Jika sebelumnya WHO mengatakan orang sehat tidak perlu menggunakan masker, tentu wajar apabila itu berubah jika ada hasil penelitian dari peneliti di berbagai negara yang menemukan dugaan penularan melalui udara
Jakarta (ANTARA) - Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil saat berbincang dengan sejumlah jurnalis Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) ANTARA secara daring beberapa waktu lalu, sempat menjelaskan alasan memilih menggunakan kata-kata Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB) dalam menerjemahkan istilah "New Normal".

Pemerintahan provinsi yang dipimpinnya selalu melakukan diskusi dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk para ahli dari berbagai keilmuan.

Ahli bahasa menyarankan agar Jawa Barat menggunakan AKB ketimbang latah dengan istilah “New Normal” yang digunakan masyarakat global.

Karena secara psikologis, Gubernur Jawa Barat yang akrab disapa Kang Emil itu menjelaskan kata “Normal” dalam kata-kata “New Normal” akan membuat masyarakat cenderung menganggap situasi kembali lagi ke kondisi normal.

Padahal, jelas virus corona baru yang menyebabkan coronavirus disease 2019 (COVID-19) tidak ke mana-mana, tetap ada bersama virus dan bakteri lainnya yang sudah ada terlebih dulu menginfeksi manusia.

Sehingga untuk sementara waktu jika ingin kembali beraktivitas keluar rumah, wajib menerapkan protokol kesehatan guna mencegah terpapar Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2) tersebut.

Oleh karena itu, menggunakan masker secara benar wajib dilakukan jika ingin memilih tetap sehat. Lalu mencuci tangan dengan sabun minimal selama 20 detik setelah memagang sesuatu yang kemungkinan besar sudah terkena tetesan kecil (droplet) liur orang lain juga jadi kewajiban agar tidak terinfeksi COVID-19.

Baca juga: Wapres minta pemuka lintas agama mendukung adaptasi kebiasaan baru

Setelah itu, menjaga jarak saat bersama orang lain, sehingga droplet dan partikel halus zat cair yang keluar dari mulut seseorang tidak menginfeksi. Airbone istilahnya, dan akhir-akhir ini menjadi ramai diperbincangkan setelah 239 ilmuwan atau peneliti dari 32 negara menyampaikan temuan itu ke Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO).

Meskipun dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/Menkes/413/2020 tentang Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Coronavirus Disease 2019 (COVID-19), Kementerian Kesehatan menyebut masih perlu penelitian lebih lanjut terkait SARS-CoV-2 yang airbone.

Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Laksana Tri Handoko mengatakan lembaga riset yang dipimpinnya pernah merekomendasikan untuk menjaga jarak 1,5 meter saat berada di luar ruang dan dua meter di dalam ruang.

Imbauan-imbauan memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak (3M) tersebut tentu bukan untuk menakut-nakuti, tapi sebaliknya untuk mengajak masyarakat tetap sehat. Sehingga tidak ada lagi rumah sakit yang kelebihan kapasitas pasien COVID-19, tidak ada lagi tenaga medis yang gugur karena terinfeksi SARS-CoV-2, tidak terjadi lagi kenaikan jumlah kasus positif.

Seperti kata Direktur Jenderal Pecegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan Achmad Yurianto, sakit itu pilihan, tetapi untuk sehat itu menjadi kewajiban.

Istilah baru

Menteri Kesehatan pun mengeluarkan Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) baru, yang berlaku pada 13 Juli 2020 dan menggantikan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/Menkes/247/2020 tentang Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) sebelumnya.

Secara umum, Keputusan Menteri Kesehatan yang baru tersebut bertujuan melaksanakan pencegahan dan pengendalian COVID-19 di Indonesia.

Baca juga: Kebun Binatang Bandung masih sepi di hari pertama AKB

Namun, secara khusus pedoman tersebut bertujuan untuk memahami strategi dan indikator penanggulangan, melaksanakan surveilans epidemiologi, diagnosis laboratorium, manajemen klinis, pencegahan dan pengendalian penularan, komunikasi risiko dan pemberdayaan masyarakat, penyediaan sumber daya, dan pelayanan kesehatan esensial.

Sejumlah hal berubah, termasuk definisi operasional penanganan COVID-19. Jika sebelumnya menggunakan istilah Orang Dalam Pemantauan (ODP), Pasien Dalam Pengawasan (PDP), Orang Tanpa Gejala (OTG) maka kini menjadi Kasus Suspek, Kasus Probable, Kasus Konfirmasi, Kontak Erat, Pelaku Perjalanan, Discarded, Selesai Isolasi, dan Kematian.

Kasus Suspek merujuk pada seseorang yang memiliki salah satu dari kriteria, pertama, orang dengan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dan pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat perjalanan atau tinggal di negara/wilayah Indonesia yang melaporkan transmisi lokal.

Kedua, orang dengan salah satu gejala/tanda ISPA dan pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat kontak dengan kasus konfirmasi/probable COVID-19.

