Jakarta (ANTARA) - Penyelesaian konflik lahan sawit dalam kawasan hutan sebagai pemicu utama isu deforestasi harus menjadi prioritas Pemerintah.

Direktur Supporting Palm Oil Sustainbality (SPOS) Kehati Irfan Bakhtiar dalam Diskusi Pojok Iklim di Jakarta, Kamis mengatakan, ada beberapa opsi bisa dilakukan seperti perubahan status kawasan hutan (pemutihan) melalui tim terpadu Rencana rencana tata ruang wilayah provinsi (RT/RWP).

Opsi lain berupa penataan sawit di kawasan hutan serta melakukan pendataan dan reforma agraria melalui perhutanan sosial.

Baca juga: Kehati minta pemerintah intensifikasi sawit tanpa buka hutan

Menurut Irfan, pengakuan sawit sebagai tanaman hutan sebenarnya bisa jadi pilihan namun, implementasinya sulit serta rawan penolakan.

"Namun demikian, semua pihak perlu bekerja sama guna menuntaskan persoalan sekitar 3,47 juta hektare kebun yang ditengarai berada di kawasan hutan," katanya dalam Diskusi Pojok Iklim.

Menurut dia, konflik lahan sawit tidak terlepas dari keberhasilan sawit mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia sehingga menyebabkan pergeseran budidaya sejumlah komoditas seperti karet dan tanaman lain.

Baca juga: Ekspor minyak sawit tumbuh 3,8 persen, tembus 22,7 juta ton

”Karena itu, penyelesaian tumpang tindih lahan harus jadi prioritas agar Indonesia tidak dihantam terus menerus dengan isu deforestasi,” kata Irfan.

Sebelumnya, Asisten Deputi Tata Kelola Kehutanan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Prabianto Mukti Wibowo mengatakan, Pemerintah tengah mengkaji beberapa opsi seperti pelepasan kawasan serta pemberian izin legal (land amnesty) untuk menyelesaikan sengketa 3,17 juta hektare kebun sawit

“Kita masih diskusikan dengan banyak pakar hukum agar kedepan tidak menjadi persoalan baru dan dapat dibakukan dalam bentuk regulasi,” katanya.

Menurut dia, dalam mengambil keputusan, pemerintah akan mempertimbangkan banyak hal seperti historis adanya perubahan-perubahan regulasi pemerintah pada saat itu yang memungkinkan seseorang atau lembaga membangun kebun.

“Prinsipnya, kebijakan itu harus pro rakyat dan mampu meningkatkan kelembagaan petani sawit serta memastikan setiap perkebunan menerapkan standar Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO),” kata dia.

Sementara itu pengamat Hukum Kehutanan dan Lingkungan DR Sadino berpendapat, kebijakan izin satu daur penanaman sawit atau sekitar 35 tahun lebih dapat diterima masyarakat dibandingkan pemutihan, land amnesty dan sebagainya yang pada akhirnya sulit dieksekusi.

Kebijakan ini juga menunjukkan apresiasi pemerintah terhadap hak masyarakat yang telah berusaha secara legal dan turun temurun pada konsesi yang belakangan diklaim sebagai kawasan hutan. Selain praktis, kebijakan ini memberi kepastian hukum dan keberlanjutan usaha.

Kepala Dinas Perkebunan (Disbun) Kalimantan Tengah (Kalteng) Rawing Rambang mengharapkan, pemerintah pusat perlu segera merampungkan regulasi yang konsisten terkait sengketa lahan sawit.

Pasalnya, Kalteng menjadi provinsi yang paling terdampak akibat sering berubahnya regulasi di tingkat pemerintah pusat.

Menurut Rawing, tumpang tindih regulasi telah mengakibatkan banyak konflik lahan. Sebagai contoh, jika mengacu pada perda 8 tahun 2003, sekitar 67 persen merupakan kawasan hutan sedangkan berdasarkan Permenhut 529 tahun 2012 menetapkan kawasan hutan mencapai 82 persen.

”Karena muncul aturan baru, sehingga yang sudah terlanjur beraktivitas tanpa pelepasan ini jadi masuk kawasan hutan. Hal ini tidak bisa dihindari dan tentu karena aturan yang terbit belakangan," katanya.

Pewarta: Subagyo
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2019