Jakarta (ANTARA) - Penggunaan terapi plasma konvalesen untuk pasien COVID-19 dengan gejala berat menunjukkan hasil yang menjanjikan dalam beberapa pengujian namun masih harus melalui uji klinis dengan jumlah subjek besar untuk bisa digunakan pada pasien, kata dokter ahli hematologi dan onkologi Dr.dr. Lugyanti Sukrisman Sp PD-KHOM.

"Seyogyanya kita akan memerlukan data yang lebih besar yang bisa mencapai secara statistik signifikan dalam clinical trial (uji klinis)," kata anggota Tim Peneliti Plasma Konvalesen Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) itu dalam diskusi via daring yang diselenggarakan oleh Indonesian Clinical Training and Education Center (ICTEC) dan Bagian Penelitan RSCM-Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia di Jakarta, Selasa.

Kesimpulan itu didapat setelah melihat data dari penelitian-penelitian terdahulu tentang penggunaan terapi plasma konvalesen kepada pasien SARS, Ebola, dan COVID-19 di beberapa negara.

Pengujian yang dilakukan pada 80 pasien SARS di Hong Kong pada 2003 menunjukkan pasien dapat pulang pada hari ke-22 jika diberi plasma konvalesen sebelum hari ke-14 dari masa awal dia sakit. Pasien yang menerima plasma konvaselen setelah hari ke-14 menurut penelitian harus tinggal di rumah sakit lebih lama dan memiliki tingkat mortalitas lebih tinggi.

Penelitian pada pasien Ebola di Guinea memperlihatkan, meski pada umumnya pasien yang menerima plasma konvalesen menunjukkan durasi gejala yang lebih pendek, tetapi ada efek samping seperti sulit bernapas dan mata merah pada pasien yang mendapat terapi tersebut.

Menurut studi tersebut, transfusi 500 mililiter plasma konvalesen pada 84 pasien Ebola tidak berasosiasi dengan peningkatan tingkat kesembuhan yang signifikan.

Penelitian mengenai penggunaan terapi itu juga dilakukan terhadap lima pasien COVID-19 dengan kondisi berat di Shenzhen, China, dari 20 Januari sampai 25 Maret 2020. Hasilnya menunjukkan ada perbaikan signifikan pada pasien yang diberi plasma konvalesen. Empat pasien yang memerlukan ventilator mekanik tidak lagi membutuhkannya sembilan hari setelah mendapat transfusi plasma.

Yang bisa disorot dari penelitian tersebut adalah kemungkinan antibodi dari plasma konvalesen berkontribusi pada pembersihan virus dan perbaikan  gejala pasien.

Namun skala penelitian itu masih tergolong kecil berdasarkan jumlah pasien terlibat dalam pengujian. 

"Plasma konvalasen adalah suatu pasif antibodi menunjukkan hasil yang menjanjikan pada kasus SARS-CoV-2 yang berat tetapi masih dalam jumlah subjek atau pasien yang terbatas," kata Lugyanti.

Ia menambahkan, data uji klinis yang lebih besar dibutuhkan untuk mengetahui kemanjuran dan keamanan penggunaan terapi plasma konvalesen pada pasien COVID-19.

Baca juga:
Bio Farma kembangkan penggunaan plasma untuk penyembuhan COVID-19
PMI DKI siap fasilitasi pengambilan plasma darah pasien sembuh COVID

Pewarta: Prisca Triferna Violleta
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2020