Ketiga, orang dengan ISPA berat/pneumonia berat yang membutuhkan perawatan di rumah sakit dan tidak ada penyebab lain berdasarkan gambaran klinis yang meyakinkan.

Sedangkan untuk Kasus Probable merujuk pada kasus suspek dengan ISPA Berat/ARDS/meninggal dengan gambaran klinis yang meyakinkan COVID-19 dan belum ada hasil pemeriksaan laboratorium RT-PCR.

Dan untuk Kasus Konfirmasi merujuk pada seseorang yang dinyatakan positif terinfeksi virus COVID-19 yang dibuktikan dengan pemeriksaan laboratorium RT-PCR. Kasus konfirmasi dibagi menjadi dua, yakni kasus konfirmasi dengan gejala (simptomatik) dan kasus konfirmasi tanpa gejala (asimptomatik).

Sementara itu, Kontak Erat merujuk pada orang yang memiliki riwayat kontak dengan kasus probable atau konfirmasi COVID-19. Riwayat kontak yang dimaksud antara lain, pertama, kontak tatap muka/berdekatan dengan kasus probable atau kasus konfirmasi dalam radius satu meter dan dalam jangka waktu 15 menit atau lebih.

Baca juga: Kota Bandung akhiri PSBB proporsional masuk ke adaptasi kebiasaan baru

Kedua, sentuhan fisik langsung dengan kasus probable atau konfirmasi (seperti bersalaman, berpegangan tangan, dan lain-lain). Ketiga, orang yang memberikan perawatan langsung terhadap kasus probable atau konfirmasi tanpa menggunakan APD yang sesuai standar.

Keempat, situasi lainnya yang mengindikasikan adanya kontak berdasarkan penilaian risiko lokal yang ditetapkan oleh tim penyelidikan epidemiologi setempat.

Pada kasus probable atau konfirmasi yang bergejala (simptomatik), untuk menemukan kontak erat periode kontak dihitung dari dua hari sebelum kasus timbul gejala dan hingga 14 hari setelah kasus timbul gejala.

Pada kasus konfirmasi yang tidak bergejala (asimptomatik), untuk menemukan kontak erat periode kontak dihitung dari dua hari sebelum dan 14 hari setelah tanggal pengambilan spesimen kasus konfirmasi.

Dalam hal Pelaku Perjalanan, pedoman merujuk pada seseorang yang melakukan perjalanan dari dalam negeri (domestik) maupun luar negeri pada 14 hari terakhir.

Sedangkan untuk Discarded hanya jika memenuhi salah satu kriteria bahwa seseorang dengan status kasus suspek dengan hasil pemeriksaan RT-PCR sebanyak dua kali negatif selama dua hari berturut-turut dengan selang waktu lebih dari 24 jam.

Selain itu, seseorang dengan status kontak erat yang telah menyelesaikan masa karantina selama 14 hari.

Dan untuk istilah Selesai Isolasi pedoman tersebut mengacu pada salah satu kriteria, pertama, kasus konfirmasi tanpa gejala (asimptomatik) yang tidak dilakukan pemeriksaan lanjutan RT-PCR dengan ditambah 10 hari isolasi mandiri sejak pengambilan spesimen diagnosis konfirmasi.

Kedua, kasus probable/kasus konfirmasi dengan gejala (simptomatik) yang tidak dilakukan pemeriksaan lanjutan RT-PCR dihitung 10 hari sejak tanggal onset dengan ditambah minimal tiga hari setelah tidak lagi menunjukkan gejala demam dan gangguan pernapasan.

Ketiga, kasus probable/kasus konfirmasi dengan gejala (simptomatik) yang mendapatkan hasil pemeriksaan lanjutan RT-PCR satu kali negatif, dengan ditambah minimal tiga hari setelah tidak lagi menunjukkan gejala demam dan gangguan pernapasan.

Terakhir, dalam hal Kematian, pedoman tersebut menyebut kematian COVID-19 untuk kepentingan surveilans adalah kasus konfirmasi/probable COVID-19 yang meninggal.

Sebelumnya, setidaknya ada dua jenis virus corona yang diketahui menyebabkan penyakit yang dapat menimbulkan gejala berat seperti Middle East Respiratory Syndrome (MERS) dan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS). Namun SARS-CoV-2 merupakan virus corona jenis baru yang sebelumnya belum pernah diidentifikasi pada manusia.

Karena kebaruannya itulah penanganannya pun tentu bisa saja berubah setiap saat ketika ilmuwan atau peneliti berhasil menguliti satu per satu virus berdiameter 60-140 nanometer tersebut.

Jika sebelumnya WHO mengatakan orang sehat tidak perlu menggunakan masker, tentu wajar apabila itu berubah jika ada hasil penelitian dari peneliti di berbagai negara yang menemukan dugaan penularan melalui udara.

Baca juga: Delapan daerah di Jabar laksanakan pilkada dengan AKB
Baca juga: Meski diterapkan AKB, tempat wisata di Purwakarta tak dibuka total
Baca juga: Penjelasan perubahan istilah ODP dan PDP dalam Kepmenkes


Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2020