Soal outsourcing, saya rasa ini tetap bisa dikomunikasikan jalan tengahnya. Terkait pesangon yang jumlahnya diperkecil, pemerintah menawarkan unemployment benefit yang justru lebih menjamin keberlangsungan pekerja
Jakarta (ANTARA) - Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo mengatakan ada banyak terobosan yang dimuat dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja di antaranya kepastian hukum, perizinan yang dipermudah dan penilaiannya berbasis risiko.

"Ini sangat membantu pelaku usaha kecil menengah (UKM). Dalam RUU Cipta Kerja tidak semua hal perlu izin, cukup sektor yang berisiko, jadi ada simplifikasi aturan dan prosedur," katanya dalam webinar yang diadakan SMRC di Jakarta, Selasa.

Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis itu mengungkapkan hanya perusahaan dengan usaha memiliki risiko tertentu yang harus melengkapi izin.

Sedangkan, usaha mikro kecil menengah (UMKM) mendapat pengarusutamaan dalam RUU itu agar mereka bisa mudah mengakses permodalan.

"Perizinan yang mempersulit dihilangkan, terutama untuk usaha yang tidak berisiko tinggi. Pelaku UMKM juga coba di-mainstreaming, mandat untuk melakukan kemitraan dan didorong untuk membentuk PT. Ini membantu mereka untuk mendapat akses ke permodalan," imbuhnya.

Terobosan lainnya, lanjut dia, RUU ini mengakomodasi kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU) sehingga mendatangkan investasi dan menjamin keberlanjutan.

Terkait klaster ketenagakerjaan yang menuai pro kontra, Yustinus melanjutkan publik diharapkan bisa melihat lebih jernih dan tak perlu berada dalam posisi yang dikotomis.

"Soal outsourcing, saya rasa ini tetap bisa dikomunikasikan jalan tengahnya. Terkait pesangon yang jumlahnya diperkecil, pemerintah menawarkan unemployment benefit yang justru lebih menjamin keberlangsungan pekerja," ucapnya.

Yustinus menambahkan RUU Cipta Kerja menjadi strategi yang paling memungkinkan digunakan untuk mengatasi masalah ekonomi sebagai dampak pandemi COVID-19 karena RUU ini memangkas aturan yang mempersulit.

"Secara objektif faktual kita mengakui bahwa Indonesia saat ini itu over regulated, terlalu banyak aturan, terlalu tumpang tindih, kewenangan ada banyak asimetri, pusat daerah, antar-kementerian lembaga," katanya.

Menurut dia, dengan kondisi demikian diperlukan perampingan regulasi sehingga ekonomi bisa bergerak lebih gesit terutama setelah pandemi virus corona.

Dalam konteks itu, lanjut dia, postur Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia dikontribusikan oleh konsumsi rumah tangga, belanja pemerintah, investasi dan kinerja ekspor-impor.

Namun, akibat pandemi COVID-19, kinerja konsumsi rumah tangga dan ekspor impor terganggu sehingga otomatis lebih banyak mengandalkan belanja pemerintah.

Meski begitu, belanja pemerintah tidak bisa didorong maksimal karena APBN yang terbatas sehingga investasi menjadi salah satu upaya menopang ekonomi dalam negeri.

Di sisi lain, lanjut dia, sebelum pandemi COVID-19, Indonesia sudah mengalami kesulitan untuk mengerek peringkat kemudahan memulai usaha atau Ease of Doing Business (EoDB).

Indeks Daya Saing Global yang sempat membaik pada 2017 pun akhirnya mentok dan turun kembali karena regulasi dan investasi yang terganjal.

Baca juga: Survei : 52 persen masyarakat mendukung pengesahan RUU Cipta Kerja

Baca juga: Pengamat sebut RUU Cipta Kerja jamin fleksibilitas investor

Baca juga: Pengamat : RUU Cipta Kerja diarahkan untuk permudah regulasi

Baca juga: Baleg DPR pastikan RUU Cipta Kerja beri kemudahan bagi UMKM


 

Pewarta: Dewa Ketut Sudiarta Wiguna
Editor: Ahmad Buchori
Copyright © ANTARA 2020