Tiga dekade setelah keruntuhan Uni Soviet, banyak analis meyakini bahwa dunia telah meninggalkan dinamika bipolar yang kaku. Namun perkembangan geopolitik dua dekade terakhir membuktikan sebaliknya.
Kebangkitan Tiongkok sebagai kekuatan global, agresivitas Rusia dalam politik kawasan, semakin pentingnya teknologi digital, serta fragmentasi tatanan internasional pasca-COVID-19 menjadikan kontur dunia kembali mirip dengan atmosfer Perang Dingin (cold war).
Bedanya, rivalitas hari ini tidak lagi berdiri pada sekat ideologis komunisme versus kapitalisme, melainkan saling silang kepentingan dalam teknologi, data, ekonomi, ruang siber, energi, hingga penguasaan rantai pasok global. Dalam lanskap baru inilah intelijen kembali menjadi “mata dan telinga” yang menentukan arah strategi negara, tetapi dengan bentuk dan metode operasi yang telah berubah secara radikal.
Baca juga: Ke Mana Program AMANAH di Aceh Berlanjut?
Dari Espionase Klasik ke Rivalitas Teknologi
Pada masa Perang Dingin pertama, perebutan informasi berlangsung melalui agen-agen lapangan, infiltrasi politik, hingga operasi rahasia di negara-negara berkembang. Model spionase yang populer didominasi aktivitas clandestine, penggalangan sumber, penyadapan analog, dan operasi kontra-subversi. Namun memasuki abad ke-21, karakter operasi intelijen ditransformasikan oleh perkembangan teknologi digital.
Perubahan ini paling terlihat dalam persaingan Amerika Serikat dan Tiongkok. Kontestasi di antara keduanya bukan sekadar soal kekuatan militer, melainkan perebutan dominasi teknologi strategis dimulai dari kecerdasan buatan, pemanfaatan big data, komputasi kuantum, sampai jaringan 5G.
Badan-badan intelijen kini lebih banyak bergelut pada pencurian teknologi industri, peretasan siber terhadap fasilitas riset, pengawasan infrastruktur digital global, serta penyusupan melalui supply chain elektronik. Laporan-laporan dari komunitas intelijen Barat dalam beberapa tahun terakhir secara konsisten mencatat peningkatan signifikan aktivitas spionase ekonomi dan teknologi, sebagian besar melibatkan aktor-aktor negara yang berorientasi pada pencurian kekayaan intelektual sebagai strategi percepatan modernisasi nasional.
Di sisi lain, negara-negara maju mulai memperkuat rezim perlindungan keamanan teknologi. AS membentuk mekanisme pengawasan investasi seperti Committee on Foreign Investment in the United States (CFIUS), Uni Eropa memperketat kontrol ekspor teknologi dual-use, sementara Jepang, Korea Selatan, dan Australia memperluas koordinasi intelijen untuk melindungi aset teknologi domestik. Intelijen ekonomi, yang dulunya dianggap subordinat, kini menjadi salah satu pilar utama keamanan nasional.
Baca juga: DPR soroti lemahnya kerja BIN terkait vaksin
Lahirnya Domain Konflik Baru
Perang Dingin Jilid 2 semakin nyata ketika negara-negara besar menjadikan ruang siber sebagai arena pertarungan utama. Operasi siber dipandang lebih hemat biaya, sulit dilacak, dan memiliki dampak strategis yang luas. Berbagai insiden menunjukkan bahwa operasi siber telah menggantikan metode tradisional dalam melemahkan lawan.
Serangan-serangan siber terhadap infrastruktur penting, mulai dari jaringan listrik, sistem perbankan, fasilitas energi, hingga sistem pemerintahan, kini menjadi bentuk operasi intelijen ofensif yang umum. Kelompok-kelompok peretas yang diduga terkait negara (state-sponsored) melakukan infiltrasi, mencuri data sensitif, menyusup ke sistem militer, hingga menjalankan operasi disinformasi melalui ruang digital. Aktivitas ini tidak lagi terpisah antara militer, intelijen, dan aktor non-negara. Semuanya saling berkelindan sebagai sebuah ekosistem operasi informasi.
Selain itu, ruang angkasa juga menjadi domain strategis. Satelit-satelit mata-mata generasi baru kini dilengkapi sensor resolusi tinggi, radar apertur sintetis, dan kemampuan komunikasi kuantum. Kontrol terhadap ruang angkasa berperan vital untuk navigasi, intelijen citra, komunikasi militer, dan pemantauan global. Banyak negara kini membentuk komando ruang angkasa, termasuk AS, Prancis, dan Tiongkok, yang menandakan bahwa Perang Dingin era baru telah menjangkau wilayah di luar bumi.
