Palangka Raya (ANTARA) - Ketua Ikatan Alumni Universitas Indonesia Endang Mariani menyatakan bahwa pihaknya terpanggil untuk berpartisipasi dan terlibat aktif dalam mencegah sekaligus menangani kabut asap dari kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Kalimantan Tengah, karena dampaknya kurang baik terhadap kesehatan masyarakat setempat.

"Sekalipun sekarang ini kabut asap sudah tidak terlalu pekat, tapi karhutla masih terjadi di sejumlah titik dan itu tetap mempengaruhi kualitas udara di Kalteng," kata Endang usai bertemu Rektor Universitas Palangka Raya Andrie Elia Embang di Palangka Raya, Senin.

"Sama sekali belum selesai kabut asap di Kalteng. Meskipun sudah membaik, di beberapa tempat, NAB PM 2.5 masih fluktuatif dan udara pada waktu-waktu tertentu masih masuk dalam kategori tidak sehat," ucapnya.

Menurut Doktor Psikologi Lulusan UI itu, asap yang muncul akibat terjadinya karhutla di Indonesia, khususnya Kalteng, mayoritas perbuatan manusia dan terjadi berulang-ulang. Melihat kondisi itu, ada kesimpulan bahwa ada permasalahan yang belum diselesaikan, yakni penyebab mendasar kenapa manusia melakukan karhutla.

Banyak penelitian dan kajian dilakukan oleh perguruan tinggi, maupun para pakar. Dengan segala kompleksitasnya, akar permasalahan pun sudah diketahui dengan pasti.

Baca juga: Iluni UI Peduli menutup kegiatannya di Sulteng

"Banyak cara pencegahan dan rekomendasi sudah diberikan. Persoalannya adalah sudah cukup kuatkah kemauan untuk mengatasinya?. Ini persoalan yang sesungguhnya," kata Endang.

Ditegaskannya, dampak dari asap kebakaran hutan dan lahan, bukan hanya dirasakan saat kejadian, tapi panjang. Bukan saja dengan munculnya keluhan-keluhan penyakit yang muncul, tapi akibat yang akan dirasakan sampai puluhan tahun ke depan, khususnya oleh anak-anak dan balita, bisa cukup serius dan dapat mengancam jiwa.

Dia mengatakan belum lagi kerugian secara ekonomis, terkait biaya yang dikeluarkan untuk memadamkan api dan menanggulangi kondisi darurat. Itupun masih ada biaya-biaya lain yang tidak terlihat dan tidak terhitung.

"Secara psikologis, kondisi lingkungan yang dipenuhi asap sepanjang waktu, juga sangat berpengaruh terhadap emosi, kesehatan jiwa dan produktivitas kerja," kata Endang.

Sementara itu, Rektor UPR Andrie Elia mengatakan, setiap terjadi kebakaran hutan, biaya yang dikeluarkan sangat besar. Sekarang persoalannya, bukan bagaimana mengantisipasi jika terjadi lagi kebakaran hutan.

"Lebih penting dari itu adalah bagaimana kita bisa mencegahnya, supaya tidak perlu lagi keluar biaya triliunan untuk memadamkan api," ucapnya.

Ellia menyatakan bahwa UPR harus masuk dalam kelompok perguruan tinggi yang memasukkan kurikulum kebencanaan, karena walaupun tidak berada di daerah rawan bencana, seperti gempa bumi, gunung meletus, dan sebagainya, tapi kebakaran hutan termasuk bencana besar.

"Akan tetapi anggaran untuk itu belum ada posnya. Tanpa dukungan pemerintah pusat, tidak akan mampu pemerintah daerah mengatasinya sendiri," demikian Elia.

Baca juga: Iluni UI serahkan Rp19 miliar untuk huntara korban gempa
Baca juga: BMKG sebut hujan kurangi titik panas di Kalteng

​​​​​


 

Pewarta: Kasriadi/Jaya W Manurung
Editor: Masnun
Copyright © ANTARA 2019