JKN masih memiliki banyak masalah di 2019 ini seperti masalah kepesertaan, pelayanan, dan pembiayaan
Jakarta (ANTARA) - Pemerintah telah memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat dengan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang memberikan banyak manfaat, namun masih ada beberapa catatan yang harus diperbaiki dalam program tersebut, kata lembaga swadaya pengawas asuransi kesehatan sosial BPJS Watch.

Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar dalam keterangannya di Jakarta, Senin, mengakui bahwa JKN sudah memberikan manfaat kepada bangsa Indonesia dengan utilitas yang terus meningkat dari tahun ke tahun baik rawat inap maupun rawat jalan.

Namun, menurut dia, JKN masih memiliki banyak masalah di 2019 ini seperti masalah kepesertaan, pelayanan, dan pembiayaan.

Hal pertama yang menjadi catatan adalah jumlah kepesertaan yang tidak mencapai target cakupan kepesertaan semesta atau UHC (Universal Health Coverage) yaitu minimal 95 persen penduduk Indonesia sudah tercakupi JKN pada akhir 2019.

"Per tanggal 13 Desember 2019 lalu saja kepesertaan hanya mencapai 224.133.671 jiwa, artinya ada sekitar 30 juta rakyat Indonesia yang gagal direkrut menjadi peserta JKN untuk memenuhi target UHC kepesertaan tersebut," katanya.

Masalah kepesertaan lain yang menjadi sorotan adalah masih adanya rakyat miskin yang belum memiliki JKN dan adanya masyarakat mampu yang termasuk dalam peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) dikarenakan masalah kevalidan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial di Kementerian Sosial.

Hasil audit BPKP terhadap laporan keuangan BPJS Kesehatan tahun 2018 menyebutkan terdapat 27,4 juta kepesertaan PBI APBN yang bermasalah. Untuk hal ini, Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris menyatakan pembersihan data bermasalah tersebut telah diselesaikan.

Timboel juga menyinggung mengenai kenaikan iuran BPJS Kesehatan pada 2020 berdampak pada penurunan jumlah kepesertaan PBI daerah yang dibiayai oleh APBD masing-masing pemda dikarenakan tidak adanya anggaran daerah untuk menambah kenaikan iuran pada 2020.

"Selain itu, peserta mandiri yang nonaktif akan cenderung meningkat karena adanya kenaikan iuran tersebut. Per 30 Juni 2019 lalu saja peserta mandiri yang non aktif mencapai 49 persen dari total 32 juta peserta kelas mandiri," kata dia.

Mengenai pelayanan, Timboel mengritik mengenai kurangnya sosialisasi BPJS Kesehatan mengenai manfaat JKN sehingga banyak masyarakat belum memahami, kurangnya petugas yang membantu peserta JKN di rumah sakit, dan adanya penurunan manfaat seperti sejumlah obat kanker yang tidak lagi ditanggung oleh BPJS Kesehatan sehingga memberatkan pasien kanker.

"Adanya penurunan manfaat JKN seperti dicabutnya obat kanker Bevatizumab dan Cetuzimab per 31 Maret 2019 serta tidak ditanggungnya lagi korban penganiayaan, korban kekerasan seksual dan trafficking oleh JKN menyebabkan pasien JKN yang mengalami masalah tersebut harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Ini terjadi karena defisit yang terus terjadi namun peserta yang dikorbankan," kata dia.

Selain itu, Timboel Siregar juga menyinggung mengenai dugaan kecurangan yang dilakukan oleh rumah sakit dalam memberikan pelayanan kepada pasien JKN-KIS.

Beberapa masalah tersebut memang terjadi di 2019, namun seiring berjalannya pelayanan BPJS Kesehatan juga meningkatkan kualitas. Seperti halnya menghadirkan petugas BPJS SATU lebih banyak untuk membantu peserta JKN di RS, serta adanya peninjauan kelas RS yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan dan menemukan ratusan rumah sakit tidak memiliki kriteria sesuai kelas yang seharusnya.

Baca juga: Jamkes Watch: Iuran BPJS Kesehatan pekerja formal belum dimaksimalkan

Baca juga: Jamkes Watch tak setuju penonaktifan 5,2 PBI

Baca juga: Jamkes Watch: jangan ada pasien BPJS Kesehatan ditolak


Pewarta: Aditya Ramadhan
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2019