Jakarta (ANTARA) - Presiden AS Donald Trump mengancam menutup platform media sosial yang "membungkam kaum konservatif," setelah Twitter untuk pertama kalinya melabeli cek fakta pada salah satu cuitannya.

Trump mengunggah dua cuitan yang tanpa bukti menuding adanya "pemilu yang curang." Twitter kemudian menambahkan label peringatan pada bagian bawah cuitan dan menyematkan tautan bertuliskan "dapatkan fakta tentang surat suara," yang membawa ke halaman dengan informasi mengenai pemungutan suara.

Menanggapi hal itu, CEO Facebook, Mark Zuckerberg, mengatakan Facebook memiliki kebijakan yang berbeda dari Twitter, sementara CEO Twitter, Jack Dorsey menilai cuitan Trump tersebut menyesatkan dan menimbulkan misinformasi.
 
Setiap perusahaan teknologi dan media sosial memiliki cara tersendiri dalam menangani misinformasi di platform mereka. Berikut, langkah Twitter, Facebook, Instagram dan Youtube dalam menangani misinformasi, dikutip dari laman USA Today.

Baca juga: Trump akan atur medsos pascaperseteruan dengan Twitter

Baca juga: Twitter beri peringatan pada cuitan Trump karena "agungkan kekerasan"


Twitter
Pada bulan Februari, Twitter mengumumkan akan mulai memberi label cuitan yang dianggap memberi informasi yang tidak benar.

Selain label dan peringatan, Twitter mengatakan akan mengurangi visibilitas cuitan yang berbagi foto atau video yang diubah dan memberikan konteks dan informasi tambahan. Cuitan yang berpotensi "menimbulkan kekerasan" juga akan dihapus.

Menanggapi pandemi virus corona, pada bulan Maret, Twitter mengatakan memperluas definisi bahaya pada "konten yang bertentangan langsung dengan panduan dari sumber otoritas kesehatan global dan lokal."

Pada 11 Mei, Twitter menyatakan telah memberi banyak label dan peringatan pada unggahan yang terkait dengan COVID-19 untuk "memberikan penjelasan atau klarifikasi tambahan saat orang-orang kemungkinan akan bingung atau disesatkan oleh konten tersebut."

Pada 20 Mei, Twitter menambahkan kebijakan "integritas sipil," yang mengatakan bahwa Twitter tidak dapat digunakan untuk "memanipulasi atau mencampuri pemilihan umum atau proses sipil lalinnya."

"Hal ini termasuk mengunggah atau membagikan konten yang dapat menekan partisipasi atau menyesatkan orang tentang kapan, di mana atau bagaimana berpartisipasi dalam proses sipil," bunyi kebijakan itu.

Baca juga: Twitter tambah fitur penjadwalan cuitan

Baca juga: Bos Facebook jauhkan diri dari perseteruan Twitter - Trump


Facebook
Meskipun Zuckerberg menegaskan bahwa Facebook dan Twitter memiliki kebijakan yang berbeda, kedua perusahaan tersebut melarang postingan misinformasi tentang pemilihan umum.

Kebijakan Facebook mengatakan tidak akan mentolerir konten yang salah mengartikan "tanggal, lokasi, waktu, dan metode pemilihan atau pendaftaran pemilih," atau "siapa yang dapat memilih, kualifikasi untuk memilih, apakah suara akan dihitung dan informasi dan/atau materi apa yang harus disediakan untuk memilih."

"Kami menghapus jenis konten ini terlepas dari siapa konten itu berasal," kata Facebook.

Facebook telah mengambil sejumlah langkah untuk "memerangi penyebaran berita palsu." Perusahaan tersebut telah melibatkan pihak ketiga dalam cek fakta, dan memungkinkan pengguna melaporkan konten yang dirasa menyesatkan.

Alih-alih menghapus konten yang menyesatkan, respons Facebook adalah mengurangi jumlah orang yang melihatnya, bahkan dalam kasus pelanggar yang berulang. Banyak tuduhan, termasuk pendukung Trump, yang menyebut Facebook tidak proporsional dengan membatasi distribusi konten.

Seperti Twitter, Facebook memberi label media yang telah dimanipulasi dan menghapus unggahan yang diyakini dapat membahayakan, termasuk informasi yang salah tentang penyebaran virus corona dalam definisi konten berbahaya.

Facebook juga akan memberi tahu pengguna jika mereka berinteraksi dengan informasi yang salah tentang pandemi.

Baca juga: Facebook akan mulai verifikasi identitas akun viral

Baca juga: Perangi penipuan, Facebook tampilkan pesan peringatan


Tetapi menurut kebijakan Facebook, "unggahan dan iklan dari politisi umumnya tidak dikenai cek fakta."

Jika seorang politisi berbagi konten "yang sebelumnya ditolak di Facebook," maka Facebook "akan menurunkan konten itu, menampilkan peringatan dan menolak dimasukkan dalam iklan."

Namun, jika "pernyataan dibuat langsung oleh politisi di Page mereka, di iklan atau di situs web mereka, itu dianggap sebagai pidato langsung dan tidak memenuhi syarat untuk program cek fakta pihak ketiga -- bahkan jika substansi pernyataan tersebut telah ditolak di tempat lain. "

Facebook, yang dikritik karena pendekatan yang relatif lepas tangan pada konten politik, itu menjelaskan bahwa sikap itu berakar pemikiran bahwa "dengan membatasi pidato politik kita akan membuat orang kurang informasi tentang apa yang dikatakan pejabat yang mereka pilih katakan."

Instagram
Instagram milik Facebook bergantung pada sistem yang sama, yaitu cek fakta dan pelabelan yang digunakan Facebook untuk mengatasi misinformasi.

Baca juga: Instagram kini terintegrasi dengan Messenger Rooms

Baca juga: Instagram fokus kampanye kesehatan mental jelang Lebaran


Jika pemeriksa fakta menentukan ada sesuatu yang salah atau sebagian salah, konten itu dihapus dari tagar dan halaman "Explore" dan hal ini berarti visibilitas konten tersebut berkurang.

Menanggapi virus corona, Instagram merekomendasikan akun yang dari organisasi kesehatan yang kredibel.

"Kami juga menghapus klaim palsu atau teori konspirasi yang telah ditandai oleh organisasi kesehatan global terkemuka dan otoritas kesehatan lokal yang berpotensi membahayakan orang-orang yang mempercayainya," kata Instagram.

Youtube
YouTube milik Google menghapus informasi salah yang dianggap berbahaya dan melanggar pedoman komunitasnya.

Namun platform tersebut mengaku masih bergulat dengan cara "mengurangi penyebaran konten yang mendekati -- namun tidak cukup -- melanggar" pedoman tersebut.

Pada Januari 2019, Google mengumumkan akan "mulai mengurangi rekomendasi konten yang mendekati batas, dan konten yang dapat memberi informasi yang salah kepada pengguna dengan cara yang berbahaya -- seperti video yang mempromosikan obat palsu untuk penyakit serius, klaim bumi datar, atau klaim palsu tentang peristiwa bersejarah."

Pada bulan Februari, Youtube mengatakan kebijakan tersebut menyebabkan "penurunan rata-rata 70 persen waktu tonton untuk konten tersebut."

Pada April, Google mengatakan memperluas penggunaan "panel informasi cek fakta" dengan memasukkan AS.

Baca juga: Fitur "Chapter" Youtube meluncur di desktop dan mobile

Baca juga: Youtube tambahkan pengingat waktu tidur

Baca juga: Facebook, YouTube hapus video yang buat klaim corona tanpa bukti

Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2020