Jakarta (ANTARA) - Ketua Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Syaiful Huda mendesak agar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) membuka kriteria seleksi Program Organisasi Penggerak (POP) ke publik.

"Hasil seleksi program ini menuai kontroversi publik. Selain masuknya dua yayasan yang terafiliasi ke perusahaan-perusahaan besar, seperti Tanoto Foundation dan Putera Sampoerna Foundation, juga banyak entitas baru di dunia pendidikan lolos seleksi program, padahal tidak jelas rekam jejaknya," ujar Huda dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Rabu.

Lembaga Pendidikan (LP) Ma’arif PBNU dan Majelis Pendidikan Dasar-Menengah PP Muhammadiyah pun menyatakan mundur dari kepesertaan dalam program itu.

Baca juga: LP Ma'arif nyatakan mundur dari Organisasi Penggerak

Baca juga: Muhammadiyah tuntut transparansi Kemdikbud soal hibah ormas


"Kami mendesak Kemendikbud membuka kriteria-kriteria yang mendasari lolosnya entitas pendidikan sehingga bisa masuk POP. Dengan demikian, publik akan tahu alasan kenapa satu entitas pendidikan lolos dan entitas lain tidak," terang dia.

Dia menjelaskan hasil seleksi POP banyak mendapatkan respons negatif dari publik. Buktinya lembaga pendidikan milik PBNU dan PP Muhammadiyah mundur dari program tersebut. Padahal, LP Ma’arif PBNU dan Majelis Pendidikan PP Muhammadiyah merupakan dua entitas dengan rekam jejak panjang di dunia pendidikan Indonesia.

"Pengunduran diri NU dan Muhammadiyah dari program ini menunjukkan jika ada ketidakberesan dalam proses rekruitmen POP," kata Huda.

Dia mengatakan Kemendikbud tidak bisa memandang remeh fenomena pengunduran diri LP Ma’rif PBNU dan Majelis Pendidikan Muhammadiyah dari POP.

Menurut dia, dengan rekam jejak panjang di bidang pendidikan, pengunduran diri NU dan Muhammadiyah bisa mempengaruhi legitimasi dari POP itu sendiri.

Baca juga: Komisi X DPR segera panggil Tanoto Foundation dan Sampoerna Foundation

"Bayangkan saja lembaga pendidikan NU dan Muhammadiyah itu mempunyai jaringan sekolah yang jelas, tenaga pendidik yang banyak, hingga jutaan peserta didik. Jika mereka mundur lalu POP mau menyasar siapa."

Dia mengatakan Kemendikbud tidak bisa beralasan jika proses seleksi diserahkan kepada pihak ketiga, sehingga mereka tidak bisa ikut campur. Menurut dia, Kemendikbud tetap harus melakukan kontrol terhadap mekanisme seleksi, termasuk proses verifikasi di lapangan.

"Pendidikan merupakan salah satu pilar kehidupan bangsa. Keberadaannya telah eksis sejak sebelum kemerdekaan. Tentu kita akan dengan mudah bisa membedakan mana entitas pendidikan yang telah berpengalaman, mana entitas pendidikan yang baru eksis dalam empat lima tahun terakhir," katanya.

Politikus PKB itu menyatakan dalam seleksi POP harus mempunyai keberpihakan kepada ormas-ormas dengan rekam jejak panjang di dunia pendidikan di Indonesia. Hal itu bisa dilihat dari jaringan sekolah yang mereka miliki, jumlah pendidik yang terafiliasi, hingga komitmen terhadap NKRI dan Pancasila.

"Kalau dalam pandangan kami tidak bisa POP ini, kita serahkan ke pasar bebas dalam proses seleksinya. Perlu ada pertimbangan-pertimbangan khusus karena sekali lagi, POP ini juga merupakan bagian dari upaya untuk memberdayakan masyarakat," tuturnya.

Baca juga: Muhammadiyah mundur dari Program Organisasi Penggerak Kemendikbud

POP merupakan salah satu program unggulan Kemendikbud. Program itu bertujuan untuk memberikan pelatihan dan pendampingan bagi para guru penggerak untuk meningkatkan kualitas dan kemampuan peserta didik.

Melalui program itu, Kemendikbud akan melibatkan organisasi-organisasi masyarakat yang mempunyai kapasitas meningkatkan kualitas para guru melalui berbagai pelatihan. Kemendikbud mengalokasikan anggaran lebih dari setengah triliun rupiah untuk membiayai pelatihan atau kegiatan yang diselenggarakan organisasi terpilih.

Organisasi yang terpilih dibagi tiga kategori, yakni kategori yakni Gajah, Macan dan Kijang. Untuk Gajah dialokasikan anggaran sebesar maksimal Rp20 miliar/tahun, Macan Rp5 miliar per tahun, dan Kijang Rp1 miliar per tahun.

Pewarta: Indriani
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2020