Tapaktuan (ANTARA Aceh) - Produksi jagung di Kecamatan Trumon Raya, Kabupaten Aceh Selatan mengalami penurunan hingga mencapai 50 persen akibat musibah banjir yang melanda di daerah itu pada akhir tahun 2015.
Seorang petani, Taufik Kamil di Desa Cot Bayu, Kecamatan Trumon Tengah kepada wartawan Selasa mengatakan, banyak tanaman jagung yang terendam banjir, sehingga produksinya menurun hingga 50 persen.
Kecamatan Trumon Raya yang terdiri dari tiga kecamatan, yakni Trumon Timur, Trumon Tengah dan Trumon, dikenal sebagai sentra produksi sawit dan jagung di Kabupaten Aceh Selatan. Mayoritas lahan yang tersedia di wilayah itu, hampir penuh ditanami tanaman jagung yang diselingi di sela-sela tanaman kepala sawit.
Ia menyatakan, pada waktu normal tanpa ada bencana banjir, para petani mampu menghasilkan 3-4 ton per hektarenya. Namun ketika bencana banjir melanda, produksi yang dihasilkan hanya berkisar antara 1-2 ton hektare atau berkurang hingga mencapai 50 persen lebih.
Taufik menyatakan, Desa Cot Bayu, Kecamatan Trumon Tengah yang berlokasi di pedalaman itu, sedikitnya ada sekitar 500 hektare lahan jagung yang ditanami oleh 200 orang petani di sela-sela tanaman kelapa sawit di kebun mereka masing-masing.
Padahal jika saja tanpa ada ancaman bencana alam, sambungnya, para petani di desa itu mampu menghasilkan panen sebanyak 3 sampai 4 kali dalam setahun, namun karena saban tahun selalu terjadi bencana banjir maka hasil panen sering berkurang dari target yang ditetapkan.
"Bencana banjir tersebut sangat mengganggu petani karena mereka terpaksa harus menanggung rugi yang tak sedikit dampak dari persoalan itu. Padahal dengan menggarap lahan jagung itu, masyarakat petani setempat sangat terbantu karena mampu meningkatkan perekonomian mereka," ujarnya.
Dia menjelaskan, di saat terjadi bencana alam banjir, biasanya ketersediaan komoditi jagung di kawasan Trumon Raya menjadi langka dan terbatas, akibatnya harga jagungpun melambung tinggi.
"Seperti sekarang ini, sejak akhir Desember 2015 sampai awal tahun 2016, harga jagung di tingkat petani sudah mencapai Rp3.500/Kg. Harga itu jauh melambung tinggi dibandingkan dengan harga disaat hasil produksi melimpah yang hanya sebesar Rp2.600/Kg," sebut Taufik Kamil.
Taufik Kamil mengakui dengan hasil produksi yang masih berkisar antara 4-5 ton/hektare, masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan hasil produksi jagung di daerah lain yang sudah mencapai 7-8 ton/hektare.
Menurutnya, kondisi itu terjadi akibat masih kurangnya peran Pemkab Aceh Selatan melalui dinas terkait dalam memberikan pendampingan dan penyuluhan kepada petani melalui kegiatan sosialisasi dan pelatihan-pelatihan.
"Kalaupun ada dibantu penyaluran pupuk jenis NPK dan Urea oleh Pemkab Aceh Selatan, namun langkah kontrol tidak dilakukan langsung ke lapangan, sehingga penggunaan pupuk itu sering disalahgunakan oleh para petani karena peruntukannya tidak tepat sasaran," sesalnya.
Seorang petani, Taufik Kamil di Desa Cot Bayu, Kecamatan Trumon Tengah kepada wartawan Selasa mengatakan, banyak tanaman jagung yang terendam banjir, sehingga produksinya menurun hingga 50 persen.
Kecamatan Trumon Raya yang terdiri dari tiga kecamatan, yakni Trumon Timur, Trumon Tengah dan Trumon, dikenal sebagai sentra produksi sawit dan jagung di Kabupaten Aceh Selatan. Mayoritas lahan yang tersedia di wilayah itu, hampir penuh ditanami tanaman jagung yang diselingi di sela-sela tanaman kepala sawit.
Ia menyatakan, pada waktu normal tanpa ada bencana banjir, para petani mampu menghasilkan 3-4 ton per hektarenya. Namun ketika bencana banjir melanda, produksi yang dihasilkan hanya berkisar antara 1-2 ton hektare atau berkurang hingga mencapai 50 persen lebih.
Taufik menyatakan, Desa Cot Bayu, Kecamatan Trumon Tengah yang berlokasi di pedalaman itu, sedikitnya ada sekitar 500 hektare lahan jagung yang ditanami oleh 200 orang petani di sela-sela tanaman kelapa sawit di kebun mereka masing-masing.
Padahal jika saja tanpa ada ancaman bencana alam, sambungnya, para petani di desa itu mampu menghasilkan panen sebanyak 3 sampai 4 kali dalam setahun, namun karena saban tahun selalu terjadi bencana banjir maka hasil panen sering berkurang dari target yang ditetapkan.
"Bencana banjir tersebut sangat mengganggu petani karena mereka terpaksa harus menanggung rugi yang tak sedikit dampak dari persoalan itu. Padahal dengan menggarap lahan jagung itu, masyarakat petani setempat sangat terbantu karena mampu meningkatkan perekonomian mereka," ujarnya.
Dia menjelaskan, di saat terjadi bencana alam banjir, biasanya ketersediaan komoditi jagung di kawasan Trumon Raya menjadi langka dan terbatas, akibatnya harga jagungpun melambung tinggi.
"Seperti sekarang ini, sejak akhir Desember 2015 sampai awal tahun 2016, harga jagung di tingkat petani sudah mencapai Rp3.500/Kg. Harga itu jauh melambung tinggi dibandingkan dengan harga disaat hasil produksi melimpah yang hanya sebesar Rp2.600/Kg," sebut Taufik Kamil.
Taufik Kamil mengakui dengan hasil produksi yang masih berkisar antara 4-5 ton/hektare, masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan hasil produksi jagung di daerah lain yang sudah mencapai 7-8 ton/hektare.
Menurutnya, kondisi itu terjadi akibat masih kurangnya peran Pemkab Aceh Selatan melalui dinas terkait dalam memberikan pendampingan dan penyuluhan kepada petani melalui kegiatan sosialisasi dan pelatihan-pelatihan.
"Kalaupun ada dibantu penyaluran pupuk jenis NPK dan Urea oleh Pemkab Aceh Selatan, namun langkah kontrol tidak dilakukan langsung ke lapangan, sehingga penggunaan pupuk itu sering disalahgunakan oleh para petani karena peruntukannya tidak tepat sasaran," sesalnya.