ada juga beberapa orang yang baru datang dari zona merah penyebaran virus corona mengisolasi diri dengan mendirikan gubuk di kebun atau sawah
Jakarta (ANTARA) - Dalam keadaan normal, hari-hari ini adalah situasi ketika kesibukan terus meningkat di terminal-terminal bus antarkota, bandara dan pelabuhan penyeberangan.

Tahun lalu, sekitar 20 juta orang bergerak pada hari-hari ini dari kota-kota besar ke kota-kota kecil di berbagai daerah. Atau dari kota besar ke pelosok kampung dan pedalaman.

Dalam jumlah sangat sedikit, ada juga arus pergerakan orang dari kota kecil ke kota besar. Pun demikian dari pelosok desa ke kota kecil atau ke kota besar.

Itulah arus mudik yang sudah lazim terjadi sejak berpuluh-puluh tahun lalu menjelang Hari Raya Idul Fitri atau Lebaran. Sepertinya, tak ada Lebaran tanpa arus mudik.

Begitu besar arus dan mobilitas dari kota besar ke daerah sehingga membutuhkan penanganan tersendiri. Selain infrastruktur dan ketersediaan moda transportasi, pengorganisasian yang melibatkan berbagai instansi pemerintah dan swasta bergerak untuk memperlancar mobilitas orang, barang dan kendaraan.

Secara rutin penanganannya fokus pada tujuh hari sebelum (H-7) hingga tujuh hari sesudah Lebaran (H+7). Namun situasional dan jika arus masih tinggi periodesasinya diperpanjang hingga beberapa hari ke depan.

Intinya, arus mudik menjelang Lebaran bukan sekadar kebiasaan, tetapi lebih dari itu, yakni sudah seperti tradisi sosial. Di dalamnya ada nilai-nilai yang tersosialisasi, terutama silaturahim.

Mobilitas orang yang demikian besar memicu adanya pergerakan aktivitas ekonomi. Karena itu, mudik adalah momentum terjadinya pertumbuhan ekonomi.

Pengorganisasian yang besar dari pusat ke daerah dan melibatkan banyak pihak sebanding dengan tumbuhnya aktivitas ekonomi. Juga perputaran dan aliran uang dari kota ke pedesaan.

Itulah pentingnya mudik setiap tahun. Tradisi sosial ini berdimensi luas, termasuk ekonomi.

Dilarang
Tetapi pemahaman seperti itu tidak berlaku untuk tahun ini. Virus corona tipe baru (COVID-19) telah memporak-porandakan berbagai kehidupan.

Mudik yang sudah menjadi tradisi sosial berdimensi ekonomi pun menjadi korbannya. Pemerintah melarang mudik demi memutus rantai penyebaran virus corona.

Belum pernah ada catatan mengenai pelarangan mudik oleh pemerintah. Bahkan di belahan negara manapun tidak ada di catatan media.

Di Indonesia, kini penyebaran virus corona masih berada di grafik yang terus naik. Setiap hari ada pertambahan ratusan kasus baru.

Hingga 14 Mei 2020, jumlah kasus positif sudah mencapai lebih 16 ribu. Entah kapan grafiknya akan landai.

Dari identifikasi, sifat penyebaran virus yang bermula dari Wuhan (China) ini antara lain melalui interaksi langsung antarorang. Interaksi itu bisa berupa persentuhan dan pertemuan banyak orang.

Arus mudik adalah mobilitas jutaan orang dalam waktu relatif bersamaan. Interaksi langsung antarorang akan sulit terhindarkan karena adanya situasi yang harus antre di loket pembayaran dan reservasi.

Kerumunan dan terkumpulnya orang pada suatu lokasi akan sulit dihindari meski tiket sudah dibeli secara daring (online). Kerumunan itu dipastikan akan terjadi.
 
Petugas Polresta Cirebon memeriksa kendaraan yang melintas di pintu Tol Cipali Palimanan, Cirebon, Jawa Barat, Rabu (13/5/2020). Penyekatan akses transportasi di tol Cikopo - Palimanan tersebut sebagai tindak lanjut himbauan untuk tidak mudik dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) guna memutus mata rantai penyebaran COVID-19. ANTARA FOTO/Dedhez Anggara/foc.


Kerumunan
Situasi seperti itu--menurut para pakar kesehatan--adalah sumber terjadinya penyebaran wabah pandemi global ini. Dalam bahasa sederhana; dimana ada kerumunan, di situlah ada potensi penyebaran virus corona.

Dalam konteks mitigasi dan menekan potensi penyebaran wabah inilah, maka dilakukan pelarangan mudik. Tujuannya mengendalikan penyebaran virus corona.

Pelarangan mudik juga ditujukan untuk kepentingan keluarga di kampung. Bisa saja pemudik merasa sehat karena imunitas (kekebalan tubuh) baik tetapi orang tua atau kerabat belum tentu.

