Madrid, Spanyol (ANTARA) - Dalam laporan Kantor Staf Presiden (KSP) berjudul Lima Tahun Maju Bersama, yang merangkum capaian pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, Kepala Staf Kepresidenan Jenderal TNI (Purn) Moeldoko mengatakan berbagai catatan pencapaian dan kekurangan selama lima tahun terakhir (2014-2019) menjadi pembelajaran bersama.

Apa yang sudah dilakukan pemerintahan ini akan menjadi fondasi kebijakan untuk mempersiapkan bangsa Indonesia lebih maju lagi ke depan. Moeldoko mengatakan dengan terus menyempurnakan fondasi infrastruktur dan pembangunan manusia unggul, bangsa Indonesia diyakini akan melangkah mencapai cita-cita kemerdekaan.

Yang utama yakni mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum.

Sejumlah aspek menjadi target penting dalam mencapai cita-cita kemerdekaan, yang kemudian diterjemahkan dalam sembilan Nawacita. Dan aspek sosial budaya tercakup dalam Nawacita ke-8 yakni melakukan revolusi karakter bangsa, serta Nawacita ke-9 yakni memperteguh kebhinekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia.

Unsur kearifan lokal dan keberlanjutan masuk dalam Nawacita ke-8. Moeldoko menyebutkan bahwa di tengah-tengah dunia yang kompetitif dan terus berubah, kearifan lokal serta berbagai insiatif untuk memastikan keberlanjutan budaya dan lingkungan menjadi tiang penyangga yang kokoh sebuah bangsa

Namun jika merujuk pada isu yang ingin ditekankan di dalamnya memang terasa lebih dekat dengan aspek ekonomi ketimbang sosial budaya. Beberapa di antaranya adalah bagaimana mewujudkan Indonesia hijau, menurunkan emisi melalui kendaraan bermotor listrik, menjaga hutan, menangani kebakaran hutan dan lahan, memastikan hak rakyat atas tanah, akses perhutanan sosial, melindungi dan memanfaatkan potensi laut.

Baca juga: Empat capaian terbesar sektor energi era Jokowi

Capaian keberlanjutan

Catatan KSP yang diambil dari Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk unsur kearifan lokal dan keberlanjutan guna mewujudkan Indonesia hijau menyebutkan bahwa masa depan bangsa akan ditentukan oleh komitmen dan konsistensi untuk mulai memanfaatkan energi baru dan terbarukan (EBT).

Dalam grafik, total kapasitas pembangkit EBT Indonesia pada 2014 mencapai 3.018 Mega Watt (MW), pada 2015 mencapai 3.454 MW, pada 2016 mencapai 3.669 MW, pada 2017 mencapai 4.062 MW, pada 2018 mencapai 4.407 MW dan pada 2019 akan mencapai 4.776 MW.

Sejumlah infrastruktur pembangkit EBT yang dibangun berupa Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Tolo di Kabupaten Jeneponto dan PLTB Sidrap di Sulawesi Selatan. Selain itu, ada pula Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPb).

Sementara itu, upaya pemerintah mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil sekaligus menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) dilakukan melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai adalah jawabannya, yang sekaligus akan mendorong industri kendaraan listrik nasional.

Kolaborasi triple helix antara Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, akademisi dan perusahaan swasta menghasilkan motor listrik Gesits. Kendaraan listrik karya anak bangsa yang telah diuji jalan Jakarta-Bali pada 2018 juga sempat dicoba oleh Presiden Joko Widodo di kawasan Istana Kepresidenan.

Namun demikian, yang masih menjadi catatan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di isu lingkungan hidup di Indonesia seperti Wahana Lingkungan Hidup dan Greenpeace Indonesia yakni sumber listrik yang masih dominan berasal dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batu bara.

Sedangkan terkait persoalan menjaga hutan, Moeldoko mengatakan tata kelola semakin baik, berorientasi tapak dan menumbuhkan kepercayaan publik, dengan ditandai oleh laju penyusutan hutan yang menurun dan luas rehabilitasi hutan yang meluas.

Dalam catatan KLHK, pada 2014-2015 deforestasi ada pada angka 1,89 juta hektare (ha) per tahun, pada 2015-2016 mencapai 0,63 juta ha per tahun, pada 2016-2017 mencapai 0,48 juta ha per tahun dan pada 2017-2018 mencapai 0,44 juta ha per tahun.

Sementara itu, masih bersumber data KLHK, luas rehabilitasi hutan dan lahan mengalami penambahan maupun pengurangan selama 2014-2019. Jika pada 2015 angkanya mencapai 200.447 ha maka di 2016 hanya 198. 346 ha.

Pada 2017, angka rehabilitasi hutan dan lahan Indonesia mencapai 200.990 ha, lantas menurun menjadi 188.630 ha di 2018, dan ditargetkan mencapai 375.750 ha di 2019.

