Ini menguntungkan dari segi lingkungan dan menguntungkan dari sisi ekonomi
Amuntai (ANTARA) - Kerisauan banyak kalangan pecinta lingkungan akan bahaya pencemaran sampah plastik belakangan ini direspons oleh banyak pihak, termasuk warga Desa Banyu Hirang, Kecamatan Amuntai Selatan, Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU), Provinsi Kalimantan Selatan.

Warga pinggiran yang berdiam di lokasi kawasan 50 ribu hektare rawa monoton kabupaten HSU, menjawab keluhan banyak pihak mengenai bahaya sampah plastik belakangan ini, dengan memproduksi sedotan minuman nonplastik yang terbuat dari tanaman rawa yang potensinya melimpah ruah di daerah tersebut.

Tanaman rawa yang dimaksud disebut oleh warga setempat adalah tanaman purun (eleocharis dulcis) yang selama ini dinilai sebagai musuh petani karena pertumbuhan serta penyebarannya yang sangat cepat, sehingga mengganggu produksi pertanian tanaman pangan.

Bahkan, karena dinilai gulma, banyak petani setempat yang membasminya dengan aneka racun pembasmi gulma yang akhirnya ikut mempengaruhi ekosistem setempat, terutama menurunnya populasi ikan rawa.

Melihat kenyataan tersebut, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) HSU setempat bekerja sama dengan warga mencoba memikirkan persoalan yang menjadi keluhan banyak orang itu, dengan mengirimkan seorang warga belajar mengenai kerajinan terbuat dari gulma yang tumbuh di rawa ke Pulau Jawa.

Adalah Supiannor, warga Desa Banyu Hirang, Amuntai Selatan, dikirim untuk belajar mengembangkan produk kerajinan dari alam.


Menjadi Berharga

Sepulangnya belajar anyaman, Supianor membentuk kelompok kerajinan Kembang Ilung dan berhasil mengubah gulma, termasuk tanaman purun, yang tidak bermanfaat menjadi barang berharga.

Keberadaan kelompok kerajinan Kembang Ilung yang terus eksis itu membuat kelompok itu kian populer, akhirnya terdengar hingga ke seorang pengusaha yang berada di Provinsi Bali.

Oleh perusahaan yang ada di Bali, Kelompok Kembang Ilung diminta memikirkan bagaimana usaha mereka bisa menghasilkan sedotan organik pengganti sedotan air minum yang terbuat dari plastik.

Konon perusahaan di Bali tersebut sudah memiliki kontak dengan sebuah perusahaan yang ada di Eropa mengenai keinginan mengubah kebiasaan masyarakat dunia untuk mengganti sedotan plastik dengan sedotan yang ramah lingkungan agar bumi selamat dari serbuan sampah plastik.

Sedotan plastik yang sekarang sering digunakan sekali pakai terus dibuang hingga mencemari lingkungan, apalagi plastik dinilai tak mudah terurai hingga sangat berbahaya bagi kehidupan biota lain di planet muka ini.

Banyak daerah yang sudah menerapkan aturan melarang pemanfaatan plastik, termasuk Kota Banjarmasin, Kalsel, dan beberapa kota lainnya, sehingga alat nonplastik menjadi incaran banyak orang.

Kenyataan itulah akhirnya para perajin yang tergabung dalam Kelompok Kembang Ilung, Desa Banyu Hirang, mencoba memproduksi ribuan batang sedotan nonplastik yang terbuat dari tanaman purun guna memenuhi permintaan dari negeri Belanda.

Baca juga: Perajin Amuntai produksi sedotan nonplastik penuhi permintaan Belanda
 
Sedotan dari purun pengganti sedotan plastik. (Antaranews Kalsel/Hasan Zainuddin/istimewa)


Ketua Kelompok Kembang Ilung, Supianor, saat ditemui wartawan Antara Biro Kalsel, di lokasi kerajinan, pekan lalu mengakui para perajin asuhannya mengolah tanaman purun menjadi sedotan air ramah lingkungan sesuai permintaan luar negeri.

"Kami memperoleh pesanan dari Belanda sebanyak 200.000 batang per bulan, melalui pengusaha yang ada di Bali," kata Supianor seraya memperlihatkan kemasan sedotan yang siap dikirim tersebut.

