Jakarta (ANTARA) - Asosiasi Produsen Synthetic Fiber Indonesia (APSyFI) mengatakan kenaikan tarif listrik akan menghambat peningkatan daya saing produk industri polyster, dan juga memberikan efek domino untuk sektor garmen yang berujung peningkatan harga produk hingga 50 persen.

"Industri polyester adalah industri hulu yang memasok bahan baku untuk indusri tekstil, sehingga ada efek domino yang bergulir  hingga sektor pertenunan, perajutan hingga industri garmen sehingga produk akhir industri garmen akan naik sekitar 50 persen," kata Sekretaris Jenderal APSyFI Redma Gita Wirawasta melalui keterangan pers di Jakarta, Selasa.

Menurut Redma, jika pemerintah menaikan tarif listrik  golongan I-3 dan I-4 sebesar 38,9 persen dan 64,7 persen maka biaya produksi industri polyster juga otomatis melonjak, yang akan diikuti dengan harga jual produknya.

Dalam industri polyster sendiri, komponen listrik mencapai 25 persen dari total biaya produksi.

Begitu juga dengan bahan baku polyster yang digunakan pelaku industri pemintalan. Selain harga bahan baku naik, kegiatan industri pemintalan juga sudah terkena dampak dari kenaikan tarif listrik itu.

Setelah di kegiatan pemintalan, kata Redma, efek naiknya bahan baku juga akan berlanjut di sektor perajutan hingga garmen yang menyebabkan harga produk jadi dapat naik dua kali lipat.

"Kondisi ini jelas akan mengganggu kinerja industri tekstil dan garmen secara keseluruhan karena akan sulit bersaing dengan produk impor di pasar domestik, terlebih bersaing di pasar ekspor," ujarnya.

Oleh karena itu, pelaku industri polyster menilai kebijakan untuk menaikan tarif listrik tidak sejalan dengan wacana pemerintah untuk meningkatkan daya saing industri dalam upaya menghindari defisit perdagangan dan defisit neraca pembayaran.

"Kehilangan daya saing berarti harus menutup atau mengurangi produksi yang berimbas pada pengurangan tenaga kerja dan menambah ketidak-mampuan ekonomi golongan bawah,"  kata Redma.

Berkaca pada 2013, kenaikan tarif listrik telah terbukti menghambat industri polyester nasional dan hingga kini belum dapat kembali ke performa awal.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, pada 2013 ekspor polyester turun sembilan persen dari 507 juta dolar AS pada 2012 menjadi 464 juta dolar AS pada 2013.

Sedangkan, impornya naik delapan persen dari 386 juta dolar AS pada 2012 menjadi 416 juta dolar AS pada 2013. Hal itu  menunjukkan "market share" di pasar domestik turun 79 persen dari 83 persen. (*)

Editor: B Kunto Wibisono

COPYRIGHT © 2014

Pewarta:

Editor :


COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2014