi gambar atau video yang punya nuansa pornografi, keduanya dapat dijerat,” kata Aulia.
UU ITE dan UU Pornografi, menurut dia, berpotensi mengkriminalisasi korban karena belum memberikan definisi yang jelas mengenai pengertian korban dan pelaku. Meskipun ada dilema ini, terdapat argumen hukum yang dapat digunakan untuk membela korban, yaitu bahwa konsen yang diberikan telah dilanggar dan dimanfaatkan oleh pelaku untuk melakukan pemerasan.
“Dari segi hukum bisa bangun dalilnya karena selama konten itu dibuat untuk urusan privasi. Secara hukum UU ITE, ujaran kebencian itu berlaku jika di-posting dalam ruang publik. Begitu juga dengan konten pornografi tadi, walaupun perbuatannya tidak dibenarkan. Akan tetapi, secara hukum hanya bisa dijerat jika ranahnya publik,” jelasnya.
Di sisi lain, pemahaman aparat penegak hukum tentang KBGO juga masih lemah. Dalam praktiknya, kasus KBGO hanya dipandang sebagai kejahatan siber walaupun terdapat unsur kekerasan seksual yang jelas di dalamnya. Selama ini, banyak kasus yang ditangani menggunakan pendekatan UU ITE.
Padahal, sudah ada UU Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) Nomor 12 Tahun 2022 yang secara khusus mengatur kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE). Aturan hukum ini lebih relevan digunakan dalam menangani kasus KBGO karena menyediakan perlindungan yang komprehensif kepada korban, termasuk mengakui dampak psikologis yang dihadapi korban.
Psikolog klinis dari Universitas Syiah Kuala, Zahrani, menjelaskan bahwa korban kekerasan seksual berbasis daring dapat mengalami gangguan yang berdampak pada kondisi psikis mereka. Pada tingkat ringan, korban mungkin mengalami kecemasan, kegelisahan, dan mudah stres.
Pada tingkat yang lebih parah, korban bisa menderita gangguan stres pascatrauma atau post-traumatic stress disorder (PTSD). Gangguan mental ini muncul karena korban belum sepenuhnya pulih dari pengalaman traumatis yang dialaminya. Korban mungkin mengalami serangan panik berlebihan (panic attack) jika teringat pada kenangan traumatis yang menimpanya.
“Dalam kondisi sosial, masalah psikis ini juga dapat memunculkan kecemasan sosial berlebihan yang kemudian membuat korban membatasi berinteraksi dengan orang lain atau mengisolasi diri karena merasa tidak aman,” kata Zahrani.
Kasus KBGO yang dilaporkan ke Polda Aceh juga masih dikategorikan sebagai kejahatan siber. Dalam penanganannya, kasus-kasus ini dilimpahkan ke tim unit siber yang khusus menangani kejahatan digital. Tim unit siber bertanggung jawab untuk melakukan penyelidikan, mulai dari pelacakan jejak digital pelaku hingga analisis teknis terhadap bukti elektronik.
Kasubdit Siber Ditreskrimsus Polda Aceh, Kompol Ibrahim, menjelaskan bahwa kebanyakan kasus KBGO yang diterima cenderung diselesaikan melalui pendekatan keadilan restoratif (restorative justice). Artinya, penyelesaian perkara pidana melalui solusi di luar jalur peradilan formal, seperti melalui dialog dan mediasi.
Mekanisme penyelesaian seperti ini sudah tertuang dalam Peraturan Kepolisian Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif dan Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Pasal 16 ayat 1 dan 2 Perpol Nomor 8 Tahun 2021 menyebutkan bahwa setelah pelaku dan korban sepakat berdamai disertai dengan bukti telah dilakukan pemulihan hak korban, penyidik dapat menerbitkan surat perintah penghentian penyelidikan/penyidikan (SP3).
Begitu pula dalam Pasal 7 dan 10 Perja Nomor 15/2020, jika pelaku dan korban sepakat berdamai, maka kepala kejaksaan tinggi akan menerbitkan surat ketetapan penghentian penuntutan (SKKP).
Penyelesaian kasus dengan pendekatan keadilan restoratif ini biasanya pada kasus penyebaran konten seksual yang sebelumnya direkam atas dasar persetujuan kedua belah pihak. Alasannya, korban bisa saja terjerat UU Pornografi dan juga tidak sanggup bila konten seksualnya itu harus disaksikan oleh banyak orang ketika dalam proses penyelidikan dan penyidikan.
