Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani menyebut perundingan bilateral merupakan kunci Indonesia dalam menghadapi diskriminasi minyak kelapa sawit yang dilakukan Uni Eropa.

"Sekarang ini Indonesia tidak boleh melawan, karena di era Trump saat ini justru merupakan era di mana masing-masing negara memproteksi dirinya sendiri. Justru yang harus kita lakukan adalah pendekatan bilateral," ujar Aviliani di Jakarta, Selasa.

Dia menjelaskan bahwa pendekatan bilateral tersebut harus dilakukan dalam mekanisme antarnegara atau Government to Government (G to G), bukan lagi antarpengusaha atau Business to Business (B to B).

"Kalau B to B, kita pasti akan mendapat tantangan yang berat, jadi harus G to G. Bagaimana caranya? G to G merupakan mekanisme Government to Government. G to G harus tahu misalnya Pakistan ingin ikut-ikutan melakukan diskriminasi terhadap kelapa sawit, kita mungkin bisa melakukan negosiasi dengan melakukan impor gula dari sana, asalkan sawit kita jangan terkena. Jadi memang harusnya upaya bilateral kita diperkuat," ujar Aviliani.

Ekonom itu juga menambahkan bahwa untuk memperkuat upaya bilateral tersebut, maka tugas duta besar saat ini harus berubah dalam rangka mencari tahu apa yang bisa digali dari negara lain dan apa yang bisa dijual oleh Indonesia.

Selain itu Aviliani juga menyarankan agar Indonesia mencari pasar baru, selain pasar yang sudah ada untuk mengekspor kelapa sawitnya.

"Kita harus mulai mencari pasar baru, kalau kita melihat (pasar ekspor) Indonesia hanya ASEAN dan China, sedangkan ekspor Indonesia ke negara maju itu sedikit," katanya.

Dia juga menambahkan bahwa Indonesia bisa mencoba untuk membuka pasar ekspor produk-produknya ke kawasan Timur Tengah.

"Kita juga harus mulai menggali yang lain, karena era ke depan kalau kita melihat banyak negara sudah mulai mengurangi ketergantungan terhadap sawit," tutur Aviliani.

 

Pewarta: Aji Cakti

Editor : Heru Dwi Suryatmojo


COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2019