Jakarta (ANTARA) - Sidang permohonan pengujian Undang Undang Nomor 21/2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua dengan agenda mendengarkan keterangan ahli ditunda lantaran pemohon terlambat mengajukan pemberitahuan tentang ahli yang akan dihadirkan.

"Sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Mahkamah Konstitusi, pemberitahuan tentang ahli itu harus dua hari sebelum hari persidangan. Tapi baru bisa kami sampaikan kemarin sore," ujar Kuasa hukum pemohon Partai Papua Bersatu, Habel Rumbiak di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu.

Baca juga: Jabat Mendagri, Tito akan cek dan evaluasi dana otsus

Baca juga: Ahli: Hak masyarakat adat Papua tak disuarakan partai politik nasional

Baca juga: Kemendagri sebut Otsus Papua tidak sama dengan Aceh


Habel mengatakan keterlambatan pemberitahuan ahli tersebut telah melanggar aturan yang berlaku dalam persidangan di MK, sehingga demi ketaatan terhadap hukum, maka pelaksanaan sidang tersebut harus ditunda.

Sebelumnya pada Rabu (17/10), pemohon telah menghadirkan ahli dari Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Cenderawasih Melkias Hetharia.

Adapun ahli yang sedianya akan dihadirkan pemohon pada sidang hari ini adalah mantan Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri yang juga Guru Besar IPDN Djohermansyah Djohan.

Habel mengatakan Djohermansyah memiliki kapasitas untuk menjelaskan terkait partai politik lokal, yang menjadi fokus gugatan pemohon ke MK.

"Beliau punya konsentrasi adalah demokrasi lokal yang kira-kira bisa menceritakan tentang partai politik lokal. Dia terlibat juga dalam rancangan undang-undang otonomi khusus plus untuk Papua," kata Habel.

Habel mengatakan sidang permohonan pengujian Undang Undang Nomor 21/2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua dengan agenda mendengarkan keterangan ahli akan dijadwal ulang oleh MK pada hari yang masih belum ditentukan.

Permohonan yang diregistrasi dengan nomor perkara 41/PUU-XVI/2019 tersebut, diajukan oleh Partai Papua Bersatu yang diwakili oleh Ketua Umum Partai Papua Bersatu Krisman Dedi Awi Janu Fonataba dan Sekretaris Jenderalnya Darius Nawipa.

Pemohon merasa dirugikan dengan adanya aturan dalam Pasal 28 ayat (1) UU 21/2001 terkait dengan pembentukan partai politik.

Gugatan ini berawal ketika pemohon mendaftar ke KPU Provinsi Papua untuk mengikuti verifikasi faktual dan administratif agar dapat ikut serta sebagai peserta Pileg 2019.

Namun upaya tersebut ditolak oleh KPU Provinsi Papua dengan alasan belum adanya ketentuan hukum yang secara tegas mengatur keberadaan Partai Politik Lokal di Provinsi Papua.

Selain itu keputusan pengesahan Partai Papua Bersatu sebagai badan hukum ternyata telah dibatalkan atau dicabut oleh Kementerian Hukum dan HAM.

KPU dan Kementerian Hukum dan HAM berpendapat bahwa ketentuan pada Pasal 28 ayat 1 UU No. 21/2001 hanya menyebutkan tentang Partai Politik dan bukan Partai Politik Lokal, sehingga tidak ada dasar hukum bagi keberadaan partai politik lokal di Provinsi Papua.

Ketentuan Pasal 28 ayat 1 UU 21/2001 tersebut dinilai pemohon menghambat dan menghalangi Partai Papua Bersatu untuk ikut serta dalam Pileg 2019.

Pemohon menyebutkan pada awalnya aturan mengenai otonomi khusus Papua khususnya Pasal 28 ayat 1 adalah berkenaan dengan Partai Politik Lokal di Papua, dengan tujuan untuk memproteksi penduduk lokal di Papua agar selalu terwakili pada lembaga legislatif di daerah Provinsi Papua.

Selain itu pemohon berpendapat bahwa pendirian partai politik lokal merupakan wujud dari hak asasi warga negara yang dilindungi konstitusi, yaitu kebebasan berkumpul, berserikat dan mengeluarkan pendapat, karenanya wajib diberi ruang oleh peraturan perundang-undangan di bawahnya, termasuk Undang-undang Otonomi Khusus Papua.

Oleh sebab itu pemohon meminta Mahkamah untuk menyatakan frasa "Partai Politik" dalam Pasal 28 ayat (1) UU 21/2001 dinyatakan konstitusional bersyarat sepanjang dimaknai "Partai Lokal".

Pewarta: Fathur Rochman
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2019