Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan Komisi Pemberantasan Korupsi mungkin akan mengajukan Peninjauan Kembali (PK) dalam perkara korupsi penghapusan piutang Bantuan Langsung Bank Indonesia (BLBI) terhadap Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI).

"Untuk PK nanti kita akan dalami ya kalau ada itu bisa membantu apa 'mengclearkan' perkara, kenapa tidak? Kemarin kan tiga hakim beda semua kan yang satu pidana yang satu perdata yang satu administrasi," kata Alexander di Jakarta, Selasa.

Baca juga: KPK susun strategi baru kasus BLBI pasca pelanggaran etik hakim MA

Baca juga: MA: Hakim yang lepaskan terdakwa BLBI terbukti langgar etik


Sebelumnya Juru Bicara Mahkamah Agung Andi Samsan Nganro menyatakan hakim ad hoc Tindak Pidana Korupsi, Syamsul Rakan Chaniago terbukti melanggar kode etik dan perilaku hakim dan dihukum tidak boleh menangani perkara selama 6 bulan.

Syamsul adalah salah satu majelis hakim kasasi yang menangani kasus dugaan korupsi perkara korupsi penghapusan piutang BLBI terhadap BDNI dengan terdakwa mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Tumengung (SAT).

Pada 9 Juli 2019 lalu, majelis kasasi yang terdiri atas hakim Salman Luthan selaku ketua dengan anggota hakim Syamsul Rakan Chaniago dan Mohamad Asikin memutuskan SAT tidak melakukan tindak pidana sehingga harus dikeluarkan dari tahanan.

Pelanggaran etik yang dilakukan Hakim Syamsul Rakan Chaniago adalah namanya masih tercantum di kantor lawfirm walau sudah menjabat sebagai hakim ad hoc Tipikor pada MA dan mengadakan pertemuan dengan pengacara SAT yaitu Ahmad Yani di Plaza Indonesia pada 28 Juni 2019 pukul 17.38-18.30 WIB, padahal saat itu Syamsul duduk sebagai hakim anggota pada majelis hakim SAT.

"Akan kita dalami terkait dengan apa yang bersangkutan dijatuhi hukuman kode etik apakah terkait dengan penanganan perkara SAT. Sejauh mana relevansinya terkait dengan keputusan yang kemarin dia buat kan? Apakah putusan yang kemarin dibuat itu terkait dengan pelanggaran kode etik atau tidak akan kita lihat relevansinya dengan perkara yang diputuskan," tambah Alexander.

Dalam KUHAP menegaskan bahwa yang berhak mengajukan PK ialah terpidana atau ahli warisnya

Pasal 263 Ayat (1) KUHAP mengatakan bahwa "terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung".

Banyak pakar hukum mengatakan pengajuan PK oleh jaksa itu adalah kekeliruan peradilan (rechtelijke dwaling) dan langkah jaksa semacam itu tak ubahnya menerobos aturan KUHAP.

Mahkamah Konstitusi (MK) pada Mei 2016 juga memutuskan jaksa tidak boleh mengajukan PK.

Dalam putusannya, Mahkamah menegaskan rumusan Pasal 263 ayat (1) KUHAP setidaknya memuat empat landasan pokok. Pertama, PK hanya diajukan terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Kedua, PK tidak dapat diajukan terhadap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan. Ketiga, permohonan PK hanya dapat diajukan terpidana atau ahli warisnya. Keempat, PK hanya dapat diajukan terhadap putusan pemidanaan.

Sebelumnya putusan majelis Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada 24 September 2018 yang menjatuhkan vonis 13 tahun penjara ditambah denda Rp700 juta subsider 3 bulan kurungan kepada Syafruddin Arsyad Temenggung.

Sedangkan pada 2 Januari 2019 Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta memperberat vonis Syafruddin menjadi pidana penjara selama 15 tahun dan pidana denda sebesar Rp1 miliar dengan ketentuan bila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 3 bulan.

Namun Syafruddin mengajukan kasasi ke MA dan membatalkan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Tinggi DKI Jakarta No 29/PID.SUS-TPK/2018/PT DKI tanggal 2 Januari 2019 yang mengubah amar putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No 39/PID.SUS/TPK/2018/PN.JKT.PST. tanggal 24 September 2018.

Majelis kasasi menilai bahwa Syafruddin melakukan perbuatan yang didakwakan tapi bukan dikategorikan sebagai perbuatan pidana.

Ketua majelis Salman Luthan sependapat bahwa perbuatan SAT adalah tindak pidana korupsi namun hakim anggota I, Syamsul Rakan Chaniago berpendapat bahwa perbuatan SAT merupakan perbuatan hukum perdata. Sedangkan hakim anggota 2 Mohamad Asikin berpendapat bahwa perbuatan SAT merupakan pelanggaran hukum adminsitrasi.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2019