“Setelah itu, korban cabut laporan tapi efek jeranya akan kita bikin surat perjanjian pelaku tidak akan mengulangi perbuatannya dan HP pelaku juga kita hancurkan,” katanya.
Pentingnya literasi digital
Pada triwulan pertama 2024, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) mencatat bahwa kasus KBGO di Indonesia meningkat empat kali lipat dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Jumlah pengaduan mencapai 480 KBGO, sedangkan periode sebelumnya "hanya" 118 aduan.
Dari 480 aduan tersebut, mayoritas korban merupakan perempuan dengan jumlah 293, kemudian 174 adalah laki-laki, dan lima aduan dari nonbiner. Berdasarkan usia, 57 persen berumur 18-25 tahun, 26 persen berusia anak, 13 persen berusia 26-35 tahun, dan dua persen berusia 36-45 tahun.
Berdasarkan jenisnya, KBGO yang marak terjadi ialah ancaman penyebaran konten sebanyak 253 aduan. Kemudian sektorsi ada 90 aduan, dan penyebaran konten intim tanpa izin atau non-consensual intimate image abuse (NCII) sebanyak 73 aduan.
Kebanyakan kasus yang terjadi dilihat dari modusnya merupakan imbas masalah personal dengan jumlah 137 aduan, lalu panggilan video seksual (VCS) sebanyak 127 aduan. Selain itu, modus yang marak terjadi adalah manipulasi hubungan dengan jumlah 79 kasus, dan KBGO dari orang tidak dikenal sebanyak 50 kasus.
Kepala Divisi Kesetaraan dan Inklusi SAFEnet, Aseanty Pahlevi, menyampaikan peningkatan kasus KBGO berkaitan erat dengan lemahnya pemahaman masyarakat terhadap literasi digital. Literasi digital yang dimaksud mencakup pengetahuan tentang hak-hak digital, yakni hak untuk mengakses internet, hak untuk berekspresi, dan hak atas rasa aman.
Pada kasus KBGO, kebanyakan yang terjadi bermula karena adanya pelanggaran hak digital. Pelaku mengingkari konsen yang diberikan korban.
Dia menjelaskan bahwa pemahaman konsen ini juga belum diketahui dengan baik oleh masyarakat, banyak yang menganggap bahwa konsen yang diberikan pada saat distribusi konten digital—seperti nomor telepon, foto, atau video—berlaku permanen.
Kesalahpahaman mengenai konsen ini membuat banyak orang yang ketika menerima distribusi konten merasa memiliki hak penuh untuk menggunakan atau menyebarluaskan konten tersebut tanpa batasan.
“Perlu diketahui kalau konsen itu tidak berlaku sepanjang masa. Misalnya, kalau saya mengirimkan foto kepada orang lain, ketika ingin diteruskan lagi berbeda konsennya. Jadi, berubah sewaktu-waktu,” jelas Aseanty.
Selain itu, kurangnya pemahaman masyarakat tentang berperilaku digital yang aman sering kali membuat mereka rentan terhadap berbagai bentuk eksploitasi digital. Banyak masyarakat yang belum menyadari risiko yang muncul ketika berbagi informasi pribadi atau konten sensitif secara sembarangan.
“Maka penting bagi setiap orang untuk memahami bagaimana perilaku aman di ranah digital sehingga tidak menjadi korban,” ujarnya.
Editor: Achmad Zaenal M
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Dari puja-puji ke intimidasi, menguak ancaman sekstorsi di Aceh
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2024
Kejahatan di dunia maya tidak memandang batas geografis, sekali pun bagi Provinsi Aceh yang menerapkan syariat Islam. Syariat yang ketat tidak lantas menjadi tameng bagi masyarakat Aceh terbebas dari kejahatan seksual yang memanfaatkan perkembangan digitalisasi.
"Selama seminggu, pesan itu terus datang. Dia bilang suka sama aku," kata korban kekerasan seksual di Banda Aceh pada Agustus 2024, yang namanya dirahasiakan karena merasa belum benar-benar aman.
Kisah kelam perempuan Aceh tersebut terjadi pada 2019, ketika ia begitu aktif di Facebook untuk membagikan swafoto dirinya di platform media sosial besutan Mark Zuckerberg itu.
Unggahan foto-fotonya, meski sederhana tanpa maksud menggoda, ternyata memancing perhatian dari seseorang lelaki yang tak pernah ia kenal. Lelaki asing itu rutin mengirimkan pesan hampir setiap hari untuk meluapkan perasaan cinta, namun korban tidak pernah merespons.
