Jakarta (ANTARA) - Kebijakan negara dalam melindungi penempatan pekerja migran Indonesia telah diatur dalam UU No.18/2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia. Peraturan ini mengamanatkan bahwa Pekerja Migran Indonesia harus dilindungi dari tindak perdagangan orang, perbudakan, kekerasan dan perlakuan yang melanggar hak asasi manusia.

Selain itu penempatan pekerja migran untuk mewujudkan kesempatan yang sama bagi para pekerja dalam memperoleh pekerjaan dan penghasilan yang layak serta pemerataan kesempatan kerja sesuai dengan kepentingan nasional. Semuanya itu dilaksanakan secara terpadu antara pemerintah dengan melibatkan peran masyarakat sipil.

Namun, dalam praktiknya, kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah tidak sejalan, bahkan bertentangan dengan peraturan lainnya, demikian rilis dari Koordinator Peduli Buruh Migran Lily Pujiati.

Hal itu dapat dilihat dari terbitnya Peraturan Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia No.9/2020 tentang Pembebasan Biaya Penempatan Pekerja Migran Indonesia.

Padahal dalam UU No.18/2017 mengamanatkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai biaya penempatan diatur dengan peraturan kepala badan. Peraturan kepala badan seharusnya mengatur ketentuan komponen biaya yang termasuk biaya penempatan, bukan justru menghapuskan biaya penempatan.

Selain itu peraturan ini bertentangan dengan UU No.18/2017 karena tidak menyerap aspirasi dari masyarakat sipil yang dalam beberapa pertemuan terakhir dengan pemerintah dan swasta telah menyepakati biaya penempatan tidak melebihi dari satu kali upah.

Hal ini merujuk pada peraturan di negara tujuan penempatan, seperti Hong Kong, yang rata-rata mengatur biaya penempatan sebesar satu kali upah.

Peraturan ini juga membebankan biaya penempatan terkait sertifikat kompetensi kerja kepada pemerintah daerah. Hal tersebut bertentangan dengan UU No.23/2014 tentang Pemerintah Daerah yang mengatur bahwa sertifikasi kompetensi bukan menjadi urusan pemerintah daerah, melainkan berada di pemerintah pusat.

Aturan tentang biaya penempatan ini menjadi tumpang-tindih karena saat ini Peraturan Menteri Koordinator Perekonomian No.11/2017 tentang Pedoman Pelaksanaan Kredit Usaha Rakyat masih berlaku.

Isinya mengatur mengenai jumlah pinjaman Kredit Usaha Rakyat (KUR) penempatan Tenaga Kerja Indonesia disesuaikan dengan struktur biaya. Biaya ini mencakup pengurusan dokumen jati diri, pemeriksaan kesehatan dan psikologi, pelatihan kerja dan sertifikasi kompetensi kerja, biaya lain-lain yang ditetapkan kementerian/lembaga.


Monopoli

Dalam penempatan pekerja migran, terdapat pula peraturan yang mengarah kepada praktik monopoli. Hal ini tertuang pada Kepmenaker No.291/2018 tentang Pedoman Pelaksanaan Penempatan dan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia di Kerajaan Arab Saudi melalui Sistem Penempatan Satu Kanal.

Sistem penempatan ini mengindikasikan monopoli karena salah satu pasalnya mensyaratkan bahwa perusahaan penempatan pekerja migran Indonesia (P3MI) yang akan menempatkan calon pekerja harus dari asosiasi yang mewakili Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN).

Padahal, dalam UU No.18/2017 telah diatur bahwa P3MI adalah penyelenggara penempatan pekerja migran. Akibatnya akan berdampak pada persaingan usaha yang tidak sehat.

Regulasi negara lainnya yang tidak peka terhadap pelindungan pekerja migran Indonesia adalah Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja yang menghapus ketentuan tentang Surat Izin Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (SIP3MI) dan digantikan dengan Perizinan Berusaha yang tidak dirinci lebih lanjut.

