Jakarta (ANTARA) -
Anggota Komisi IX DPR Muchamad Nabil Haroen berpendapat bahwa pemerintah daerah (pemda) harus tanggap dan merespons secara tepat penanganan pemudik yang datang terlebih dahulu sebelum masa libur Lebaran 6-17 Mei 2021.
 
Muchamad Nabil Haroen dalam keterangan pers diterima di Jakarta, Minggu, mengatakan harus ada upaya pencegahan agar virus tidak menyebar secara cepat.
 
"Misal, dengan isolasi dulu di penginapan atau hotel, sebelum masuk ke kampung halaman. Maka, pada titik ini, pemda harus berkoordinasi dengan pemerintah desa setempat, untuk mengatur agar desa bisa tercegah dari penularan virus," ujar Nabil.
 
Menurut dia, ketegasan bisa dilakukan pemda dengan tindakan isolasi selama waktu yang direkomendasikan, atau dengan menunjukkan surat negatif COVID-19 dari institusi yang berwenang.
 
"Akan tetapi, koordinasi antara pemerintah daerah dengan pemerintah desa sangat penting untuk tindakan pencegahan ini," katanya.
 
Dia pun menilai Pemerintah Pusat harus berkoordinasi dengan pemerintah daerah, agar informasinya tepat dan satu pintu.
 
"Kalau kebijakannya mengambang, maka tidak akan efektif. Maka, kebijakan satu pintu yang integral antara pemerintah pusat dan daerah ini sangat penting," ujar Nabil.

Baca juga: Cegah COVID-19, anggota DPR ajak warga ganti mudik dengan temu virtual
 
Pemerintah melarang mudik semua kalangan masyarakat, baik itu karyawan BUMN, karyawan swasta, pegawai negeri sipil, anggota TNI-Polri, pekerja formal maupun informal, hingga masyarakat umum.
 
Masyarakat yang nekat mudik bisa disanksi sesuai Undang-undang nomor 6 Tahun 2018 tentang kekarantinaan kesehatan.
 
Aturan larangan mudik pada 6-17 Mei tertuang dalam Surat Edaran Nomor 13 Tahun 2021 tentang peniadaan mudik Hari Raya Idul Fitri 1442 Hijriah dan upaya pengendalian penyebaran COVID-19 selama bulan suci Ramadan 1442 Hijriah.
 
Dalam Surat Edaran tersebut disebutkan masyarakat yang nekat mudik akan diberikan sanksi yang berpatokan pada Undang-undang (UU) tentang kekarantinaan kesehatan.
 
Pasal 93 aturan tersebut menyebutkan hukuman kurungan paling lama setahun dan denda maksimal hingga Rp100 Juta bila melanggar aturan mudik ini.
 
"Setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan atau menghalang-halangi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan sehingga menyebabkan kedaruratan kesehatan masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000," demikian bunyi Pasal 93.
 
Sejumlah otoritas daerah pun mengeluarkan kebijakan untuk mendukung keputusan pemerintah pusat. Polda Jawa Timur misalnya, akan melakukan penyekatan di tujuh titik perbatasan.
Polda Jawa Tengah menyiapkan 14 titik penyekatan, yang poskonya sudah didirikan sejak Senin, 12 April. Polda Jawa Tengah juga akan menerjunkan sekitar 11 ribu personel gabungan TNI-Polri untuk ditempatkan di titik jalur mudik.
 
Polda Jawa Barat menyiapkan 338 pos penyekatan di seluruh wilayah hukum Polda Jawa Barat untuk mencegah masyarakat mudik. Sedangkan Polda Daerah Istimewa Yogyakarta menyiapkan 10 titik penyekatan yang dijaga selama 24 jam.
 
Kakorlantas Polri Irjen Istiono menyampaikan warga yang nekat mencuri start mudik sebelum 6 Mei 2021 akan dikarantina lima hari. Karantina tidak di rumah masing-masing, tetapi di tempat yang sudah disediakan pemerintah daerah setempat.
 
Menanggapi berbagai kebijakan untuk mencegah masyarakat mudik, sosiolog dari Universitas Gadjah Mada Sunyoto Usman mengatakan hal itu bisa saja berjalan, tetapi tantangannya cukup berat.
 
Menurut dia, harus ada penjelasan bahwa larangan mudik hanya sementara karena masih pandemi COVID-19.
 
"COVID-19 masih sangat berbahaya, mudik bisa jadi klaster baru, gagal memutus mata rantai penularan. Pejabat, tokoh-tokoh masyarakat, ulama harus memberikan contoh bahwa mereka tidak mudik, dibutuhkan keteladanan," ujarnya.

Baca juga: Menaker keluarkan edaran imbau pekerja swasta tidak mudik Lebaran

Pewarta: Boyke Ledy Watra
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2021