Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh menyatakan bahwa mayoritas perusahaan kelapa sawit di provinsi paling barat Indonesia itu belum mencerminkan prinsip keadilan terhadap lingkungan hidup.
"Kita berikan proper (program penilaian peringkat kinerja perusahaan) merah kepada 16 dari total 22 perusahaan kelapa sawit di Aceh belum mencerminkan prinsip keadilan," kata Kadiv Advokasi dan Kampanye WALHI Aceh, Afifuddin Acal, di Banda Aceh, Kamis.
Selain masih rendahnya kepatuhan terhadap standar lingkungan hidup, kata Afifuddin, konflik lahan antara perusahaan dan masyarakat juga masih sering terjadi di Aceh.
Baca juga: Pemkab Aceh Timur putuskan kontrak kerja dua perusahaan perkebunan
Kondisi itu, lanjut dia, menunjukkan bahwa permasalahan lingkungan dan sosial dalam sektor perkebunan sawit di Aceh belum terselesaikan secara komprehensif. Meskipun ada sebagian kecil perusahaan yang mematuhi tata kelolanya.
"Kendati itu, kita juga tidak menafikan bahwa ada sebagian kecil perusahaan kelapa sawit yang mulai mematuhi dalam tata kelola sesuai perundang-undangan yang berlaku," ujarnya.
Karena itu, WALHI Aceh mendorong adanya evaluasi secara ketat serta langkah perbaikan konkret untuk memastikan perusahaan benar-benar bertanggung jawab terhadap dampak lingkungan dan sosial yang ditimbulkan.
"Termasuk, dalam pemberian predikat Proper dari pemerintah kepada setiap perusahaan, khususnya yang bergerak di perkebunan kelapa sawit," katanya.
Dirinya menyebutkan, mayoritas perusahaan sawit di Aceh belum memenuhi standar dalam pengelolaan limbah, pengendalian pencemaran air, serta perizinan berbasis lingkungan. Bahkan, banyak perusahaan yang diduga kuat terlibat dalam perusakan hutan hingga alih fungsi kawasan lindung untuk kepentingan perkebunan.
Kata dia, banyak operasional dari kelapa sawit yang berdampak buruk terhadap lingkungan, mulai dari pencemaran sungai, pembuangan limbah tanpa pengolahan yang memadai, hingga perambahan kawasan hutan.
"Maka atas kondisi seperti itu, sudah selayaknya mereka-mereka (perusahaan sawit) itu mendapatkan Proper merah,” ujar Afifuddin.
Dirinya menambahkan, berdasarkan hasil pemantauan lapangan, WALHI Aceh menemukan bahwa mayoritas perusahaan kelapa sawit di Aceh masih beroperasi dengan cara yang berisiko tinggi terhadap lingkungan.
Pelanggaran yang sering terjadi mencakup penggunaan lahan secara ilegal, minimnya investasi dalam sistem pengelolaan limbah yang ramah lingkungan, serta lemahnya pengawasan dari pihak berwenang.
Baca juga: Pemkab Aceh Timur gelar pelatihan NDPE
Ia menyampaikan, praktik industri sawit yang buruk tidak hanya menyebabkan degradasi lingkungan, tetapi juga berdampak langsung pada kehidupan masyarakat sekitar.
Pencemaran sungai misalnya, merusak sumber air bersih yang menjadi kebutuhan utama masyarakat. Sementara itu, deforestasi yang dilakukan oleh perusahaan sawit mengancam keberlanjutan ekosistem dan populasi satwa liar di Aceh.
“Banyak komunitas yang bergantung pada sumber daya alam yang kini semakin terdegradasi akibat praktik industri yang tidak bertanggung jawab,” katanya.
Selain pencemaran lingkungan, ekspansi perusahaan sawit di Aceh juga memicu konflik agraria yang merugikan masyarakat lokal dan masyarakat adat.
"Serta banyak perusahaan diduga menguasai lahan tanpa izin yang sah atau dengan mengabaikan hak-hak masyarakat adat dan petani setempat," ujarnya.
Tak hanya itu, tambah dia, WALHI Aceh juga mencatat bahwa sengketa lahan antara masyarakat dan perusahaan sawit terjadi di banyak daerah, termasuk di wilayah yang memiliki izin Hak Guna Usaha (HGU) bermasalah.
Konflik ini, sering kali berujung pada kriminalisasi terhadap petani atau warga yang mempertahankan hak atas tanah mereka, sementara penyelesaian kasus berjalan lambat dan cenderung berpihak pada perusahaan.
“Ini hanya sebagian kecil dari banyaknya konflik tenurial yang terjadi di Aceh antara warga dan perusahaan sawit yang hingga kini belum terselesaikan,” katanya.
Selain itu, ekspansi perkebunan sawit yang merambah kawasan hutan juga memperburuk konflik antara manusia dan satwa liar. Gajah, sering kali masuk ke pemukiman dan perkebunan warga akibat habitatnya semakin terganggu. Jalur migrasi gajah pun terputus akibat ekspansi perkebunan sawit yang tak terkendali.
“Bukan hanya gajah, tetapi juga satwa lain seperti harimau dan orangutan turut terancam akibat perusakan habitat mereka,” ujarnya.
Maka dari itu, WALHI Aceh menilai bahwa pemberian Proper kepada perusahaan kelapa sawit dan sektor lainnya, selama ini masih dilakukan secara sepihak oleh pemerintah.
Seharusnya, dalam proses penilaian Proper, masyarakat lokal dan masyarakat adat yang telah menjaga hutan secara turun-temurun juga dilibatkan, dimintai pendapat mereka.
Dalam kesempatan ini, mereka mendorong agar sistem pengawasan dan pemberian Proper oleh pemerintah terhadap perusahaan dilakukan secara lebih transparan dan partisipatif. Perlu keterlibatan masyarakat dan organisasi masyarakat sipil dalam pengawasan lingkungan.
“Dengan adanya tekanan dari berbagai pihak, kita bisa memastikan bahwa perusahaan benar-benar menjalankan tanggung jawabnya terhadap lingkungan,” demikian Afifuddin Acal.
Baca juga: Masyarakat Tenggulun duduki kebun sawit di lahan eks TNGL di Aceh Tamiang
Editor : Febrianto Budi Anggoro
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2025