Remiliterisasi Informasi dan Kelahiran Operasi Pengaruh
Salah satu ciri baru rivalitas global saat ini adalah peningkatan masif operasi pengaruh (influence operations). Instrumen ini pernah digunakan di abad ke-20, tetapi skalanya kini jauh meluas berkat media sosial dan platform digital. Perang informasi yang melibatkan propaganda, manipulasi wacana publik, perang psikologis digital, dan kampanye hoaks dilakukan dengan presisi berbasis data. Intelijen tidak lagi hanya mencari informasi, tetapi juga memproduksi dan mendistribusikan narasi yang memengaruhi opini publik negara lain.
Peristiwa intervensi siber pada pemilu Amerika Serikat 2016, disinformasi di Eropa terkait isu imigrasi, kampanye manipulasi informasi di Asia Tenggara, serta perdebatan global mengenai platform-platform digital asing menunjukkan bagaimana informasi telah menjadi senjata politik. Dalam ekosistem ini, aktor negara dan non-negara berbaur, sehingga batas antara operasi intelijen dan aktivitas politik digital menjadi semakin kabur.
Operasi pengaruh didesain untuk menciptakan keraguan, memperlemah kohesi sosial, bahkan memecah belah sistem politik lawan. Semua hal ini menjadi potret baru strategi intelijen yang bergerak di ranah informasi publik secara terbuka dan tersembunyi sekaligus.
Halaman selanjutnya: Kebangkitan...
Kebangkitan Aliansi Intelijen dan Fragmentasi Blok Baru
Perang Dingin jilid pertama ditandai oleh blok NATO melawan Pakta Warsawa. Saat ini, blok serupa tidak hadir dalam bentuk formal, namun kerja sama intelijen lintas negara semakin mengkonsolidasikan orientasi geopolitik global. Koalisi intelijen seperti Five Eyes (AS, Inggris, Kanada, Australia, Selandia Baru) memperluas mandatnya dalam memonitor aktivitas teknologi dan operasi siber negara-negara pesaing. Sementara itu, kerja sama intelijen Tiongkok-Rusia meningkat pesat, terutama dalam pertukaran data satelit, teknologi siber, dan analisis ancaman regional.
Di Asia, Jepang, Korea Selatan, Taiwan, dan India memperkuat interoperabilitas intelijen untuk memperkirakan langkah Tiongkok di Indo-Pasifik. ASEAN sendiri tidak memiliki arsitektur intelijen yang terintegrasi, tetapi beberapa mekanisme berbagi informasi berkembang, terutama terkait terorisme dan keamanan maritim. Namun keterbatasan kepercayaan antarnegara dan sensitivitas kedaulatan membuat kerja sama intelijen kawasan tetap bersifat parsial. Ketidakseimbangan kemampuan intelijen di negara-negara Asia Tenggara juga menciptakan kerentanan tersendiri dalam konteks persaingan kekuatan besar.
Dengan demikian, dunia tidak lagi terbelah secara ideologis, tetapi membentuk klaster berdasarkan kepentingan teknologi, keamanan siber, dan kontrol rantai pasok global. Polarisasi ini membawa implikasi besar bagi arsitektur intelijen yang kini bergerak ke arah aliansi fleksibel dan jaringan berbasis kebutuhan spesifik.
Baca juga: Mengartikan Perintah Presiden Prabowo "Mengepung" Bangka Belitung terkait REE
Modernisasi Intelijen dan Kecerdasan Buatan
Salah satu transformasi paling signifikan adalah integrasi kecerdasan buatan dalam proses pengumpulan dan analisis data. Volume data global yang melonjak dari sensor satelit, jaringan komunikasi, media sosial, sampai perangkat Internet of Things menuntut kemampuan analisis yang jauh melebihi kapasitas manusia. Badan-badan intelijen besar kini memanfaatkan algoritma prediktif, machine learning, serta sistem pemilah data otomatis untuk mengidentifikasi pola ancaman.
Teknologi seperti pengenalan wajah, sistem pelacakan biometrik, hingga algoritma deteksi perilaku digunakan untuk memantau pergerakan individu yang dianggap berisiko. Dalam konteks ini, dilema antara keamanan dan privasi menjadi isu domestik yang tak terhindarkan. Banyak negara mengatur ulang kerangka hukum untuk mengatur penggunaan teknologi intelijen, tetapi perkembangan teknologi sering kali bergerak lebih cepat dibanding aturan hukum yang mengikatnya.