Karena tak kunjung mendapatkan balasan, lelaki asing itu tiba-tiba mengirim pesan ancaman bahwa ia akan mengedit foto-foto korban menjadi bugil dan menyebarkannya.
Pesan itu membuat korban akhirnya membalas, memohon agar ancaman itu tidak diwujudkan. Namun, jawaban yang diterimanya justru lebih mengerikan. Pelaku bersedia berhenti dengan syarat korban mau menerima cintanya.
Baca juga: Menguak joki skripsi di perguruan tinggi
Pesan berisi puja-puji berubah jadi intimidasi yang masuk hampir setiap hari ke gawai korban. Karena merasa tertekan, korban memutuskan untuk menghapus akun Facebook dan mundur sepenuhnya dari aktivitas online. Ia vakum dari jagat maya selama hampir 2 tahun.
Peristiwa itu masih meninggalkan bekas yang mendalam hingga usianya kini menginjak 26 tahun. Sejak kejadian itu, ia tak lagi memiliki keberanian untuk mengunggah foto-fotonya seperti dulu lagi.
“Sejak saat itu, aku enggak berani lagi unggah foto di sosial media yang menampakkan seluruh tubuh, kalau unggah foto pun cuma di-story karena durasinya singkat dan hilang dalam 24 jam,” katanya.
Hal selanjutnya: arti sekstorsi
Peristiwa yang dialami korban merupakan sekstorsi. Istilah ini diadopsi dari bahasa Inggris sextortion, gabungan dari kata sexual yang berarti seksual dan extortion atau pemerasan.
Sekstorsi dapat dimaknai sebagai pemerasan seksual dengan cara mengancam akan menyebarkan konten intim baik berupa gambar maupun video, apabila korban tidak mengikuti keinginan pelaku. Keinginan itu bisa berupa pemberian uang, layanan seksual, atau menjalin hubungan percintaan.
Ada berbagai modus yang sering digunakan pelaku untuk mendapatkan konten intim korban. Misalnya, konten diperoleh dari hubungan konsensual disertai sexting atau percakapan sensual, tetapi kemudian disalahgunakan pelaku. Ada juga modus catfishing atau menggunakan identitas palsu, rekayasa digital, hingga peretasan.
Dulu, kejahatan seksual online ini dikenal dengan istilah revenge porn (pornografi balas dendam). Namun, belakangan istilah tersebut tidak lagi digunakan karena cenderung menyiratkan seolah-olah kejahatan terjadi akibat dari tindakan korban sendiri.
Istilah sekstorsi atau image-based sexual abuse (IBSA) dianggap lebih tepat karena menekankan pada kenyataan bahwa ini adalah bentuk kekerasan dengan cara pemerasan, dan bukan tindakan balas dendam karena adanya kesalahan yang terlebih dahulu dilakukan korban.
Alasan lainnya adalah tidak semua pelaku kejahatan seksual ini memiliki motif balas dendam. Tujuan utama pelaku sekstorsi adalah merendahkan korban. Selain itu, persetujuan (consent) dari korban saat distribusi konten bisa saja diperoleh pelaku dengan cara intimidasi atau manipulasi.
Perubahan istilah ini penting untuk memastikan bahwa fokus tetap pada kejahatan yang dilakukan pelaku, bukan malah mempermalukan atau menyalahkan korban.
Baca juga: Melirik Kemiskinan Aceh melalui Dana Otonomi Khusus (Otsus)
Mendominasi laporan ke LBH
Hampir sebagian besar korban kekerasan berbasis gender online (KBGO) yang membuat aduan ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh merupakan korban kejahatan sekstorsi.
Ketua LBH Banda Aceh, Aulianda Wafisa, menyampaikan kejahatan ini kebanyakan bermula dari korban mencoba menjalin hubungan asmara via media sosial, yang lambat laun berubah menjadi teror. Pelaku mengancam menyebarkan konten intim korban apabila tidak lagi menuruti keinginannya.
Aduan seperti ini pernah didapatkan dari seorang perempuan Aceh—sebut saja A—pada tahun 2021. Dia terlibat dalam hubungan asmara online tanpa pernah bertemu langsung. Komunikasi mereka sangat intens hingga saling bertukar pesan kata-kata, foto, maupun video yang bernuansa seksual.
Foto dan video seksual korban kemudian dijadikan pelaku sebagai senjata untuk memeras korban. Pelaku meminta uang dan banyak hal lainnya.
