Pj Gubernur Aceh, Safrizal ZA menyatakan masih terdapat beberapa kendala dalam upaya penguatan mitigasi bencana di Aceh di tengah kemajuan teknologi, mulai dari infrastruktur hingga pemahaman masyarakat.
"Masih banyak tugas di depan kita, termasuk menjawab beberapa tantangan utama," kata Safrizal ZA, di Banda Aceh, Senin.
Pernyataan itu disampaikan Safrizal ZA dalam kegiatan 2nd UNESCO IOC global tsunami, Symposium: Two decades after 2004 Indian Ocean Tsunami: Reflection and the way forward, di Balai Meuseuraya Aceh (BMA), Banda Aceh.
Dirinya menyampaikan, selama dua dekade ini, Aceh telah banyak belajar dari pengalaman, kemudian terkait upaya kolaboratif untuk meningkatkan sistem peringatan dan mitigasi tsunami terus diperkuat melalui kemajuan teknologi, pemodelan ilmiah, serta pelatihan serta edukasi masyarakat.
Meski demikian, masih terdapat beberapa tantangan yang harus dijawab bersama. Pertama, terkait kesiapan infrastruktur peringatan dini dan respons cepat.
Di mana, masih ada wilayah yang aksesibilitasnya terbatas, sehingga menghambat efektivitas sistem peringatan dini.
"Maka, penting bagi kita untuk mengembangkan pendekatan yang lebih menyeluruh agar semua komunitas dapat terjangkau dengan cepat dan tepat, bahkan di daerah terpencil," ujarnya.
Kemudian, tantangan kolaborasi lintas negara dan pembaruan data, kata dia, bencana tsunami dapat berdampak lintas batas, maka perlu memperkuat mekanisme kerjasama antar negara dalam berbagi data secara real time serta melakukan pemutakhiran data berkala.
Ketiga, pentingnya kesadaran dan pemahaman masyarakat, dalam hal ini diperlukan program edukasi dan simulasi secara berkala agar masyarakat bisa memahami langkah yang harus diambil bencana terjadi.
Tantangan terakhir, lanjut dia, integrasi dengan tantangan dunia, dalam mengembangkan sistem peringatan dini, maka tidak bisa mengabaikan permasalahan yang semakin komplek seperti perubahan iklim yang dapat memicu bencana alam lebih besar.
"Maka melalui simposium ini, mari kita perkuat komitmen global dalam meningkatkan ketahanan dan keberlanjutan di setiap langkah mitigasi yang kita tempuh," katanya.
Dalam kesempatan ini, dirinya menegaskan bahwa simposium tersebut memiliki arti mendalam bagi Aceh, khususnya untuk memperingati dua dekade setelah bencana tsunami Samudra Hindia pada 2004 silam.
Tsunami tersebut tidak hanya merenggut ratusan ribu nyawa, tetapi juga meninggalkan trauma mendalam dan jejak sejarah di Aceh serta daerah lainnya sekitar Samudra Hindia.
"Tsunami ini mengingatkan kita betapa dahsyatnya kekuatan alam, namun sekaligus menginspirasi lahirnya kolaborasi global dalam meningkatkan sistem peringatan dini dan upaya mitigasi," demikian Safrizal ZA.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2024
"Masih banyak tugas di depan kita, termasuk menjawab beberapa tantangan utama," kata Safrizal ZA, di Banda Aceh, Senin.
Pernyataan itu disampaikan Safrizal ZA dalam kegiatan 2nd UNESCO IOC global tsunami, Symposium: Two decades after 2004 Indian Ocean Tsunami: Reflection and the way forward, di Balai Meuseuraya Aceh (BMA), Banda Aceh.
Dirinya menyampaikan, selama dua dekade ini, Aceh telah banyak belajar dari pengalaman, kemudian terkait upaya kolaboratif untuk meningkatkan sistem peringatan dan mitigasi tsunami terus diperkuat melalui kemajuan teknologi, pemodelan ilmiah, serta pelatihan serta edukasi masyarakat.
Meski demikian, masih terdapat beberapa tantangan yang harus dijawab bersama. Pertama, terkait kesiapan infrastruktur peringatan dini dan respons cepat.
Di mana, masih ada wilayah yang aksesibilitasnya terbatas, sehingga menghambat efektivitas sistem peringatan dini.
"Maka, penting bagi kita untuk mengembangkan pendekatan yang lebih menyeluruh agar semua komunitas dapat terjangkau dengan cepat dan tepat, bahkan di daerah terpencil," ujarnya.
Kemudian, tantangan kolaborasi lintas negara dan pembaruan data, kata dia, bencana tsunami dapat berdampak lintas batas, maka perlu memperkuat mekanisme kerjasama antar negara dalam berbagi data secara real time serta melakukan pemutakhiran data berkala.
Ketiga, pentingnya kesadaran dan pemahaman masyarakat, dalam hal ini diperlukan program edukasi dan simulasi secara berkala agar masyarakat bisa memahami langkah yang harus diambil bencana terjadi.
Tantangan terakhir, lanjut dia, integrasi dengan tantangan dunia, dalam mengembangkan sistem peringatan dini, maka tidak bisa mengabaikan permasalahan yang semakin komplek seperti perubahan iklim yang dapat memicu bencana alam lebih besar.
"Maka melalui simposium ini, mari kita perkuat komitmen global dalam meningkatkan ketahanan dan keberlanjutan di setiap langkah mitigasi yang kita tempuh," katanya.
Dalam kesempatan ini, dirinya menegaskan bahwa simposium tersebut memiliki arti mendalam bagi Aceh, khususnya untuk memperingati dua dekade setelah bencana tsunami Samudra Hindia pada 2004 silam.
Tsunami tersebut tidak hanya merenggut ratusan ribu nyawa, tetapi juga meninggalkan trauma mendalam dan jejak sejarah di Aceh serta daerah lainnya sekitar Samudra Hindia.
"Tsunami ini mengingatkan kita betapa dahsyatnya kekuatan alam, namun sekaligus menginspirasi lahirnya kolaborasi global dalam meningkatkan sistem peringatan dini dan upaya mitigasi," demikian Safrizal ZA.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2024