Jakarta (ANTARA) - Dosen Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yuliana Wahyuningtyas menilai Rancangan Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber (KKS) tanpa regulasi perlindungan data pribadi (PDB) yang kuat berpotensi pelanggaran hak asasi manusia.

"Kalau kita bicara dunia siber, ada data sensitif seperti perlindungan data pribadi. Kalau saya tidak sependapat, saya bisa ditangkap," kata Yuliana dalam diskusi publik bertema Menyoal RUU Keamanan dan Ketahanan Siber, Bagaimana Potensi Ancamannya bagi Kebebasan Sipil di Kampus Atma Jaya, Jakarta, Kamis.

Dalam siaran pers,  dia mengatakan bahwa tanpa adanya perlindungan data pribadi dalam RUU itu, semua orang yang tidak sependapat dengan para pemilik kekuasaan dapat dibungkam dengan dalih penangkapan atas pelanggaran undang-undang.

"Apa pun yang kita lakukan bisa direkam negara, ini ngomong apa, temannya siapa saja, fotonya apa saja, pernah pergi ke mana saja, posting apa. Apakah kita menginginkan itu? Saya kira tidak. Kita juga jadi takut memiliki pandangan politik berbeda dengan yang memegang kekuasaan," katanya.

Yuliana berpandangan keamanan dan ketahanan siber dapat diefektifkan apabila negara telah memiliki regulasi yang solid dalam melindungi data pribadi.

Baca juga: APJII dukung pengesahan RUU Keamanan dan Ketahanan Siber

Sependapat dengan Yuliana, Deputi Direktur Riset Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar dalam diskusi tersebut menegaskan bahwa tujuan inti dari sistem kemanan siber adalah perlindungan individu dengan mengedepankan prinsip-prinsip hak asasi manusia dalam penerapannya.

Yang menjadi persoalan, menurut Wahyudi, tidak ada satu pun aturan dalam RUU tersebut yang menyinggung letak keamanan individu, termasuk perlindungan data pribadi, perangkat, dan jaringan, serta mekanisme pengawasannya.

"Bayangkan sebuah produk undang-undang yang masih sangat prematur, kemudian dipaksakan untuk disahkan dan diterapkan, maka yang terjadi kemudian adalah abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan)," ujar Wahyudi.

Menurut dia, publik akan bertanya-tanya ketika kewenangan yang tidak jelas dan rancu diterapkan.

Di sisi lain, luasnya ruang lingkup ancaman terhadap konten destruktif yang didefinisikan secara subjektif dalam RUU tersebut, lanjut Wahyudi, akan menghambat kreativitas, inovasi, dan invensi teknologi siber. Begitu pula, komunitas ekonomi kreatif yang tumbuh begitu pesat di Indonesia dengan mengandalkan internet.

Baca juga: BSSN tutup kegiatan CIIP-ID Summit 2019

Polemik RUU KKS, kata Wahyudi, tidak akan terjadi andai saja DPR secara transparan mengundang pemangku kepentingan, dalam hal ini akademisi, pemerintah, masyarakat sipil, dan swasta yang merupakan elemen dari ekosistem internet nasional, berembuk bersama sebagaimana cara bangsa ini berdemokrasi dalam merumuskan dan menelurkan sebuah kebijakan bagi kemanfaatan masyarakat luas.

“DPR saya nilai gegabah dan apa yang mereka lakukan ini jelas mengganggu demokratisasi yang sedang kita bangun,” ujar Wahyudi.

Adapun RUU KKS yang diinisiasi oleh DPR tanpa melibatkan pemangku kepentingan terkait dipandang melampaui norma dan mengganggu demokratisasi di Indonesia.

Ketua Bidang Organisasi Asosiasi Penyelenggara Internet indonesia (APJII) Handoyo Taher mengatakan bahwa pihaknya tidak pernah dilibatkan dalam perumusan RUU tersebut.

Handoyo mengatakan bahwa ekonomi digital akan sangat terpengaruh bila Rancangan Undang-undang Keamanan dan Ketahanan Siber disahkan menjadi undang-undang.

"Industri kreatif berbasis digital saat ini berbeda dengan bisnis sebelumnya. Misalnya, aplikasi transportasi online, yang akhirnya melebarkan sayap menjadi multidimensi ke bidang logistik hingga fintech (teknologi finansial)," kata Handoyo.

Pewarta: Rangga Pandu Asmara Jingga
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2019