Kasus serupa juga dialami oleh B, perempuan Aceh lainnya. B melakukan sexting dengan seseorang yang mencitrakan diri sebagai sosok pemuda sukses di media sosialnya. Namun, setelah ditelusuri, akun tersebut ternyata menggunakan identitas palsu untuk menipu.
Korban B mulai berinteraksi dengan akun tersebut setelah diperkenalkan oleh seorang teman perempuan yang diduga sengaja mengenalkannya untuk balas dendam.
Teman perempuan ini diduga juga mengkloning nomor kontak di gawai korban secara diam-diam. Akibatnya, video sexting korban tersebar ke orang-orang di sekitarnya, seperti kepala desa, tetangga, bahkan sampai ke anak korban.
“Teman perempuan ini, menurut klien, seorang lesbian dan dia (red-klien) pernah menolak cintanya. Kami duga dendam akibat penolakan tersebut,” ujar Aulianda.
Selain sekstorsi, LBH juga menerima aduan kekerasan seksual online dengan modus impersonasi akun di media sosial yang dialami oleh perempuan C. Modus ini melibatkan pencurian data untuk membuat akun palsu yang menggunakan identitas korban.
Dalam kasus ini, sebuah akun di platform media sosial TikTok yang dikembangkan ByteDance Technology mengimpersonisasi korban dengan mengambil tanpa izin foto-foto yang diunggah korban ke media sosial. Melalui akun palsu tersebut, pelaku menggambarkan korban sebagai pekerja seks komersial (PSK).
“Foto-fotonya diambil dan diunggah ulang dengan narasi seolah-olah korban menawarkan jasa 'open BO' (booking ),” katanya.
Sekstorsi dan impersonisasi akun ini termasuk ke dalam tindakan KBGO, yaitu kejahatan yang dilakukan melalui teknologi dengan tujuan melecehkan korban berdasarkan gender atau identitas seksualnya.
Ada beberapa istilah lain yang digunakan untuk merujuk pada KBGO. Komnas Perempuan memilih istilah kekerasan siber berbasis gender (KSBG), sedangkan Undang-Undang (UU) No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) menggunakan istilah kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE).
Halaman selanjutnya: korban laki-laki
Lelaki juga bisa jadi korban
Siapa pun bisa menjadi korban KBGO, termasuk laki-laki. Berdasarkan aduan yang diterima LBH Banda Aceh, korban kekerasan seksual online yang meminta bantuan hukum justru kebanyakan kaum adam.
Aulia menceritakan LBH Banda Aceh pernah menerima aduan dari seorang lelaki yang mendapatkan ancaman penyebaran konten intim pada tahun 2022. Sama seperti kasus lainnya, ini juga bermula dari hubungan asmara jarak jauh di media sosial.
Dalam hubungan itu, korban mengirimkan video masturbasi ke akun yang mengaku sebagai perempuan. Namun, Aulia menduga, pelakunya sebenarnya bukan perempuan.
Video itu kemudian digunakan pelaku untuk memeras korban. Awalnya, pelaku meminta pulsa, tetapi lama kelamaan juga meminta uang sebanyak Rp500 ribu. Pelaku berjanji tidak akan menyebarkan konten intim tersebut jika terus diberi uang.
“Korban kirimkan uang itu agar konten intim itu tidak disebarkan, walaupun masih ada peluang video itu muncul lagi. Namun, sejauh ini kontennya tidak tersebar,” ujar Aulia.
Kasus lainnya melibatkan seorang mahasiswa dari luar daerah yang berkuliah di Banda Aceh. Selama kuliah, ia berpacaran dengan perempuan asal Aceh. Mereka beberapa kali melakukan hubungan suami istri yang direkam di ponsel masing-masing.
Sampailah tiba ia dinyatakan lulus dan mendapatkan gelar sarjana dari kampus, korban berencana pulang ke kampung halamannya. Namun, pacarnya tidak rela ditinggal dan meminta dinikahi.
Ketika korban menolak, pacarnya mengkloning semua kontak di ponsel korban dan mengancam akan menyebarkan video intim mereka kepada keluarga korban. Ancaman itu kemudian juga berubah menjadi pemerasan. Pelaku meminta sejumlah uang kepada korban yang menolak menikahi pelaku.