Hanya saja, tambah lelaki setengah baya tersebut, pihak perajinnya sulit memenuhi permintaan tersebut, lantaran paling banyak dalam sebulan mampu memproduksi 100.000 batang, karena keterbatasan tenaga dan teknologi.

Karena dalam pembuatan sedotan tersebut harus sesuai bentuknya seperti yang diinginkan pembeli, seperti panjangnya, tidak cacat, lubangnya bulat, dan kering, serta bersih.

Untuk memotong tanaman purun yang sudah diproses melalui pengeringan atau penjemuran, maka harus menggunakan pisau silit, agar irisan potongan rapi dan tidak pecah sedotannya.

Akibatnya pemotongannya tak bisa sekali banyak, kecuali satu persatu itu yang membuat produksinya lambat dan sudah dicoba dengan pisau lain ternyata sedotan purun pecah. Namun, pihaknya berusaha memproduksi sebanyak mungkin dan terus mencari inovasi lain.


Menginspirasi

Kreativitas perajin Banyu Hirang Amuntai ini sudah banyak menginspirasi perajin lainnya di Kalsel yang juga memiliki lahan luas tanaman purun.

Bahkan ketika kegiatan perajin Kembang Ilung ini dipublikasike media sosial memperoleh banyak respons, bahkan ada yang ingin membeli untuk memulai penggunaan sedotan yang terbuat purun ini.

"Kenapa kita saja yang memulai menggunakan sedotan nonplastik ini, agar semua masyarakat sadar akan arti kelestarian lingkungan," kata Samsuri Sarman pengguna Facebook.

Ada pula pengguna media sosial yang menawarkan diri membina perajin lainnya untuk memproduksi sedotan tersebut lebih banyak lagi, guna memenuhi permintaan pasar luar negeri. "Ini menguntungkan dari segi lingkungan dan menguntungkan dari sisi ekonomi," kata pengguna Facebook yang lain.

Seorang pecinta lingkungan yang juga Ketua Forum Komunitas Hijau (FKH) Banjarmasin, Mohammad Ary, sangat mengapresiasi kreatifitas mengubah barang tak berguna menjadi barang berharga seperti tanaman purun itu, yang selain memberikan kesejahteraan warga sekaligus menjadi pelopor pelestarian lingkungan.

"Ayo kita dukung usaha ini, selain menghindari pemakaian plastik juga juga hindari barang yang tak ramah lingkungan lainnya, dan ayo tanam pohon, jaga sungai, hindari pembakaran lahan," kata Mohammad Ary selayaknya berkampanye.

Anggota Masyarakat Peduli Sungai (Melingai) itu mengajak masyarakat khususnya di Kalimantan memproduksi purun hingga ecostraw atau sedotan ramah lingkungan itu mendunia dan Indonesia menjadi produsen terbesar.

"Salut kepada perajin Amuntai yang memproduksi sedotan nonplastik guna memenuhi permintaan ekspornya hingga 200.000 potong. Salam Hijau, Lestari," kata Mohammad Ary.

Pecinta lingkungan yang lain, Taibah Istiqomah yang membina desa gambut bercerita banyak tentang sedotan nonplastik ini. Ia mengaku bertemu dengan kelompok penganyam purun dari Desa Tambak Sari Panji dan Desa Murung Panggang, dan membagi cara pembuatan sedotan purun, serta memastikan tahapan sterilisasi produk.

"Contoh yang akan kami bawa untuk uji lab, pernyataan dari pihak yang punya otoritas bahwa sedotan alami olahan ibu-ibu di dua desa ini bebas bakteri berbahaya dan tidak memiliki kandungan logam berat," kata Taibah Istiqomah.

Melihat begitu antusiasnya masyarakat memproduksi sedotan air nonplastik tersebut merupakan angin segar dalam upaya penyelamatan bumi, sekaligus menjawab banyak kegelisahan akan pemanfaatan plastik yang dinilai sudah tak terkendali belakangan ini.

Baca juga: Sehari 93 juta sedotan plastik digunakan di Indonesia

Baca juga: Tak ada lagi tas dan sedotan plastik di Kanada



 

Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2020