Jakarta (ANTARA) - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) merilis laporan yang mencatat sebanyak 1.056 peristiwa pelanggaran hak berkumpul secara damai terjadi dalam rentang waktu 2015-2018.

"Terhitung sejak 2015 hingga 2018, KontraS mendokumentasikan 1.056 peristiwa pelanggaran berkumpul secara damai," ujar peneliti KontraS Rivanlee Anandar di Jakarta, Jumat.

Baca juga: KontraS desak polisi lakukan kekerasan diproses hukum

Rivan mengatakan data tersebut diperoleh KontraS melalui pemantauan media, turun langsung ke lapangan di beberapa daerah, serta informasi dari jaringan yang dimiliki.

Adapun secara kewilayahan, studi kasus tersebut dilengkapi dengan wawancara dan penggalian informasi mendalam di daerah Jawa Barat, Yogyakarta, dan Papua.

Baca juga: KontraS nilai hukuman mati di Indonesia sudah tidak relevan

Dari temuan di tiga lokasi tersebut, kata Rivan, diketahui bahwa terdapat tren yang menguat untuk membatasi ruang ekspresi, termasuk pembatasan khusus terhadap hak berkumpul secara damai di muka publik.

Rivan mengatakan dalam laporan KontraS ditemukan adanya poIa-pola yang berulang. Pertama, adanya pola pembatasan hak berkumpul menggunakan restriksi aparat penegak hukum yang tidak terukur.

Baca juga: KontraS dorong Jokowi membawa kasus pelanggaran HAM ke pengadilan

"Adanya keterlibatan aparat negara dalam pelanggaran pembatasan hak kebebasan berkumpul, baik secara langsung maupun tidak langsung, atau dengan kata lain polanya adalah pembiaran, serta minimnya pemahaman aparat mengenai hak kebebasan berkumpul," kata dia.

Kedua, terdapat pola pembatasan hak berkumpul yang diarahkan secara khusus kepada kelompok-kelompok sipil yang sejatinya tengah menggunakan hak konstitusionalnya untuk menyeimbangkan diskursus negara.

Rivan menyebut terdapat sejumlah isu yang menjadi pemicu pembatasan kebebasan berkumpul oleh pemerintah, di antaranya mengenai isu LGBT dan komunisme.

"Selama 2015-2018, isu yang paling gencar dibatasi kebebasannya oleh pemerintah yaitu isu LGBT dan isu komunisme, dan pada tahun 2019 muncul isu radikalisme," kata dia.

Adapun pola ketiga, yakni ketiadaan mekanisme akuntabilitas negara yang mampu memberikan keadilan kepada korban.

Rivan menambahkan bahwa pola-pola tersebut dapat muncul karena beberapa hal, seperti adanya peraturan perundang-undangan yang dapat ditafsirkan secara luas oleh aparatur keamanan untuk dilaksanakan secara serampangan untuk membatasi hak atas kebebasan berkumpul.

Lalu kurangnya pemahaman pemerintah dan aparat terkait standar dan prinsip-prinsip hak asasi manusia yang telah dijamin oleh konstitusi.

Kemudian, konstruksi negara melalui aparat dalam menanggapi beberapa isu sensitif dijadikan Iandasan dalam mengambil keputusan dan tindakan yang mengesampingkan kewajiban untuk menjamin perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia warga negara.

Sementara itu, dalam kesempatan yang sama Koordinator Kontras Yati Andriyani mengatakan permasalahan pembatasan kebebasan berkumpul harus segera mendapat perhatian dari pemerintah karena sudah dianggap melanggar hak atas berorganisasi maupun berekspresi.

"Situasi kebebasan berkumpul yang dibatasi oleh cara pandang negara, itu tidak hanya melanggar hak warga negara tetapi dapat menimbulkan kebencian, praduga di tengah masyarakat, dan itu tentu akan sangat berdampak pada bagaimana negara ini dikelola," kata Yati.

Pewarta: Fathur Rochman
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2019