Baca juga: Pilkada 2024 dan Kemajuan Aceh Barat¹
Potensi mengkriminalisasi korban
Belum ada instrumen hukum yang cukup tegas untuk melindungi korban KBGO. Kehadiran UU ITE dan UU Pornografi justru berpotensi memidanakan korban lantaran dianggap ikut berkontribusi dalam produksi konten pornografi.
Sebagaimana UU Pornografi No. 4 Tahun 2008 pasal 4 ayat (1) dan Pasal 29 yang menyatakan bahwa siapa pun yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menyebarkan, atau menyediakan pornografi dapat dipidana dengan penjara 6 bulan hingga 12 tahun dan atau denda Rp250 juta hingga Rp6 miliar.
Begitu juga dalam UU ITE, Pasal 27 ayat (1) menyebutkan bahwa siapa pun yang mendistribusikan, mentransmisikan, atau membuat informasi elektronik yang memuat kesusilaan dapat dipidana hingga 6 tahun penjara dan denda paling banyak Rp1 miliar.
“Karena konteksnya siapa yang menyiarkan dan memproduksi gambar atau video yang punya nuansa pornografi, keduanya dapat dijerat,” kata Aulia.
UU ITE dan UU Pornografi, menurut dia, berpotensi mengkriminalisasi korban karena belum memberikan definisi yang jelas mengenai pengertian korban dan pelaku. Meskipun ada dilema ini, terdapat argumen hukum yang dapat digunakan untuk membela korban, yaitu bahwa konsen yang diberikan telah dilanggar dan dimanfaatkan oleh pelaku untuk melakukan pemerasan.
“Dari segi hukum bisa bangun dalilnya karena selama konten itu dibuat untuk urusan privasi. Secara hukum UU ITE, ujaran kebencian itu berlaku jika di-posting dalam ruang publik. Begitu juga dengan konten pornografi tadi, walaupun perbuatannya tidak dibenarkan. Akan tetapi, secara hukum hanya bisa dijerat jika ranahnya publik,” jelasnya.
Di sisi lain, pemahaman aparat penegak hukum tentang KBGO juga masih lemah. Dalam praktiknya, kasus KBGO hanya dipandang sebagai kejahatan siber walaupun terdapat unsur kekerasan seksual yang jelas di dalamnya. Selama ini, banyak kasus yang ditangani menggunakan pendekatan UU ITE.
Padahal, sudah ada UU Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) Nomor 12 Tahun 2022 yang secara khusus mengatur kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE). Aturan hukum ini lebih relevan digunakan dalam menangani kasus KBGO karena menyediakan perlindungan yang komprehensif kepada korban, termasuk mengakui dampak psikologis yang dihadapi korban.
Psikolog klinis dari Universitas Syiah Kuala, Zahrani, menjelaskan bahwa korban kekerasan seksual berbasis daring dapat mengalami gangguan yang berdampak pada kondisi psikis mereka. Pada tingkat ringan, korban mungkin mengalami kecemasan, kegelisahan, dan mudah stres.
Pada tingkat yang lebih parah, korban bisa menderita gangguan stres pascatrauma atau post-traumatic stress disorder (PTSD). Gangguan mental ini muncul karena korban belum sepenuhnya pulih dari pengalaman traumatis yang dialaminya. Korban mungkin mengalami serangan panik berlebihan (panic attack) jika teringat pada kenangan traumatis yang menimpanya.
“Dalam kondisi sosial, masalah psikis ini juga dapat memunculkan kecemasan sosial berlebihan yang kemudian membuat korban membatasi berinteraksi dengan orang lain atau mengisolasi diri karena merasa tidak aman,” kata Zahrani.
Kasus KBGO yang dilaporkan ke Polda Aceh juga masih dikategorikan sebagai kejahatan siber. Dalam penanganannya, kasus-kasus ini dilimpahkan ke tim unit siber yang khusus menangani kejahatan digital. Tim unit siber bertanggung jawab untuk melakukan penyelidikan, mulai dari pelacakan jejak digital pelaku hingga analisis teknis terhadap bukti elektronik.
Kasubdit Siber Ditreskrimsus Polda Aceh, Kompol Ibrahim, menjelaskan bahwa kebanyakan kasus KBGO yang diterima cenderung diselesaikan melalui pendekatan keadilan restoratif (restorative justice). Artinya, penyelesaian perkara pidana melalui solusi di luar jalur peradilan formal, seperti melalui dialog dan mediasi.
