Malang, Jawa Timur (ANTARA) - Staf Ahli Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Apik Karyana mengemukakan bahwa perempuan berperan besar dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan di lingkungan masyarakat, khususnya di kawasan hutan.

Menurut Apik, kerusakan lingkungan yang menjadi faktor utama terhadap stabilitas ketahanan pangan bisa diubah oleh perempuan.

"Permasalahan lingkungan selalu berhulu di perilaku dan perempuan lah yang menjadi media utama dan pertama yang dapat mendorong perubahan perilaku," kata Apik dalam Webinar bertajuk "Ketahanan Pangan Masyarakat Hutan Berperspektif Gender pada Masa Adaptasi Kebiasaan Baru" yang digelar Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya (UB) yang dipantau di Malang, Jawa Timur, Kamis.

Dia menambahkan bahwa dalam kesehariannya, peran perempuan cenderung lebih dekat dengan lingkungan, seperti ketersediaan air bersih, pengelolaan sampah rumah tangga, merawat tanaman, holtikultura, dan agroforestri.

Sementara itu, Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar dalam materi tertulis mengemukakan hutan sebagai life support system, merupakan cadangan pangan yang lengkap. Dalam hutan ada kebhinekaan mahluk hidup, ada jasad renik, flora, cacing, serangga, fauna, air, tanah, benih, pohon kayu, pohon buah, pohon getah, tanah subur dan lain-lain.

Hutan, kata dia, dapat memenuhi kebutuhannya sendiri sekitar 90 persen, sepanjang waktu sepanjang musim. Kontribusi hutan dalam penyediaan pangan bersifat langsung dan tidak langsung.

Kontribusi secara langsung, kata dia, yakni produk hasil hutan sebagai penyedia pangan rakyat, seperti umbut rotan, umbi-umbian, satwa, madu, sagu, porang, jamur, buah-buahan hingga obat-obatan dan pasak bumi untuk menjaga stamina.

Secara tidak langsung, menurut dia, hutan sebagai penyediaan lahan untuk modal produksi pangan, produksi pangan dari hutan lebih dari 9 juta ton berupa padi, jagung, kedelai per tahun. Produksi pangan dari hutan belum tercatat dalam data statistik nasional.

Sementara itu Guru Besar Sosiologi Pertanian UB Prof Yayuk Yuliati menambahkan bahwa dengan kelembutan hatinya dalam memelihara lingkungan, perempuan mampu memanfaatkan sumber daya alam dengan kehati-hatian dan kecukupan sesuai dengan kebutuhan.

Sehingga, lanjutnya, jika terjadi kerusakan lingkungan, perempuan yang paling terdampak, sebab mereka harus mencari air lebih jauh, mencari kayu bakar jauh karena rusaknya hutan. "Jadi pesan moralnya jangan rusak atau eksploitasi hutan karena menyusahkan perempuan," ujarnya.

Yayuk mengatakan lebih dari itu, pemberdayaan masyarakat yang memperhatikan aspek gender, baik laki-laki ataupun perempuan, hasilnya akan lebih signifikan dalam pencapaian kesejahteraan, termasuk ketahanan pangan keluarganya.

Manajer R & D UB Forest Dr Asihing Kustanti mengatakan, seharusnya tidak hanya perempuan yang berpengaruh dan mempunyai andil pada lingkungan, tapi juga masyarakat pengguna hutan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Contohnya hutan, hutan sebagai penyokong kehidupan masyarakat memberikan banyak manfaat.

Masyarakat, kata Asihing, mempunyai kepentingan terhadap hutan, seperti sebagai sumber pangan, papan, dan sandang. Bahkan, secara tidak langsung hutan memberikan keindahan, cadangan oksigen, sumber mata air, pencegah banjir, dan ekowisata.

"Oleh karena itu, seharusnya masyarakat dengan kapasitas pengetahuan dan inovasi yang dimiliki bisa turut menjaga kelestarian hutan, bukan malah merusak hutan," katanya.

Pewarta: Endang Sukarelawati
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2020