Persoalan lingkungan yang terjadi puluhan tahun dan belum juga teratasi adalah kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang menimbulkan asap-asap pekat yang mengganggu kesehatan dan aktivitas masyarakat.

Jika pada 2015 total hutan dan lahan yang terbakar mencapai hingga 2,6 juta ha, maka di penghujung pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla karhutla yang menimbulkan asap pekat masih terjadi di provinsi-provinsi rawan seperti Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Papua.

Upaya mengatasi karhutla yang seharusnya mengutamakan langkah pencegahan pada akhirnya harus dilakukan bersama di tingkat tapak yang melibatkan aparat pemerintah, LSM dan masyarakat setempat. Pemadaman termasuk menggunakan teknologi modifikasi cuaca (TMC) dan water bombing.

Teknologi modifikasi cuaca yang bertujuan mempercepat turunnya hujan milik Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) tersebut setidaknya membutuhkan dana ratusan juta rupiah untuk sekali penyemaian garam melalui udara dengan pesawat terbang.

Dalam catatan KLHK, terdapat 415 posko patroli terpadu pencegahan karhutla. Sedangkan untuk pemadaman pemerintah menyiapkan 50 unit pesawat, 162,4 ton garam semai untuk TMC, 263.165.874 liter air untuk water bombing, yang keseluruhannya menjangkau 1.414 lokasi.

Masih berkaitan dengan keberlanjutan, untuk melindungi dan memanfaatkan potensi laut maka pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2019 tentang Rencana Tata Ruang Laut sehingga pengelolaan laut dapat dilakukan secara berkelanjutan.

Pemerintah memperluas kawasan konservasi laut dari 17,3 juta ha di 2015, menjadi 17,9 juta ha di 2016, bertambah menjadi 19,14 juta ha di 2017, lalu menjadi 20,87 juta ga di 2018, dan di 2019 menjadi 22,69 juta ha.

Baca juga: WALHI harapkan Jokowi pilih menteri yang paham isu lingkungan hidup

Kesejahteraan umum

Cita-cita bangsa sesuai yang tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 untuk memajukan kesejahteraan umum sejatinya dapat dicapai dengan berbagai cara, termasuk salah satunya memberikan hak atas tanah pada masyarakat.

Presiden Joko Widodo memerintahkan percepatan Reforma Agraria dengan meningkatkan koordinasi Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah, untuk melakukan redistribusi bidang-bidang tanah yang telah ditetapkan sebagai obyek Reforma Agraria dan mewajibkan adanya corporate social responsibility (CSR), kata Moeldoko.

Capaian redistribusi tanah pada 2015 hingga Juni 2019 mencapai 558.700 bidang tanah seluas 418.748 ha. Sedangkan capaian legalisasi tanah pada periode yang sama mencapai 14.223.763 bidang tanah dengan total luas 3.641.937 ha berdasarkan catatan Kementerian ATR/BPN.

Cara lain pemerintah mengupayakan kesejahteraan umum, pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla juga menjalankan program Perhutanan Sosial di mana masyarakat diberikan akses mengelola kawasan hutan.

Perhutanan sosial, menurut Moeldoko, merupakan kebijakan inovatif Pemerintah untuk memberikan hak dan akses pengelolaan lahan kepada masyarakat kurang mampu. Hingga kini, luas Hutan Desa yang terealisasi mencapai 1.348.349,21 ha, Hutan Kemasyarakatan mencapai 666.458,82 ha, Hutan Tanaman Rakyat mencapai 340.837,68 ha, Kemitraan Hutan mencapai 319.414,78 ha, sedangkan Hutan Adat mencapai 574.221 ha.

Mengutip pernyataan Presiden Joko Widodo dalam Pidato Sidang Kabinet Paripurna Periode 2014-2019 yang dilaksanakan pada 3 Oktober 2019,”Saya melihat banyak hal yang telah berjalan karena itu keandalan proses eksekusi, efektivitas proses delivery harus menjadi penekanan dalam perancangan RPJMN tahun 2020-2024”.

Proses eksekusi itu yang membutuhkan keberanian dalam memuluskan pelaksanaan reforma agraria hingga perhutanan sosial yang harus dimiliki di pemerintahan selanjutnya. Hingga ketimpangan kepemilikan lahan antara si kaya atau pemilik modal dan yang miskin semakin berkurang drastis.

Komitmen mencerdaskan kehidupan rakyat dan demi kesejahteraan umum harusnya menjadi dasar dan dipegang kuat setiap jajaran pemerintahan dan kementerian mendatang untuk pengambilan kebijakan dan mengeksekusi kebijakan tersebut di masa depan.

Baca juga: Presiden diharapkan tegaskan komitmen lingkungan hidup di pelantikan

Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019