Jakarta (ANTARA News) - Negara-negara G-20 termasuk di dalamnya Indonesia batal menetapkan kebijakan exit strategy bersama dari krisis global karena kondisi ekonomi yang berbeda-beda di negara anggotanya.

"Pemulihan ekonomi dunia memang mulai nampak, tetapi kondisi APBN tiap negara berbeda-beda, ada yang sehat dan ada yang kritis," kata Menkeu Sri Mulyani Indrawati di Jakarta, Senin.

G-20 menilai bahwa kondisi perekonomian dunia saat ini masih sangat rapuh dan tidak pasti sehingga jika dipaksakan adanya exit strategi bersama justru akan memunculkan proses pemulihan ekonomi yang menyerupai huruf-W.

"Karena itu, dalam komunikenya, G-20 sepakat tidak memberikan sinyal terlalu kuat exit strategi bersama ini," katanya.

Kebijakan ke luar dari krisis global atau dampaknya, ujar Menkeu, diserahkan kepada masing-masing negara untuk memutuskannya sendiri.

Ia menyebutkan, negara-negara yang memiliki defisit APBN di atas 8 persen seperti Inggris, AS, Eropa, dan Jepang, tidak bisa memikirkan exit strategi dalam jangka pendek. Mereka harus memikirkan exit strategi yang berjangka menengah.

Kebijakan keluar dari krisis, kata Menkeu, merupakan satu dari empat topik yang dibahas dalam pertemuan menkeu dan gubernur bank sentral G-20 di London pada awal September ini.

Topik lainnya adalah perlunya peningkatan pengawasan dan pengaturan lembaga keuangan bank dan nonbank.

"Krisis muncul karena kegagalan supervisi dan pengawasan serta masalah peraturan yang harus terus disempurnakan untuk mencegah munculnya sikap sembrono sehingga menyebabkan lembaga keuangan rusak," katanya.

G-20 juga membahas masalah `climate change`, namun India dan China keberatan hal itu dibahas di G-20 karena sudah ada pembahasan oleh badan di bawah PBB yaitu UNFCCC.

Agenda lainnya adalah upaya pembiayaan pemulihan ekonomi termasuk penambahan `trade financing` dan reformasi lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia, IMF, ADB, dan lainnya.

Sementara itu mengenai keberlanjutan kebijakan stimulus fiskal, Menkeu mengatakan, kesepakatan stimulus global sebesar 5 triliun dolar AS akan dilanjutkan.

"Ekspansi APBN masih akan dipertahankan sampai pemulihan ekonomi diyakini benar-benar kuat," katanya.

Menkeu menyebutkan, untuk tahun 2010 ekspansi fiskal di Indonesia memang akan turun di mana defisit akan turun menjadi 1,6 persen dibanding tahun 2009 yang mencapai 2,5 persen.

"Kemampuan ekspansi APBN untuk mendorong perekonomian memang lebih rendah tapi tahun depan pertumbuhan ekonomi tidak lebih kecil karena seluruh kebijakan ekonomi diharapkan memberikan dampak lebih kuat kepada swasta untuk berinvestasi," katanya.

Ia menyebutkan, konsumsi pemerintah 2010 tidak akan sebesar 2009, sementara konsumsi rumah tangga diperkirakan tetap, dan investasi terutama dari swasta diharapkan meningkat dua kali dari 3,5 persen menjadi 7 hingga 8 persen.
(*)

Pewarta:
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2009