Jakarta (ANTARA) - Mahkamah Agung memilih untuk berhati-hati terkait wacana penerapan amicus curiae atau pemberian keterangan pihak di luar perkara dalam pengadilan di Indonesia.

"Sudah ditunjukkan praktik di negara lain. Akan tetapi, tetap hati-hati dan tidak gegabah untuk dilakukan di peradilan Indonesia," kata Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung Abdullah dalam seminar daring, Kamis.

Di Inggris, diajukan dengan seizin dari hakim, sedangkan di Indonesia hingga saat ini belum diatur dengan jelas mengenai amicus curiae meski praktiknya cukup banyak.

Amicus curiae sejauh ini belum pernah dibahas dalam rapat pleno kamar di Mahkamah Agung. Akan tetapi, Abdullah memastikan respons Mahkamah Agung sangat positif terkait dengan perkembangan hukum di nasional maupun internasional.

Baca juga: Ketua MA terpilih M Syarifuddin punya total kekayaan Rp3,6 miliar

Baca juga: Wakil Ketua KPK Nawawi optimistis Syarifuddin bawa MA lebih baik


Namun, Mahkamah Agung terikat pada UU Kehakiman sehingga dalam menyikapi fenomena itu tetap berpedoman pada UU Kehakiman, di antaranya wajib menjaga kemandirian peradilan.

Segala campur tangan di luar kekuasaan kehakiman, lanjut dia, dilarang kecuali diatur dalam UUD NRI Tahun 1945 sehingga Mahkamah Agung tidak dapat menyimpang dari hal itu.

UU Kehakiman juga mengatur hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hidup yang ada dalam masyarakat. Dengan begitu, kemungkinan mengakomodasi amicus curiae di Indonesia pun tidak tertutup.

Amicus curiae awalnya berkembang di negara-negara common law. Namun, seiring dengan berkembangnya waktu, amicus curiea juga mulai diadopsi di negara-negara civil law serta pengadilan atau tribunal internasional, seperti pada WTO, Arbitrase Internasional, dan International Criminal Court (ICC).

Pewarta: Dyah Dwi Astuti
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2020