Kecerdasan buatan juga mengubah struktur operasional lapangan. Drone pengintai, sistem pengawas berbasis algoritma, serta sensor otomatis memungkinkan pengumpulan informasi tanpa kehadiran fisik agen. Namun transformasi ini tidak menghapus peran human intelligence (HUMINT), sebab dalam banyak kasus, informasi paling kritis tetap berasal dari manusia yang berada langsung di dalam situasi dan struktur kekuasaan lawan.
Hybrid Warfare dan Overlapping Actors
Era ini juga ditandai oleh meningkatnya karakter perang hibrida. Perang tidak lagi memerlukan deklarasi resmi atau mobilisasi militer. Sebaliknya, operasi intelijen, kampanye siber, manipulasi ekonomi, hingga penggunaan kelompok perantara (proxy) menjadi alat efektif dalam melemahkan negara lain tanpa melewati ambang perang konvensional.
Konflik Rusia-Ukraina menjadi contoh ekstrem penggunaan kombinasi operasi intelijen, serangan siber, infiltrasi politik, manipulasi etnis, kampanye disinformasi, dan operasi militer terbatas. Pengalaman ini menjadi template yang dipelajari banyak negara.
Selain itu, aktor non-negara seperti perusahaan teknologi raksasa, korporasi minyak, perusahaan keamanan swasta (PMC), hingga kelompok kriminal siber memainkan peran signifikan dalam ekosistem intelijen. Sebagian perusahaan digital bahkan memiliki kapasitas analitik yang melebihi badan intelijen negara, mulai dari pemetaan perilaku publik hingga kemampuan memantau jaringan komunikasi global.
Keterlibatan aktor-aktor ini menjadikan arena intelijen semakin kompleks, sebab negara harus berhadapan dengan ancaman yang tidak hanya datang dari sesama negara, tetapi juga entitas swasta yang memiliki kepentingan transnasional.
Baca juga: Internasionalisasi Gubernur Aceh, Diplomasi Mualem di Antara Cita dan Citra
Implikasi bagi Negara Berkembang
Bagi negara-negara berkembang, termasuk di Asia Tenggara, era Perang Dingin Jilid 2 menciptakan peluang sekaligus tantangan. Di satu sisi, kompetisi kekuatan besar membuka ruang untuk memperoleh teknologi, investasi, dan kerja sama keamanan. Di sisi lain, negara-negara berkembang berpotensi menjadi arena perebutan pengaruh intelijen dan operasi informasi lintas negara.
Kerentanan terbesar terletak pada sektor siber, keamanan data, dan ketergantungan pada teknologi asing. Banyak negara belum memiliki kapasitas teknis dan regulasi yang memadai untuk memitigasi ancaman infiltrasi digital, pencurian data, dan operasi pengaruh yang memanfaatkan celah sosial-politik domestik. Ketiadaan arsitektur intelijen regional yang terkoordinasi membuat ancaman lintas batas seperti peretasan, penyelundupan teknologi, sabotase digital, dan manipulasi informasi semakin sulit diatasi.
Intelijen dalam Dunia yang Kian Terpolarisasi
Era Perang Dingin Jilid 2 bukan sekadar menghidupkan kembali rivalitas geopolitik, tetapi menciptakan bentuk persaingan baru yang lebih kompleks dan terfragmentasi. Intelijen menjadi garda terdepan dalam memahami ancaman yang bergerak cepat, dinamis, dan semakin tidak kasat mata. Dari ruang siber hingga ruang angkasa, dari kecerdasan buatan hingga perang informasi, intelijen tidak lagi hanya menjadi instrumen keamanan, tetapi juga instrumen ekonomi, teknologi, dan politik global.
Dalam dunia yang semakin terpolarisasi oleh kepentingan teknologi dan kekuasaan, kehadiran intelijen yang adaptif, modern, dan terintegrasi bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan strategis. Negara yang berhasil membaca perubahan ini akan mampu menavigasi turbulensi geopolitik dengan lebih aman. Sebaliknya, negara yang gagal menyesuaikan diri berisiko menjadi korban dalam rivalitas global yang bergerak tanpa jeda.
Baca juga: Samudera Hindia arena baru kontes geopolitik dunia
*Penulis Dr. Safriady S.sos, M.I.kom adalah pemerhati isu strategis, akademisi, praktisi media, instruktur pelatihan, dan Doktor Ilmu Komunikasi dari Universitas Padjajaran.
Editor : Febrianto Budi Anggoro
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2025