Banda Aceh (ANTARA) - Pemerintah Aceh melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Aceh bertekad untuk pelestarian bahasa Aceh yang merupakan bagian memperkuat implementasi Qanun Bahasa Aceh.
Kepala Disbudpar Aceh, Almuniza Kamal di Banda Aceh, Jumat mengatakan pelestarian Bahasa Aceh sangat penting sebagai bagian dari identitas budaya masyarakat.
"Penelitian BRIN menunjukkan indikasi kemunduran penggunaan Bahasa Aceh, baik di ruang publik maupun dalam lingkungan keluarga," katanya.
Di sela-sela Focus Group Discussion (FGD) Revitalisasi Bahasa dan Sastra Aceh yang menghadirkan akademisi, seniman, perwakilan Balai Bahasa, dan berbagai instansi pemerintah pemerintah telah mengesahkan Qanun, ia menjelaskan pemerintah telah mengesahkan Qanun Bahasa Aceh dan menerbitkan Instruksi Gubernur yang mewajibkan penggunaan Bahasa Aceh setiap Kamis.
Baca: Gubernur: Bahasa cerminan jiwa bangsa
Karena itu, pihaknya mengumpulkan para pihak terkait untuk membahas strategi pelestarian Bahasa Aceh yang kini menghadapi ancaman kepunahan.
“FGD ini merupakan bentuk kekhawatiran pemerintah terhadap semakin berkurangnya penggunaan Bahasa Aceh," katanya.
Ia mengatakan hasil FGD akan dilaporkan kepada Gubernur Aceh sebagai dasar pengambilan kebijakan, termasuk penguatan regulasi dan anggaran.
“Semoga rekomendasi yang kita hasilkan hari ini menjadi langkah nyata dalam menjaga kelestarian bahasa dan sastra Aceh, sehingga tidak hanya bertahan tetapi juga berkembang di masa depan,” kata Almuniza.
Ia berharap kegiatan tersebut dapat menghasilkan rekomendasi strategis untuk memperkuat penggunaan Bahasa Aceh di berbagai sektor, termasuk pendidikan, adat, dan ruang publik.
Baca: FOTO - Pembelajaran Al Quran bahasa isyarat di SLB Aceh
Guru besar dari USK Prof. Harun Ar-rasyid mengatakan penggunaan Bahasa Aceh di sekolah dan ruang publik semakin menurun. Sementara di dayah dan balai pengajian masih cukup kuat.
FGD tersebut membahas dua isu utama, yaitu antisipasi kepunahan Bahasa Aceh dan implementasi Qanun Bahasa Aceh.
Rektor ISBI Aceh, Prof. Wildan menekankan pentingnya konsistensi dalam pelaksanaan Qanun Bahasa Aceh, terutama pada Bab VIII yang mengatur 17 poin pengembangan bahasa dan 11 poin pengembangan sastra.
“ISBI telah membuka Program Studi Bahasa Aceh, namun masih menghadapi keterbatasan dosen ahli dan kurikulum. Pelaksanaan Qanun harus diiringi dukungan nyata agar bahasa ini benar-benar berkembang,” katanya.
Baca: Peneliti BRIN sebut bahasa Aceh dalam status terancam punah
Perwakilan Lembaga Wali Nanggroe Aceh, Abdullah Hasbullah, menyoroti minimnya penggunaan Bahasa Aceh dalam penyelenggaraan adat dan kegiatan budaya. Ia juga menyoroti masih adanya stigma negatif terhadap penutur Bahasa Aceh.
“Wali Nanggroe akan mendorong agar Bahasa Aceh diajarkan tidak hanya di kampus, tetapi juga di sekolah-sekolah hingga gampong. Bahasa adalah bagian tidak terpisahkan dari adat,” katanya.
Perwakilan dari Balai Bahasa Provinsi Aceh, Ibrahami Sembiring menambahkan bahwa Qanun Bahasa Aceh sejalan dengan program revitalisasi bahasa daerah yang dijalankan oleh Kemendikbudristek melalui program Merdeka Belajar sejak 2022.
Balai Bahasa telah melakukan revitalisasi Bahasa Gayo dan tahun ini melanjutkan ke sejumlah daerah lain.
“Bahasa Aceh belum sepenuhnya terancam punah, tetapi gejala kemundurannya sudah terlihat di rumah tangga. Ini menjadi peringatan dini agar semua pihak bergerak,” katanya.
Baca: BBPA dorong penerapan bahasa daerah Aceh dalam pendidikan
