Jakarta (ANTARA) - Koalisi Masyarakat Sipil mendesak Presiden RI Joko Widodo untuk menarik diri dari pembahasan Rancangan Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber (RUU KKS) lantaran pembahasannya terlalu singkat untuk disahkan oleh DPR.

Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri atas sejumlah LSM dengan fokus terhadap hak asasi manusia (HAM) saat jumpa pers di Kantor Setara Institute, Jakarta, Jumat, mencatat RUU KKS muncul atas inisiatif DPR pada bulan Juli 2019 untuk dilakukan pembahasan bersama dengan pemerintah.

Peneliti senior Imparsial Anton Aliabbas mengutarakan secara tegas mengenai penolakan atas pengesahan RUU KKS.

Koalisi Masyarakat Sipil meminta Presiden Joko Widodo campur tangan bila RUU KKS disahkan DPR periode 2014—2019.


"Kami menolak pengesahan RUU KKS pada periode 2014—2019. Apabila dipaksa disahkan, kami mendesak Jokowi menarik diri dari pembahasan RUU KKS. Pengesahan RUU ini akan menambah kegaduhan yang tidak perlu, akan menambah komplikasi dalam kegaduhan yang ada," kata Anton saat jumpa pers Koalisi Masyarakat Sipil menolak RUU KKS.

RUU KKS akan mencatat sejarah beleid supercepat dengan pembahasan yang dilakukan DPR dalam tempo 3 hari.

Dalam internal pemerintah sendiri disebut Koalisi Masyarakat Sipil saat ini tengah mencoba merampungkan penyusunan daftar inventaris masalah (DIM) sebagai syarat pembahasan.

Meski muncul sebagai inisiatif sejak Juli lalu, rapat pembahasan baru akan pertama kali dilakukan DPR pada hari Jumat.

Dengan berakhirnya masa tugas pada tanggal 30 September 2019, praktis hanya tersisa 3 hari bagi para wakil rakyat untuk mengesahkan RUU KKS sebagai beleid.

Baca juga: Mekanisme perundang-undangan tak dipenuhi, rapat Pansus RUU KKS batal

Deputi Direktur Riset Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar mengatakan bahwa DPR baru rapat pembahasan pertama pada hari ini dan hanya memiliki waktu 3 hari sebelum berakhirnya masa tugas.

"Jika disahkan, RUU ini akan mencatat sejarah supercepat, mengalahkan UU KPK dan pembahasan RUU KUHP yang saat ini menjadi polemik di tengah masyarakat," katanya.

Wahyudi mengaku khawatir jika RUU KKS dipaksa untuk disahkan pada periode ini justru akan menyandera RUU Perlindungan Data Pribadi.

Padahal, RUU ini seharusnya dibangun secara paralel dengan RUU Perlindungan Data Pribadi sehingga tidak saling mengunci.

Baca juga: Pakar sebut pembahasan RUU KKS seperti "jin"

"Kenapa harus paralel RUU KKS dengan Perlindungan Data Pribadi? Untuk memastikan adanya kedaulatan individu di ruang siber," kata Wahyudi.

Ada dua hal harus ditekankan, data sekuriti dan data protection yang terkait erat dengan hak-hak pemilik data. Misalnya, pemilik data memiliki akses mengubah, menghapus, atau menolak. Sementara data sekuriti memastikan langkah pengelola bagaimana mengamankan data agar tidak ada kebocoran

Kalau ini tidak dilakukan bersamaan, menurut dia, akan mengunci beberapa hal yang seharusnya bisa diatur kuat dalam RUU Perlindungan Data Pribadi, seperti monitoring kebocoran data pribadi, akses perlindungan terhadap kebocoran, atau penyalahgunaan monitoring data.

Sementara itu, Direktur Indonesia Legal Round Table (ILRL) Erwin Natosmal Oemar berpendapat salah satu hal terpenting dari pembahasan RUU adalah evaluasi, antara lain, mengenai persinggungan dengan regulasi lain, struktur, ataupun substansi.

Baca juga: FTII dukung DPR segera proses RUU KKS jadi undang-undang

"RUU ini tidak pernah dievaluasi, bagaimana persinggungan regulasi ini dengan regulasi lain. Soal struktur, substansi apakah sudah dievaluasi? Saya lihat ada dua delik pidana yang sebenarnya menjadi problem, UU ITE saja sudah ada korban, belum dievaluasi UU ITE sudah ada lagi RUU dengan pasal karet yang ancaman hukumannya tinggi," papar Erwin.

RUU ini juga dinilai kontradiktif dengan semangat Presiden Joko Widodo untuk melakukan perampingan lembaga. Dalam 5 tahun ini, telah melakukan perampingan dengan memotong 25 lembaga.

"RUU ini justru kontradiktif dengan penyederhanaan strutur yang digaungkan Jokowi," katanya.

Ia mengingatkan DPR dan pemerintah untuk berhati-hati menyikapi pembahasan RUU KKS dengan evaluasi kelembagaan, substansi, dan regulasi.

Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2019