Jakarta (ANTARA) - Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Syafruddin menegaskan aparatur sipil negara muda di instansi pemerintah pusat wajib pindah ke ibu kota pemerintahan baru di Kalimantan Timur.

“Jadi tentu yang akan menduduki posisi-posisi baru itu tentu ASN yang muda, terutama yang periode perekrutan 2017, 2018 dan sekarang 2019, yang siap mental, berwawasan cukup bagus, kemampuan berpikir profesional cukup bagus. Itu yang akan berpindah,” kata Syafruddin di Kantor Wakil Presiden Jakarta, Selasa.

Syafruddin menyebutkan jumlah aparat sipil negara (ASN) di instansi pemerintah pusat sekitar 180.000 orang, 30 persen di antaranya mungkin tidak wajib pindah karena menjelang masa pensiun.

Artinya, Kementerian PANRB memperkirakan ada 126.000 ASN di instansi pusat yang harus berpindah ke ibu kota baru di Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur (Kaltim).

“Kita sudah data, yang berada di kementerian, lembaga dan badan-badan di tingkat pusat itu jumlahnya 180.000-an ASN. Sebagiannya, kira-kira 30 persen, itu tidak kena karena mereka juga sebagian akan pensiun. Kan paling tidak ada yang kena pensiun tahun ini, tahun depan atau nanti 2021 sampai 2024,” katanya.

Baca juga: Mendagri tegaskan ibu kota baru tidak menjadi daerah otonomi
Baca juga: Legislator ingin rencana pindah ibu kota jangan cuma soal tata ruang
Baca juga: Tidak ada kesulitan siapkan lokasi ibu kota baru, kata Menteri LHK



Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah resmi memilih Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) sebagai ibu kota baru negara Indonesia, yang meliputi sebagian daerah di Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara.

"Lokasi ibu kota baru yang paling ideal adalah di sebagian Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian di Kabupaten Kutai Kartanegara Provinsi Kalimantan Timur," ujar Presiden Jokowi di Istana Negara, Jakarta, Senin (26/8).

Pemerintah punya beberapa alasan dalam rencana pemindahan, antara lain, karena terjadi krisis ketersediaan air di pulau Jawa dan konversi lahan terbesar juga terjadi di sana.

Selain itu, tingginya urbanisasi terkonsentrasi di Jakarta dan Jabodetabek, kemacetan dan kualitas udara tidak sehat serta rawan banjir tahunan hingga turunnya tanah dan muka air laut naik, juga menjadi salah satu pertimbangannya.

Pewarta: Fransiska Ninditya
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2019