Aturan kewajiban pendistribusian Premium bertolak belakang dengan Paris Agreement. Untuk itu tak ada jalan lain, Kementerian ESDM harus segera merevisi aturan tersebut, sehingga tak ada lagi kewajiban pendistribusian Premium
Jakarta (ANTARA) - Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan, menilai positif rencana penghapusan Premium di Jawa, Madura, dan Bali (Jamali), pada Januari 2021, karena hal itu sangat mendukung komitmen Presiden Joko Widodo pada Paris Agreement.

Untuk itu, menurut dia, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) diminta segera merevisi aturan mengenai pendistribusian Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Premium, terutama di Jamali.

“Aturan kewajiban pendistribusian Premium bertolak belakang dengan Paris Agreement. Untuk itu tak ada jalan lain, Kementerian ESDM harus segera merevisi aturan tersebut, sehingga tak ada lagi kewajiban pendistribusian Premium dan ini bisa diawali di Jamali," ujar Mamit di Jakarta, Senin.

Baca juga: Pertamina: tak ada penghapusan premium

Revisi aturan, lanjutnya, sangat penting baik sebagai bentuk dukungan terhadap Paris Agreement dan sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara.

“Dengan demikian revisi memang harus dilakukan. Indonesia akan jadi sorotan internasional jika kebijakannya bertolak belakang dengan komitmen Presiden dalam Paris Agreement,” kata dia.

Pemerintah berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca. Hal itu tertuang dalam Dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) yang merupakan tindak lanjut Paris Agreement yang disahkan melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016.

Baca juga: YLKI: penghapusan premium di Jakarta tidak efektif

Dalam penyampaian First Nationally Determined Contribution (NDC) disebutkan target penurunan emisi Indonesia hingga 2030 sebesar 29 persen dari Business as Usual (BAU) dengan upaya sendiri dan dengan 41 persen dengan bantuan internasional.

Dalam NDC juga disebutkan bahwa penurunan emisi di Indonesia berfokus pada lima sektor yang berkontribusi dalam upaya penurunan emisi GRK dari BAU 2030 yaitu sektor energi, industri, kehutanan, pertanian, dan limbah.

Terkait berbagai komitmen penurunan emisi GRK itulah, Mamit mengingatkan perbaikan kualitas udara di Jamali  memang mendesak, karena kualitas udara yang buruk.

Baca juga: Pemerintah diminta kendalikan pencemaran udara kurangi risiko COVID-19

"Salah satu kontributor pencemaran udara adalah sektor transportasi. Sebagai bukti, saat PSBB dilakukan kualitas udara jauh lebih baik," ujarnya.

Terkait hal itu Mamit menilai positif Program Langit Biru (PLB) yang saat ini dilaksanakan Pertamina. Menurutnya, program tersebut harus diteruskan di kabupaten/kota lain terutama di Jamali.

Melalui program tersebut, Pertamina bisa melakukan sosialisasi dan edukasi mengenai manfaat penggunaan BBM yang lebih ramah lingkungan.

"Konsumen bisa mengedukasi pengalamannya menggunakan BBM yang lebih ramah lingkungan. Pembakaran mesin menjadi lebih baik. Jarak tempuh menjadi lebih jauh. Mesin menjadi lebih terawat. Polusi yang ditimbulkan menjadi berkurang," katanya.

Baca juga: Polusi udara mengkhawatirkan, kendaraan listrik bisa jadi solusi

Pewarta: Subagyo
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2020