Omnibus Law membuat P3MI tidak lagi harus memenuhi persyaratan, seperti modal Rp5 miliar, deposito sebesar Rp1,5 miliar, rencana kerja penempatan dan pelindungan pekerja migran selama tiga tahun, memiliki sarana dan prasarana pelayanan penempatan pekerja migran.

Akibatnya, pelindungan pekerja migran menjadi rentan dan mengarah kepada tindak perdagangan orang karena setiap badan usaha yang tidak memenuhi persyaratan SIP3MI, dapat menempatkan pekerja migran tanpa memperhatikan aspek pelindungan.

Dampaknya, penempatan pekerja migran dapat dilakukan oleh badan usaha yang hanya bermodalkan izin usaha. Padahal modal deposito serta ketentuan sarana dan prasarana yang diatur pada SIP3MI adalah bertujuan untuk mempersiapkan kompetensi kerja calon pekerja migran dan sebagai jaring pengaman bila terjadi kasus pelanggaran hak pekerja.

Melihat kondisi kebijakan yang carut-marut ini, maka sudah saatnya negara berbenah diri dengan melakukan harmonisasi kebijakan yang berpihak pada pekerja migran. Ini semua untuk melindungi mereka dari praktik perdagangan orang dan mengurangi pengangguran dengan pemerataan kesempatan kerja untuk kepentingan nasional.


Revisi aturan

Sementara Ketua Himpunan Pengusaha Jasa Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (Himsataki) Tegap Harjadmo mengusulkan agar pasal yang mengatur penempatan pekerja migran ke Saudi harus anggota asosiasi Kamar Dagang dan Industri (Kadin) direvisi, karena tidak mencerminkan kinerja perusahaan itu sendiri.

Pasal itu direvisi dengan lebih mengutamakan persaingan bisnis yang sehat antar-asosiasi/organisasi bisnis penempatan pekerja migran, sehingga hanya perusahaan kredibel yang diizinkan dan bukan sekadar anggota asosiasi dan bayar keanggotaan.

Himsataki sudah mengingatkan hal itu pada Rakor Kemenaker dan BP2MI yang di laksanakan pada 15-16 September 2020 lalu di Jakarta.

Tata Kelola Perlindungan dan Penempatan calon pekerja migran Indonesia diatur dalam Kepmenaker No.291/2018 BAB III tentang Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) dan Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Kerja, pada butir A No.1 Huruf K, berbunyi bahwa syarat perusahaan penempatan pekerja migran harus memiliki surat/bukti keanggotaan dalam asosiasi yang ditunjuk sebagai wakil dari Kamar Dagang dan Industri Indonesia.

Dalam lingkup penempatan dan pelindungan pekerja migran Indonesia, kata Tegap, semangatnya adalah bagaimana program ini berjalan secara terklaster, transparan, terukur dan akuntabel.

Persyaratan itu hendaknya direvisi menjadi, P3MI yang akan menempatkan calon Pekerja Migran Indonesia ke Kerajaan Arab Saudi harus memenuhi sejumlah persyaratan, di antaranya melakukan pendaftaran secara daring melalui Siskobp2mi dan mendapatkan rekomendasi dari BP2MI.

Selanjutnya, memiliki Surat Izin Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (SIPPTKI) yang masih berlaku, memiliki Izin Visa Services Platform (Enjaz) secara online di sistem MOFA Kerajaan Arab Saudi di Kedutaan Besar Kerajaan Arab Saudi di Indonesia.

Selain itu, tidak pernah terlibat dalam permasalahan penempatan pekerja migran Indonesia di luar prosedur, tidak sedang dikenakan sanksi administratif, menandatangani pakta integritas, memiliki ISO 9001 yang masih berlaku, memiliki kantor dan sarana prasarana perkantoran sesuai dengan alamat yang tercantum dalam SIPPTKI, serta memiliki laporan keuangan perusahaan Tahun 2017 yang telah diaudit oleh akuntan publik.

Artinya, perusahaan yang diizinkan menempatkan dan melindungi pekerja migran benar-benar berdasarkan kinerja dan komitmen mengikuti aturan dan kredibel.

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2020