Jakarta (ANTARA) - Presiden Joko Widodo pada Kamis (4/3) meresmikan kampus baru Universitas Sultan Ageng Tirtaya di Sindangsari, Kabupaten Serang, Provinsi Banten.

Tak banyak yang mengetahui bahwa konstruksi sebagian gedung itu merupakan hasil inovasi karya anak bangsa.

Pembangunan kampus baru ini terdiri atas dua belas gedung yang sepenuhnya dibiayai dari pinjaman Bank Pembangunan Islam (Islamic Development Bank/IDB) senilai 56,9 juta dolar AS (setara Rp820,5 miliar). Sebanyak delapan gedung di antaranya menggunakan konstruksi "sarang laba-laba".

Konstruksi "sarang laba-laba" merupakan inovasi yang patennya dipegang PT Katama. Sesuai namanya, konstruksi ini merupakan fondasi yang dibentuk dari rangkaian sirip berbentuk segitiga terbuat dari kombinasi besi dan beton. Apabila dilihat dari atas menyerupai jaring laba-laba berukuran besar.

Fondasi ini sudah banyak dimanfaatkan untuk bangunan-bangunan tahan gempa di Aceh, Sumatera Barat dan Bengkulu. Bahkan dimanfaatkan untuk landasan gelinding (taxiway) di Bandara Juwata Tarakan, Kalimantan Utara serta beberapa ruas jalan di tanah ekstrem.

Bersamaan setelah meresmikan kampus baru Universitas Sultan Ageng Tirtaya (Untirta) Sindangsari, Presiden Joko Widodo kembali mengampanyekan penggunaan produk-produk dalam negeri dalam rakernas di Kementerian Perdagangan RI.

Presiden Joko Widodo mengungkapkan pembangunan kampus baru Untirta jangan hanya dilihat secara fisik akan tetapi perlunya semangat baru untuk memajukan pendidikan tinggi dan inovasi khususnya di Propinsi Banten.

Dalam kesempatan berbeda Presiden juga mendukung berbagai inovasi di dalam negeri dalam mendorong pembangunan.

Keberpihakan terhadap karya anak bangsa juga disampaikan Presiden Joko Widodo saat membuka Rakernas Penguatan Ekosistem Innovasi Teknologi BPPT Senin (8/3). Presiden saat itu menyampaikan tiga visi besar kemajuan inovasi dan teknologi nasional.

Hal ini menunjukkan perhatian yang besar pemerintah terhadap penggunaan produk-produk karya anak bangsa. Termasuk produk konstruksi yang baru diresmikan di kampus Untirta Sindangsari.

Berangkat dari dukungan pemerintah ini, seharusnya inovasi karya anak-anak bangsa sudah mengambil tempat diberbagai sektor pembangunan. Apalagi saat ini status dari fondasi "sarang laba-laba" ini tengah diteliti di Universite de Technologie de Compiegne (UTC) Prancis, untuk nantinya mendapat pengakuan internasional sebagai fondasi tahan gempa.

Riset
Bagi Fakultas Teknik Untirta, hadirnya konstruksi peraih Upakarti ini menjadikan laboratorium nyata. Dosen dan mahasiswa dapat praktik langsung sehingga dapat membangkitkan motivasi untuk menciptakan inovasi-inovasi di bidang konstruksi.

Ketua Tim Teknis dan PIC Civilwork Kampus Untirta Sindangsari, Rifky Ujianto, ST, MT mengakui hadirnya konstruksi "sarang laba-laba" membantu dosen dan mahasiswa untuk mempelajari konstruksi terutama untuk mengetahui kemampuannya untuk menahan gempa.

Baca juga: Presiden Jokowi resmikan kampus baru Untirta di Serang
Baca juga: Presiden nilai Untirta warisi nilai keteladan dua sosok pergerakan
Rektor Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) Fatah Sulaiman (kanan) bersama Gubernur Banten Wahidin Halim (tengah) dan Penasihat Untirta Farih Nuril (ketiga kiri) bersama staf meninjau kompleks kampus baru Untirta di Sindangsari, Serang, Banten, Rabu (2/10/2019). Kompleks kampus Untirta tersebut dibangun dengan biaya Rp600 miliar di atas lahan seluas 12 hektare dengan 11 gedung termasuk gedung Rektorat, Dekanat, Gedung Serbaguna, ruang perkuliahan, asrama mahasiswa, sarana olahraga dan sejumlah laboratorium untuk merealisasikan Untirta sebagai pusat pengembangan IPTEK. (ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman/hp)

Bahkan, saat pekerjaan yang sudah mencapai 70 persen terjadi gempa di Kabupaten Serang sebesar 7,1 SR. Ternyata bangunan tidak mengalami kerusakan sedikitpun.

Rifky juga menjelaskan konstruksi sarang laba-laba sesuai desain standarnya mampu mendukung bangunan setinggi enam lantai di daerah gempa. Sedangkan di kampus Untirta Sindangsari, gedung yang menggunakan konstruksi ini hanya empat lantai.

Rifky juga menjelaskan mengapa hanya delapan dari dua belas bangunan saja yang menggunakan konstruksi "sarang laba-laba", karena sebagian lahan di kawasan ini menggunakan sistem gali dan uruk (cut and fill) yang tidak cocok untuk konstruksi "sarang laba-laba".

Rifky juga menjelaskan mengapa konstruksi "sarang laba-laba" merupakan inovasi karya anak bangsa. Hal ini karena seluruh material beton dan besi bisa di dapat di semua daerah di Indonesia, termasuk peralatan yang hanya menggunakan stamper (alat pemadat) dan ekskavator (alat penggali).

