Banda Aceh (Antaranews Aceh) - Materialisme merupakan suatu pemahaman hanya bersandar pada materi yang tidak meyakini apa yang ada di balik alam ghaib dan norma di atas manusia yaitu Tuhan dan wahyu.

Tidak meyakini adanya kekuatan yang menguasai alam semesta ini dan hal itu secara otomatis menafikan adanya Tuhan sebagai pencipta alam, karena menurut paham ini alam beserta isinya berasal dari satu sumber yaitu materi.

Pemikiran ini sama halnya dengan atheisme dalam bentuk dan subtansinya yang tidak mengakui adanya Tuhan secara mutlak. Para penganut paham ini menolak agama sebagai hukum kehidupan manusia, mereka lebih mengedepankan akal sebagai sumber segala hukum.

Prinsip ini melahirkan suatu ideologi hukum hanyalah apa yang bisa diterima oleh akal manusia, tidak perlu agama, dan menjadikan kecondongan dan kesenangan manusia sebagai hak yang harus diakui, meskipun itu bertentangan dengan dengan agama dan jauh dari nilai-nilai Islam seperti yang menjadi pemahaman masyarakat di Barat sejak berabad-abad silam hingga sekarang.

Demikian antara lain disampaikan Dr. Tgk. H. Amri Fatmi Anzis Lc, MA (Doktor Aqidah Filsafat dari Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir) saat mengisi pengajian rutin Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI) di Rumoh Aceh Kupi Luwak, Jeulingke, Rabu (21/2) malam.

"Pemikiran materialisme ini membawa pada kehidupan konsumerisme, hedonisme dan cinta dunia berlebihan (wahn) yang bisa merusak agama. Dalam kehidupan materialisme ini, tidak ada akhlak, semua berburu pada materi tanpa peduli halal atau haram. Ini sangat berbahaya bagi kehidupan kita sebagai seorang muslim," ujar Dr. Amri Fatmi pada pengajian KWPSI yang dimoderatori Badaruddin, Kasi Kurikulum pada Dinas Pendidikan Dayah Aceh.


Ditambahkannya, pandangan materialisme saat ini, banyak menerpa kehidupan manusia. Bahkan sebagian besar kaum muslimin ada yang juga terpengaruh dengan kehidupan yang melalaikan ini. Yaitu mengedepankan cara pandang tentang kehidupan yang hanya terbatas pada usaha untuk mendapatkan kenikmatan sesaat di dunia fana ini, sehingga aktifitas hidup yang dijalankan hanya berkisar pada masalah bagaimana bisa menciptakan lapangan pekerjaan, mengembangkan ekonomi, membangun rumah dan gedung, memenuhi kepuasan hidup dan hal-hal lain yang bersifat duniawi, tanpa memikirkan akibat dan sikap yang seharusnya dilakukan.

Seolah menganggap, bahwa kebahagiaan hidup hanya bisa diraih dengan harta. Alhasil, pandangan materialistis ini mengusik keharmonisan dan ketenangan rumah tangga seorang muslim. Melalaikan tujuan inti penciptaannya, penghambaan diri dan beribadah kepada Allah semata dalam setiap aspek kehidupannya, dengan segala aturan Islam yang harus ditaati.

"Karena penyimpangan agama akibat pola pemikiran materialisme ini, tidak ada lagi norma akhlak yang harus dipatuhi. Semua berdasarkan pada kesenangan hidup di dunia, sementara norma agama itu sendiri justru membatasi kesenangan manusia yang melampaui batas seperti LGBT," terang Amri Fatmi yang meraih gelar doktor dengan predikat tertinggi "Summa Cumlaude" pada Jurusan Aqidah dan Filsafat Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar, Kairo ini.


Dijelaskannya, ‎salah satu fitnah zaman modern dewasa ini adalah merebaknya ideologi materialisme. Bahwa materi, harta kekayaan atau jabatan merupakan tolok ukur mulia tidaknya seseorang. Semakin kaya seseorang berarti ia dipandang sebagai orang yang mulia dan semakin sedikit materi atau harta yang dimilikinya berarti ia dipandang sebagai orang yang hina dan tidak patut dihormati.

Maka di dalam masyarakat yang telah diwarnai materialisme, setiap anggota masyarakat akan berlomba mengumpulkan harta sebanyak mungkin dengan cara bagaimanapun, baik itu dengan cara yang halal, syubhat maupun haram.

Dalam sebuah masyarakat yang berideologi materialisme, seseorang menjadi sangat iri dan berambisi menjadi kaya setiap kali melihat ada orang yang berlimpah harta lewat di tengah kehidupan mereka.

"Ini memunculkan manusia-manusia satu dimensi yaitu materi saja, dan anti dua dimensi. Mereka
Tidak sempat berpikir selain mengejar materi‎ dan rutinitas kerja tiap hari saja, yang terkadang membuat lalai dan lupa tugasnya untuk beribadah, sehingga menjauh dari Allah," sebutnya.

Dr. Amri Fatmi juga menjelaskan, wahn atau cinta dunia takut mati, adalah satu diantara berbagai pengaruh sikap dan pandangan materialis yang terdapat pada sebagian atau mungkin kebanyakan kaum muslimin. Hal ini tidak lain karena kelemahan akidah yang mereka miliki. Jika kita perhatikan keadaan kaum muslimin, akan kita dapati banyak dari mereka yang menjadikan materi sebagai ukuran dalam menilai segala sesuatu.


Pandangan mereka telah menyempit pada perkara-perkara yang bisa langsung mereka rasakan. Mereka lebih giat terhadap sesuatu yang tampak daripada sesuatu yang tak tampak (ghaib). Mereka lebih giat mencari materi yang bisa langsung mereka rasakan di dunia ini daripada mencari pahala akhirat yang belum bisa dirasakan di dunia.

Ketika mereka melihat kemajuan duniawi pada negara-negara kafir, mereka pun merasa kagum. Kekafiran yang ada pada mereka diabaikan, dan materilah yang jadi ukuran. Akhirnya, mereka mengagungkan orang-orang kafir, menjadikannya sebagai idola, mengikuti adat kebiasaan mereka, sehingga hilanglah sikap bara`ah (berlepas diri dan membenci) terhadap orang-orang kafir, sikap yang pada hakikatnya merupakan konsekuensi dari Laa Ilaaha Illallah.

"Demikianlah keburukan dan bahaya materialisme.
Lebih parah dari itu, pemikiran ini bisa saja berujung pada pengingkaran terhadap adanya alam ghaib, pengingkaran terhadap malaikat bahkan pengingkaran terhadap akhirat, hari kebangkitan dan pengingkaran terhadap adanya Tuhan. Ini adalah kekufuran yang nyata," jelasnya.

Tgk Amri Fatmi juga memberikan solusi terhadap paham materialisme yang harus dijauhi oleh setiap umat Islam, yaitu dengan kembali kepada ajaran agama Islam dan tidak mencintai dan mengejar materi dunia secara berlebihan, sehingga lupa pada kepentingan akhirat.

‎"Andaikan setiap kita berpegang teguh kepada prinsip dan ajaran agama kita, niscaya akan terhindar dari ideologi materialisme. Tidak mungkin akan muncul suatu anggapan bahwa harta merupakan tolok ukur kemuliaan seseorang. Setiap orang akan senantiasa rajin mensyukuri segenap karunia Allah yang telah diterimanya dengan sifat zuhud dan qanaah. Islam mengajarkan tolok ukur kemuliaan sejati ialah taqwa seseorang kepada Allah," katanya.


Pewarta: Heru Dwi Suryatmojo

Editor : Heru Dwi Suryatmojo


COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2018