Mekanisme penyelesaian seperti ini sudah tertuang dalam Peraturan Kepolisian Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif dan Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Pasal 16 ayat 1 dan 2 Perpol Nomor 8 Tahun 2021 menyebutkan bahwa setelah pelaku dan korban sepakat berdamai disertai dengan bukti telah dilakukan pemulihan hak korban, penyidik dapat menerbitkan surat perintah penghentian penyelidikan/penyidikan (SP3).
Begitu pula dalam Pasal 7 dan 10 Perja Nomor 15/2020, jika pelaku dan korban sepakat berdamai, maka kepala kejaksaan tinggi akan menerbitkan surat ketetapan penghentian penuntutan (SKKP).
Penyelesaian kasus dengan pendekatan keadilan restoratif ini biasanya pada kasus penyebaran konten seksual yang sebelumnya direkam atas dasar persetujuan kedua belah pihak. Alasannya, korban bisa saja terjerat UU Pornografi dan juga tidak sanggup bila konten seksualnya itu harus disaksikan oleh banyak orang ketika dalam proses penyelidikan dan penyidikan.
“Setelah itu, korban cabut laporan tapi efek jeranya akan kita bikin surat perjanjian pelaku tidak akan mengulangi perbuatannya dan HP pelaku juga kita hancurkan,” katanya.
Pentingnya literasi digital
Pada triwulan pertama 2024, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) mencatat bahwa kasus KBGO di Indonesia meningkat empat kali lipat dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Jumlah pengaduan mencapai 480 KBGO, sedangkan periode sebelumnya "hanya" 118 aduan.
Dari 480 aduan tersebut, mayoritas korban merupakan perempuan dengan jumlah 293, kemudian 174 adalah laki-laki, dan lima aduan dari nonbiner. Berdasarkan usia, 57 persen berumur 18-25 tahun, 26 persen berusia anak, 13 persen berusia 26-35 tahun, dan dua persen berusia 36-45 tahun.
Berdasarkan jenisnya, KBGO yang marak terjadi ialah ancaman penyebaran konten sebanyak 253 aduan. Kemudian sektorsi ada 90 aduan, dan penyebaran konten intim tanpa izin atau non-consensual intimate image abuse (NCII) sebanyak 73 aduan.
Kebanyakan kasus yang terjadi dilihat dari modusnya merupakan imbas masalah personal dengan jumlah 137 aduan, lalu panggilan video seksual (VCS) sebanyak 127 aduan. Selain itu, modus yang marak terjadi adalah manipulasi hubungan dengan jumlah 79 kasus, dan KBGO dari orang tidak dikenal sebanyak 50 kasus.
Kepala Divisi Kesetaraan dan Inklusi SAFEnet, Aseanty Pahlevi, menyampaikan peningkatan kasus KBGO berkaitan erat dengan lemahnya pemahaman masyarakat terhadap literasi digital. Literasi digital yang dimaksud mencakup pengetahuan tentang hak-hak digital, yakni hak untuk mengakses internet, hak untuk berekspresi, dan hak atas rasa aman.
Pada kasus KBGO, kebanyakan yang terjadi bermula karena adanya pelanggaran hak digital. Pelaku mengingkari konsen yang diberikan korban.
Dia menjelaskan bahwa pemahaman konsen ini juga belum diketahui dengan baik oleh masyarakat, banyak yang menganggap bahwa konsen yang diberikan pada saat distribusi konten digital—seperti nomor telepon, foto, atau video—berlaku permanen.
Kesalahpahaman mengenai konsen ini membuat banyak orang yang ketika menerima distribusi konten merasa memiliki hak penuh untuk menggunakan atau menyebarluaskan konten tersebut tanpa batasan.
“Perlu diketahui kalau konsen itu tidak berlaku sepanjang masa. Misalnya, kalau saya mengirimkan foto kepada orang lain, ketika ingin diteruskan lagi berbeda konsennya. Jadi, berubah sewaktu-waktu,” jelas Aseanty.
Selain itu, kurangnya pemahaman masyarakat tentang berperilaku digital yang aman sering kali membuat mereka rentan terhadap berbagai bentuk eksploitasi digital. Banyak masyarakat yang belum menyadari risiko yang muncul ketika berbagi informasi pribadi atau konten sensitif secara sembarangan.
“Maka penting bagi setiap orang untuk memahami bagaimana perilaku aman di ranah digital sehingga tidak menjadi korban,” ujarnya.
Editor: Achmad Zaenal M
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Dari puja-puji ke intimidasi, menguak ancaman sekstorsi di Aceh
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2024