Tenaga tukang yang dibutuhkan tidak membutuhkan lisensi khusus dan semua bisa mengerjakan. Yang lebih penting lagi proyek ini padat tenaga kerja.

Efisien
Sedangkan menurut Ir. M. Arif Toto R, M. Eng, dari Himpunan Ahli Konstruksi Indonesia (HAKI) yang juga perencana proyek ini, penggunaan konstruksi "sarang laba-laba" (KSLL) ini selain pertimbangan kekuatannya terhadap gempa juga karena lebih efisien khususnya untuk bangunan empat lantai.

Tentunya tidak efisien menggunakan fondasi sepuluh lantai namun bangunan di atasnya hanya empat lantai. Perhitungan-perhitungan seperti ini lantas banyak digunakan bangunan yang menggunakan konstruksi "sarang laba-laba".

Mengenai kekuatan konstruksi ini, Toto mengatakan berdasarkan hasil lokakarya nasional dan rekomendasi Ditjen Cipta Karya Kementerian PUPR, Balitbang Puskim Bandung, PU NAD, Universitas Syah Kuala, dapat disebut konstruksi ini memiliki kemampuan memperkecil risiko terjadinya pergeseran tanah karena kekuatannya menggunakan daya dukung tanah itu sendiri melalui proses pemadatan.

Pemadatan tanah di dalam pondasi akan mampu meniadakan pengaruh lipatan pada rusuk (rib) sehingga konstruksi ini mampu mengikuti gerakan gempa baik dalam arah horisontal maupun vertikal.

Bentuk dan desain konstruksi membuat KSLL memiliki kelebihan-kelebihan. Antara lain tingkat kekakuan yang tinggi diperoleh dengan penggunaan bahan yang hemat dan ekonomis (80 persen tanah dan 20 persen beton bertulang).

Bukan hanya fondasi tetapi seluruh konstruksi bangunan bawah (mampu menggantikan fungsi 15 sampai dengan 20 sub sistem konstruksi bangunan bawah konvensional) mulai dari plat fondasi, lantai dasar, fondasi tangga, kolom praktis, fondasi dinding serta kelembaban tanah tetap terjaga.

Terus dipercaya
Sejak terjadinya gempa dan tsunami Aceh masyarakat dan pengambil keputusan di pemerintahan menyadari pentingnya menggunakan konstruksi tahan gempa.

Kasus di Jepang yang masyarakatnya lebih percaya diri untuk tidak keluar dari bangunan meskipun terjadi gempa besar menjadi pembelajaran bahwa inovasi atau temuan-temuan mengenai bangunan tahan gempa yang harus terus dikembangkan dan diperkuat. Tentunya dengan memperhatikan potensi daerah.

Terkait penggunaan konstruksi "sarang laba-laba", Presiden Direktur PT Katama, Kris Suyanto selaku pemegang paten mengapresiasi atas kembali dipercayanya konstruksi karya anak bangsa untuk bangunan di Indonesia.

Menurut dia, sudah banyak bangunan yang menggunakan konstruksi dangkal dengan rusuk segitiga menyerupai laba-laba termasuk dipergunakan berbagai pembangunan di Indonesia. Tak hanya di daerah gempa, konstruksi sarang laba-laba juga banyak digunakan pada tanah lunak dan berawa namun perlu perlakuan khusus.

Baca juga: Untirta - BPN Banten penguatan program Kementerian ATR/BPN
Baca juga: Mahasiswa Untirta Telusuri Jejak Situs Lawang Abang di Serang
Dirjen Sumberdaya IPTEK Kemenristekdikti Ali Ghufron (kedua kiri) disaksikan Gubernur Banten Wahidin Halim (kanan), Penasihat Untirta Farih Nuril (kedua kanan) dan Direktur IDB untuk Indonesia Ibrahim Ali Shoukry (kiri) menandatangani prasasti peresmian Kompleks Kampus Untirta yang baru di Sindangsari, Serang, Banten, Rabu (2/10/2019). Kompleks kampus Untirta tersebut dibangun dengan biaya Rp600 miliar diatas lahan seluas 12 hektar dengan 11 gedung termasuk gedung Rektorat, Dekanat, Gedung Serbaguna, ruang perkuliahan, asrama mahasiswa, sarana olahraga, dan sejumlah laboratorium untuk merealisasikan Untirta sebagai pusat pengembangan IPTEK. (ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman/hp)

Kris juga mengatakan penggunaan konstruksi "sarang laba-laba" di kampus baru Untirta ini sesuai dengan keinginan Presiden Joko Widodo untuk memperbanyak penggunaan produksi dalam negeri.

Konstruksi "sarang laba-laba" sepenuhnya tidak menggunakan bahan atau material bangunan dari luar. Hampir semuanya di dapat di dalam negeri bahkan pekerja dan peralatan menggunakan sumber daya lokal, ungkap Kris.

Kris sedang menghimpun penemu-penemu di dalam negeri agar dapat berbagi inovasi untuk memberikan kontribusi terhadap pembangunan seperti tengah digalakkan pemerintah.

Terkait hal itu, PT Katama juga tengah mengembangkan inovasi baru yang telah diuji coba untuk mengendalikan banjir di ibu kota dengan cara memasukkan air kembali ke dalam perut bumi.

Diharapkan inovasi pengendalian banjir yang diusulkan kepada Pemprov DKI Jakarta mampu mengatasi persoalan banjir yang mendera Jakarta. Inovasi ini ke depan akan sangat membantu warga Jakarta apabila nantinya dapat direalisasikan.

Inovasi itu memang butuh kerja keras dan pembuktian sebelum mendapat pengakuan dari pengguna. Biasanya inovasi itu muncul karena adanya kebutuhan dari suatu persoalan serta yang paling penting efisien dan aman.

Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2021