Kalau imunitas baik, maka seorang pemudik itu berpotensi sebagai "carrier" (pembawa) virus bagi orang lain di daerah tujuan. Atas dasar itulah, orang yang terlanjur sampai kampung diwajibkan mengisolasi diri selama 14 hari.

Di beberapa daerah, isolasi dilakukan oleh pihak desa di balai desa atau bangunan kosong. Ada juga beberapa orang yang baru datang dari zona merah penyebaran virus corona mengisolasi diri dengan mendirikan gubuk di kebun atau sawah.

Di kebun kosong atau sawah, orang itu bisa memelihara ternak atau menanam sayuran. Intinya mengisi waktu luang sekaligus melindungi keluarga di kampung dari potensi terpapar virus corona.
 
Arsip Foto. Pekerja membersihkan ranjang pasien di ruang isolasi Rumah Sakit Jiwa Menur, Surabaya, Jawa Timur, Selasa (17/3/2020). Pemerintah menyediakan 112 tempat tidur pasien di ruang isolasi rumah sakit tersebut untuk menangani pasien COVID-19. (ANTARA FOTO/Moch Asim/aww.)


Nekat
Meski di kampung, orang yang baru datang (terutana dari zona merah) harus menjalani protokol kesehatan seperti itu, tetapi tak menyurutkan orang untuk tetap mudik. Seruan dan aturan seolah tak digubris.

Masih tingginya orang dari Jabodetabek untuk mudik bisa dilihat dari catatan Kepolisian. Bukan sekadar catatan angka-angka, tetapi juga ada data soal modus-modus untuk mengelabui dan mengakali petugas di "check point".

Mulai dari bersembunyi di balik tumpukan kerupuk di mobil bak terbuka, sembunyi di bak truk yang penuh muatan hingga sembunyi di bak truk yang ditutup terpal. Ada juga yang memasukkan mobil pribadi ke bak truk dan pemudiknya di minibus itu kemudian ditutup terpal.

Baca juga: Kemenhub kantongi nama maskapai langgar aturan pembatasan penumpang

Baca juga: Puskesmas di Jaksel selektif keluarkan surat keterangan sehat

Baca juga: Penumpang travel ilegal di Jaktim tidak penuhi persyaratan jalan


Yang paling banyak adalah cara konvensional, yakni membawa kendaraan pribadi menuju luar kota. Sampai di perbatasan, diputar balik oleh petugas.

Masih beruntung tindakan putar balik dilakukan di perbatasan luar kota, tak sedikit yang diputar balik di lokasi yang sudah dekat kampung yang akan dituju. Mereka memanfaatkan pelonggaran dengan alasan tertentu.

Korlantas Polri mencatat selama 18 hari pelaksanaan Operasi Ketupat 2020 atau sejak 24 April hingga 11 Mei 2020, Polri memutarbalikkan sebanyak 40.856 unit kendaraan warga yang terindikasi mudik.

Data tersebut merupakan data akumulatif dari tujuh Polda, dari Lampung hingga Jawa Timur.

Kepala Korps Lalu Lintas Polri Irjen Polisi Istiono menegaskan, pelonggaran transportasi umum selama pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) bukan untuk mudik.

"Mudik tetap dilarang," kata Istiono di Gerbang Tol Cikupa, Tangerang, Banten, Selasa (12/5).
 
Petugas Suku Dinas Perhubungan Jakarta Timur menegur pengendara travel yang kedapatan menangkut penumpang tujuan Jawa Tengah dalam kegiatan operasi di Kecamatan Pasar Rebo, Rabu (13/5/2020). (ANTARA/HO-Sudinhub Jaktim)


Dia mengingatkan adanya Surat Edaran Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Nomor 4 Tahun 2020 tentang Kriteria Pembatasan Perjalanan Orang Dalam Rangka Percepatan Penanganan COVID-19.

Kebijakan itu bertujuan untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan kegiatan transportasi dalam rangka pemenuhan kebutuhan nasional selama darurat COVID-19.

(Pelonggaran) Itu bukan termasuk mudik. Akan tetapi, aktivitas supaya perekonomian tetap berkembang dengan bagus karena sejalan perkembangan dinamika dari COVID-19.

Di tengah wabah yang belum ada kepastian kapan akan berakhir ini, mengikuti imbauan dan larangan untuk tidak mudik bukan saja penting bagi pemudik agar terhindar dari risiko terpapar virus selama di jalan, tetapi juga untuk melindungi keluarga di kampung.

Ramadhan adalah momentum untuk menahan nafsu, termasuk nafsu untuk pulang kampung dan mudik.

Editor: Ganet Dirgantara
Copyright © ANTARA 2020