World Health Organization (WHO) atau Organisasi Kesehatan Dunia pada 2017 mencatat angka stunting di Indonesia mencapai 36,4 persen dan menempati urutan ketiga sebagai negara prevalensi tertinggi di Asia, namun data terbaru dari hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 telah memperlihatkan prevalensi stunting di Indonesia menurun hingga 30,8 persen.
"Angka tersebut masih berada di atas batas toleransi sebagaimana ketetapan WHO yakni maksimal 20 persen atau seperlima dari jumlah keseluruhan anak bawah lima tahun (Balita)," kata salah satu juru bicara dari Konsepsi-NTB, Dr Muh Taqiuddin, di Bandarlampung, Jumat.
Muh menjelaskan, balita penderita stunting cenderung lebih rentan terhadap penyakit. Saat memasuki dewasa mereka umumnya memiliki tingkat kecerdasan tidak maksimal dan berisiko mengidap penyakit degeneratif sehingga menurunnya tingkat produktivitas.
"Stunting diyakini akan dapat menghambat pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kemiskinan, dan memperlebar ketimpangan. Situasi ini jika tidak diatasi segera maka dapat dipastikan Indonesia tidak mampu bersaing menghadapi tantangan global di masa depan," katanya.
Pemerintah telah berkomitmen menurunkan prevalensi stunting sebesar 28 persen pada 2019 sebagaimana sasaran pembangunan kesehatan pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2015-2019 dan komitmen global Scaling Up Nutrition (SUN).
Bahkan intervensi sensitif di luar sektor kesehatan dinilai memiliki kontribusi lebih besar 70 persen dari intervensi spesifik. Hasil studi Institut Penelitian Kebijakan Pangan Internasional (IFPRI) tahun 2018 telah menemukan bahwa stunting memiliki keterkaitan erat dengan masalah sanitasi, ketahanan pangan, tingkat pendidikan orang tua, pola asuh, pelayanan kesehatan, dan kesejahteraan.
"Percepatan penurunan stunting memerlukan keterlibatan banyak sektor dan berbagai pemangku kepentingan pembangunan dengan berbagai keahlian melalui pendekatan konvergensi terintegrasi dengan sasaran pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) seorang anak hingga berusia enam tahun," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2019
"Angka tersebut masih berada di atas batas toleransi sebagaimana ketetapan WHO yakni maksimal 20 persen atau seperlima dari jumlah keseluruhan anak bawah lima tahun (Balita)," kata salah satu juru bicara dari Konsepsi-NTB, Dr Muh Taqiuddin, di Bandarlampung, Jumat.
Muh menjelaskan, balita penderita stunting cenderung lebih rentan terhadap penyakit. Saat memasuki dewasa mereka umumnya memiliki tingkat kecerdasan tidak maksimal dan berisiko mengidap penyakit degeneratif sehingga menurunnya tingkat produktivitas.
"Stunting diyakini akan dapat menghambat pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kemiskinan, dan memperlebar ketimpangan. Situasi ini jika tidak diatasi segera maka dapat dipastikan Indonesia tidak mampu bersaing menghadapi tantangan global di masa depan," katanya.
Pemerintah telah berkomitmen menurunkan prevalensi stunting sebesar 28 persen pada 2019 sebagaimana sasaran pembangunan kesehatan pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2015-2019 dan komitmen global Scaling Up Nutrition (SUN).
Bahkan intervensi sensitif di luar sektor kesehatan dinilai memiliki kontribusi lebih besar 70 persen dari intervensi spesifik. Hasil studi Institut Penelitian Kebijakan Pangan Internasional (IFPRI) tahun 2018 telah menemukan bahwa stunting memiliki keterkaitan erat dengan masalah sanitasi, ketahanan pangan, tingkat pendidikan orang tua, pola asuh, pelayanan kesehatan, dan kesejahteraan.
"Percepatan penurunan stunting memerlukan keterlibatan banyak sektor dan berbagai pemangku kepentingan pembangunan dengan berbagai keahlian melalui pendekatan konvergensi terintegrasi dengan sasaran pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) seorang anak hingga berusia enam tahun," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Aceh 2019