Jakarta (ANTARA) -
Kuasa hukum Nurhadi dan Rezky Herbiyono, Maqdir Ismail, menegaskan pihaknya menolak tuntutan penuntut umum yang menyatakan bisa melihat suatu pola pencucian uang dalam kasus kliennya.
 
"Bahwa kami tidak sependapat dan menolak keras apa yang dinyatakan oleh penuntut umum dalam surat tuntutannya, pada bagian pendahuluan halaman 6 yang menyatakan pada pokoknya dalam kasus ini, 'bisa melihat suatu pola pencucian uang'," kata Maqdir Ismail dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Rabu.
 
Sebab, katanya, apabila dicermati secara saksama pada surat dakwaan, penuntut umum sama sekali tidak mendakwa para terdakwa dengan ancaman Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
 
Tetapi, lanjutnya, hanya mendakwa berdasarkan Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi, sehingga sangat tidak relevan apabila penuntut umum dalam perkara ini berpendapat demikian.
 
Lebih lagi, berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan tidak ada satupun saksi yang menerangkan Nurhadi mempunyai kontrol yang besar atas perusahaan dan keuangan yang dimiliki oleh Rezky Herbiyono.
 
Kemudian, lanjutnya, faktanya Nurhadi sebagai mertua tidak memiliki kedekatan dengan Rezky Herbiyono, selain kedekatan sebagai keluarga.

Baca juga: Pengacara Nurhadi sebut tuntutan jaksa KPK Zalim
 
Nurhadi tidak pernah ikut campur dengan bisnis-bisnis Rezky Herbiyono lebih khusus proyek PLTMH antara Rezky Herbiyono dengan saksi Hiendra Soenjoto.
 
"Dengan demikian, penuntut umum telah membuat pernyataan yang tidak jelas pijakannya, sehingga uraian penuntut umum hanya didasarkan pada kesimpulan yang bersifat asumsi," kata dia.
 
Penggunaan pola seolah-olah ada pencucian uang ini adalah satu kesengajaan untuk membuat framing Nurhadi dan Rezky Herbiyono telah melakukan kejahatan ganda.
 
"Kalau saja JPU berani jujur, karena jujur itu hebat seperti semboyan Komisi Pemberantasan Korupsi, kami yakin tidak akan ada upaya untuk menggelapkan fakta seperti ini. Dan tidak mungkin akan ada upaya framing bahwa perkara ini adalah perkara pencucian uang," ucapnya.
 
Upaya untuk membentuk opini bahwa pembelian kebun sawit sebagai pencucian uang, dapat dirasakan ketika pihaknya memprotes pertanyaan-pertanyaan penuntut umum terkait dengan jual beli kebun sawit.

Baca juga: Eks Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi dituntut 12 tahun penjara
 
Seandainya benar seperti asumsi penuntut umum bahwa uang pembelian kebun sawit berasal dari uang yang diterima Rezky Herbiyono dari Hiendra Soenjoto dan terkait dengan pengurusan perkara, maka seharusnya penuntut umum berani membandingkan waktu penerimaan uang dengan pembayaran kebun kelapa sawit.
 
"Faktanya dalam hal ini penuntut umum diam seribu bahasa," kata dia lagi.
 
Mencermati surat tuntutan pidana yang diakhiri dengan tuntutan 12 tahun terhadap Nurhadi, dan 11 Tahun terhadap Rezky Herbiyono, Maqdir menilai sebagai tuntutan yang sewenang-wenang dan zalim.
 
Sebagaimana halnya, katanya, ketika penuntut umum menuntut terdakwa untuk membayar uang pengganti, tuntutan pidana penjara terhadap terdakwa juga dilatarbelakangi oleh sikap ingin membalas dendam atau melampiaskan rasa ketidaksukaan penuntut umum terhadap terdakwa.
 
"Karena terdakwa dianggap tidak kooperatif dan tidak mengakui perbuatan yang didakwakan, yang notabenenya perbuatan yang didakwakan tersebut memang tidak pernah dilakukannya," katanya.
 
Oleh karena itu, kata dia, tuntutan tersebut sudah sepatutnya ditolak atau setidaknya dikesampingkan menurut hukum.
 
"Bagi kami tuntutan hukuman yang tinggi ini adalah juga sebagai upaya untuk menyandera Majelis Hakim agar tidak berani membebaskan terdakwa," ujarnya.
 

Pewarta: Boyke Ledy Watra
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2021