Jakarta (ANTARA) - Wajah Indah Setiawati (45) terlihat sumringah, ia tak henti-henti menyungggingkan senyum. Terlebih, saat namanya dipanggil untuk menerima penghargaan atas dedikasinya mendukung pendidikan keaksaraan pada komunitas adat terpencil dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).

Penghargaan itu diterimanya pada peringatan Hari Aksara Internasional di Makassar itu, atas dedikasinya terhadap pendidikan suku Anak Dalam di Kuamang Kuning, Kecamatan Pelepat Ilir, Kabupaten Bungo, Jambi.

Bagi Indah, suku Anak Dalam atau Orang Rimba sudah seperti keluarganya sendiri baginya. Melalui Pusat Kegiatan Belajar Mengajar (PKBM) Cempaka Putih, ia terjun langsung mengajarkan cara membaca, menulis dan berhitung (calistung) pada anak-anak suku Anak Dalam.

Menurut dia, untuk mengajak anak-anak suku Anak Dalam mau belajar tidak mudah, karena memiliki karakter susah terbuka dan tidak mau perintah. Ia punya strategi untuk merangkul mereka.

"Untuk mau mengajak mereka belajar, saya pergi kemana mereka bermalam, karena mereka biasanya suka pindah-pindah," kenang Indah, akhir pekan lalu.

Orang Rimba memiliki tradisi berpindah-pindah untuk mencari rotan, menangkap burung hingga mencari labi-labi. Hal itu dilakukan agar mereka bisa bertahan hidup. Hasil hutan itu dijual ke tengkulak ataupun langsung pasar.

Baca juga: Dirjen Paud dan Dikmas: ragam budaya lokal dorong literasi masyarakat

Baca juga: Mendikbud segera luncurkan literasi digital di Natuna


Akan tetapi, mereka sering ditipu oleh tengkulak karena tidak bisa baca tulis. Misalnya berat rotan yang seharusnya lima kilogram, para tengkulak katakan hanya tiga kilogram.

"Mereka sering ditipu karena tidak bisa berhitung. Kasihan, makanya saya ajarkan mereka calistung."

Perempuan tamatan Sekolah Menengah Atas (SMA) itu mengaku selama mengajar banyak suka duka yang dialaminya. Tak hanya calistung, ia juga mengajarkan mengenai kebersihan pada mereka. Semua itu diberikannya secara gratis.

"Awal saya mengabdi pada mereka, karena wasiat bapak. Almarhum bapak lurah selama 30 tahun di sana, dan sebelum meninggal bapak pesan agar tidak meninggalkan suku Anak Dalam."

Saat ini, Indah memiliki 80 murid yang semuanya berasal dari suku Anak Dalam. Ia mengajar suku Anak Dalam sudah lebih dari 10 tahun.

Selama itu pula, sudah banyak anak-anak suku Anak Dalam yang mengecap pendidikan mulai Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) hingga SMA. Ke depan, ia berharap semakin banyak pihak yang peduli terhadap pendidikan suku Anak Dalam. Suku tersebut saat ini, sudah mulai tersingkirkan karena banyaknya hutan yang dikonversi menjadi tanaman industri.

Ketua Forum Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Firman Venayaksa mengatakan adanya TBM di pedesaan berperan dalam memberantas buta aksara. Dengan mendekatkan akses buku bacaan pada masyarakat maka perlahan bisa mengurangi jumlah buta aksara dan meningkatkan minat baca.

Firman menyebut selama ini, buku-buku lebih banyak beredar di kota, seperti perpustakaan daerah biasanya terletak di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Jarang ada perpustakaan milik pemerintah di desa-desa.

Oleh karena itu, Firman meminta pemerintah untuk hadir dalam upaya pemerataan akses buku melalui pengiriman buku gratis, karena jika berbayar akan membutuhkan dana yang cukup besar. Firman memberi contoh, biaya mengirimkan buku ke Papua lebih mahal dibandingkan harga bukunya.

SDM Unggul

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy mengatakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada periode kedua fokus pada pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM). Salah satu upaya yang dilakukan Kemendikbud, adalah pemberantasan buta aksara. Buta aksara menjadi langkah awal untuk menciptakan SDM yang unggul.

Kemendikbud mengemas sejumlah program penuntasan buta aksara dengan budaya, keterampilan, dan bahasa. Program itu terdiri dua tingkatan, yaitu keaksaraan dasar bagi warga yang masih buta aksara, dan keaksaraan lanjutan bagi yang telah menyelesaikan program keaksaraan dasar.

Mendikbud menambahkan kementeriannya, menggulirkan program-program keaksaraan dengan memperhatikan kondisi daerah, seperti program keaksaraan dasar padat aksara, program keaksaraan dasar bagi komunitas adat terpencil atau khusus, program keaksaraan usaha mandiri, dan program multikeaksaraan.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik pada Susenas 2018, jumlah penduduk buta aksara turun sebanyak 3,29 juta orang, atau hanya 1,93 persen dari total populasi penduduk. Jumlah itu turun dibandingkan 2017, yang mana jumlah penduduk buta aksara tercatat 3,4 juta orang. Jumlah buta aksara turun tajam jika dibandingkan pada awal kemerdekaan tahun 1945, yang mana jumlah penduduk buta aksara mencapai 97 persen.

Saat ini, buta aksara masih banyak terdapat terutama di Indonesia bagian timur. Penyandang buta aksara sebagian besar di pedesaan dan di kantong-kantong kemiskinan.

Masyarakat yang mengalami buta aksara paling banyak perempuan dan berumur lebih dari 45 tahun. Terdapat enam provinsi di Indonesia dengan angka buta aksara lebih dari 4 persen, yaitu Provinsi Papua (22,88 persen), Nusa Tenggara Barat (7,51 persen), Nusa Tenggara Timur (5,24 persen), Sulawesi Barat (4,64 persen), Sulawesi Selatan (4,63 persen), dan Kalimantan Barat (4,21 persen).

"Pemberantasan buta aksara juga kami lakukan dengan sistem blok atau klaster, yaitu memusatkan program di daerah-daerah padat buta aksara."

Mendikbud menambahkan jika keenam provinsi itu dapat memberantas buta aksara di daerahnya masing-masing, maka angka buta aksara Indonesia akan menurun secara signifikan. Oleh karena itu, upaya pemberantasan buta aksara terus berlanjut, meskipun saat ini angka buta aksara semakin menurun.

"Tugas kita bersama untuk menuntaskan buta aksara dan membebaskan bangsa ini dari kebutaaksaraan harus terus kita lakukan. Jika kita mampu membebaskan diri dari buta aksara secara keseluruhan, maka kita bisa berharap kualitas sumber daya manusia di seluruh Indonesia akan semakin meningkat."

Ke depan, lanjut Mendikbud, tantangan masa depan semakin berat, karena tidak cukup hanya berbekal sekadar bisa baca, tulis dan berhitung. Selain keterampilan membaca, menulis dan berhitung, setiap orang dewasa dituntut menguasai literasi digital, literasi keuangan, literasi sains, literasi kewargaan dan kebudayaan.

"Gerakan Pemberantasan Buta Aksara di seluruh dunia mungkin akan segera bergeser menjadi gerakan penguasaan enam literasi dasar tersebut. Kita harus menyiapkan anak-anak kita untuk bisa menguasai hal itu," imbuh Mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang itu.***3***

Baca juga: Pria Bandung temukan formula belajar untuk Suku Anak Dalam
 

Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019