Saya benar-benar sedang merasakan pepatah 'nila setitik merusak susu sebelanga'. Saya menerima ini semua sebagai konsekuensi atas kesalahan saya.
Jakarta (ANTARA) - Mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI  Wahyu Setiawan menyebut dirinya sudah bersikap kooperatif saat menjalani penyidikan hingga penuntutan sehingga memohon untuk dihukum ringan.

"Dalam menjalani proses hukum ini, saya bersikap sangat kooperatif. Mulai dalam tahap penyelidikan, penyidikan, hingga persidangan ini saya berupaya menyampaikan fakta berdasarkan data serta informasi secara jujur dan terbuka, tidak ada fakta yang saya tutupi selama saya menjalani proses hukum," kata Wahyu saat membacakan nota pembelaan (pledoi) dari Gedung KPK Jakarta, Senin.

Sidang dilakukan secara virtual, Wahyu dan kader PDI Perjuangan Agustiani Tio Fridelina membacakan pledoi dari Gedung KPK, sedangkan majelis hakim, jaksa penuntut umum, serta sebagian penasihat hukum mengikuti persidangan dari Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta.

Baca juga: Jaksa KPK tolak permohonan "justice collaborator" Wahyu Setiawan

Dalam perkara ini Wahyu Setiawan dituntut 8 tahun penjara ditambah denda Rp400 juta subsider 6 bulan kurungan ditambah pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 4 tahun, sedangkan Agustiani Tio dituntut penjara selama 4 tahun dan 6 bulan dan pidana denda sebesar Rp200 juta subsider 6 bulan.

Keduanya dinilai terbukti menerima suap Rp600 juta dari kader PDI Perjuangan Saeful Bahri. Khusus untuk Wahyu, juga menerima suap Rp500 juta dari Sekretaris KPU Provinsi Papua Barat Rosa Muhammad Thamrin Payapo.

Tujuan penerimaan uang tersebut adalah agar Wahyu Setiawan dapat mengupayakan KPU menyetujui permohonan penggantian antarwaktu (PAW) anggota DPR RI PDI Perjuangan dari Dapil Sumatera Selatan 1, yakni Riezky Aprilia kepada Harun Masiku.

"Secara sukarela saya juga telah mengembalikan uang 15.000 dolar Singapura dan uang Rp500 juta kepada Negara pada tahap penyidikan. Saya tidak menikmati uang yang saya terima karena seluruh uang sudah saya kembalikan kepada Negara melalui rekening penampungan KPK," kata Wahyu.

Dalam tuntutan, Wahyu disebut menerima uang dalam dua tahap, yaitu pertama pada tanggal 17 Desember 2019 sebesar 19.000 dolar Singapura (sekitar Rp200 juta) yang diserahkan oleh sopir Saeful Bahri, Moh. Ilham Yulianto (atas perintah dari Saeful Bahri), kemudian diterima Agustiani Tio.

Penerimaan kedua, pada tanggal 26 Desember 2019, sebesar 38.350 dolar Singapura (sekitar Rp400 juta) yang diserahkan langsung Saeful Bahri kepada Agustiani Tio di satu restoran, Mal Pejaten Village.

Baca juga: Wahyu Setiawan dituntut 8 tahun penjara

"Terkait dengan uang senilai 38.350 dolar Singapura, tidak pernah saya terima. Uang tersebut dalam penguasaan Saudari Agustiani Tio Fredelina atas perintah Saeful Bahri. Hal itu sebagaimana kesaksian dan keterangan Saeful Bahri dan Agustiani Tio yang disampaikan dalam persidangan," ungkap Wahyu.

Wahyu juga membantah tuduhan JPU KPK yang menyebut dirinya mengkhianati kedaulatan rakyat.

"Tuduhan itu adalah tidak benar dan sangat kejam. Sebagai anggota KPU RI, saya tidak pernah mengkhianati kedaulatan rakyat yang terwujud dalam hasil pemilu," kata Wahyu.

Terkait dengan permohonan parpol untuk melakukan pergantian calon anggota DPR RI terpilih hasil pemilu, menurut Wahyu, merupakan hak partai politik.

"Sepanjang usulan pergantian calon anggota DPR terpilih memenuhi persyaratan sesuai dengan mekanisme pergantian calon terpilih sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan maka akan terlaksana permohonan tersebut," kata Wahyu.

Wahyu pun membantah berupaya menghubungi anggota KPU RI yang lain agar memenuhi surat permohonan dari PDI Perjuangan.

Baca juga: KPK terus maksimalkan cari tersangka Harun Masiku

"Berdasarkan keterangan saksi Arief Budiman (Ketua KPU RI) dan Hasyim Asy'hari (anggota KPU) dalam persidangan, saya tidak pernah meminta agar anggota KPU RI yang lain memenuhi surat permohonan dari PDI Perjuangan. Ketua dan anggota KPU RI mengambil keputusan secara kolektif kolegial menolak permohonan PDIP untuk mengganti Saudari Rizky Aprilia dengan Saudara Harun Masiku," kata Wahyu.

Wahyu menegaskan pula bahwa dirinya telah berprofesi sebagai penyelenggara pemilu sejak 2003 dan bukan anggota parpol.

"Saya juga tidak pernah menduduki jabatan politik. Saya berpandangan tuntutan JPU menghukum saya berupa pencabutan hak politik saya selama 4 tahun adalah tidak adil dan berlebihan," ungkap Wahyu.

Sejak mengalami permasalahan hukum, Wahyu merasakan kehidupannya berubah total.

"Rekam jejak saya sebagai penyelenggara pemilu selama kurang lebih 20 tahun sirna. Saya benar-benar sedang merasakan pepatah 'nila setitik merusak susu sebelanga'. Saya menerima ini semua sebagai konsekuensi atas kesalahan saya," kata Wahyu.

Ia menyatakan sangat menyesal telah berbuat kesalahan yang menyebabkan keluarganya menderita.

Baca juga: LPSK persilakan Wahyu Setiawan ajukan diri jadi justice collaborator

"Untuk itu, dari lubuk hati terdalam saya memohon maaf kepada istri dan anak-anak saya. Penyesalan terbesar saya adalah menyakiti hati Ibu tercinta, ingin rasanya bersujud di kakimu wahai Ibu dan memohon maaf. Ibu 'nyuwun pangapunte'. Sungguh tuntutan JPU meminta saya dihukum 8 tahun penjara serta denda Rp400 juta subsider 6 bulan kurungan dan mencabut hak politik selama 4 tahun, saya rasakan sangat berat dan tidak adil," kata Wahyu menegaskan.

Alasannya, menurut Wahyu, Saeful Bahri yang berperan aktif dalam mengatur dan mendapatkan untung dari pengurusan PAW Riezky Aprilia kepada Harun Masiku hanya divonis 1 tahun dan 8 bulan penjara.

"Saya mohon kepada ketua dan anggota majelis hakim yang mulia untuk menghukum saya seringan-ringannya," kata Wahyu.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2020