Untuk benang motif emas, harus dipesan langsung dari Kyoto, yang merupakan daerah penghasil tenun klasik di Jepang, pesanannya bisa baru enam bulan sampai di sini.
Bukittinggi (ANTARA) -
Pasangan suami istri di Canduang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, mencoba menghidupkan kembali kain klasik khas Minangkabau dengan bahan serat alam. 

Melalui sebuah sanggar kerajinan yang dinamakan Studio Wastra, Nanda Wirawan (39) bersama suaminya Iswandi (45) memproduksi kain langka dari tenun seperti songket, sulaman, selendang serta baju khas dengan teknis sulam yang disesuaikan dengan corak dan motif khas tradisi Minangkabau yang sudah langka dengan bahan serat asli.

"Studio ini kami dirikan sejak 2013, dulu bernama studio tenun kemudian diganti studio Wastra sebagai bentuk upaya kami menghidupkan kembali budaya songket dan kain warisan Minangkabau dengan motif kuno dan bahan langka," kata Nanda di Canduang, Agam, Jumat.

Baca juga: Desainer Athan Siahaan ajak generasi muda cintai Tenun Nusantara

Menurutnya, kain yang diproduksinya tidak sama dengan hasil dari beberapa daerah terkenal perajin songket dan tenunan di Sumatera Barat seperti di Pandai Sikek, Silungkang dan Kubang.

Nanda bersama Iswandi dengan dibantu dua orang pengrajin  membuat songket dari kain tenun berbahan serat alam asli seperti katun, sutra, rami dan wol.

"Untuk benang motif emas, harus dipesan langsung dari Kyoto, yang merupakan daerah penghasil tenun klasik di Jepang, pesanannya bisa baru enam bulan sampai di sini," kata dia.

Menurutnya, proses produksi satu helai kain songket bisa memakan waktu hingga enam bulan.

Waktu selama itu tidak hanya untuk tenun dan sulam, tetapi juga karena harus melalui proses memasak benang, ekstraksi bahan pewarnaan, mencelup dan menggulung benang hingga finishing kain.

Baca juga: Dekranasda Bali ajak masyarakat kenakan kain tenun tradisional asli

Kerumitan dalam teknis pembuatan motif dan corak kain ini sangat tinggi, para pengrajin berusaha menyesuaikan dengan warisan nenek moyang Minangkabau yang terkenal dengan sentuhan sulaman yang sangat langka dan mempunyai arti cerita tersendiri dalam setiap motifnya.

"Salah satu teknik rumit ini seperti pembuatan satu motif yang biasanya hanya dibuat dengan 40 baris tenunan, maka kami menyesuaikan dengan kolektor kain warisan kuno yang ditemukan yaitu sebanyak 250 baris," kata dia.

Kain ini bisa bertahan hingga 100 tahun  karena berbahan alami dari alam dan benang langka.

Songket yang dihasilkan di Jorong Bingkudu, Nagari Canduang Koto Laweh, Kabupaten Agam, itu menjadi salah satu produksi kerajinan langka yang tidak bisa diproduksi dalam jumlah banyak karena tingkat kerumitan pembuatannya yang tinggi serta bahan yang susah didapatkan.

"Alhamdulillah, delapan helai songket kami sudah berada di Museum De Young San Fransisco Amerika, kolektor Jepang, Serbia, dan permintaan permaisuri Malaysia," kata dia.

Ia mengakui permintaan dari dalam negeri untuk kain langka ini belum begitu banyak saat ini.

"Hanya beberapa pesanan dari dalam negeri, salah satunya mantan Menteri Kelautan, Susi Pudjiastuti," kata dia.

Nanda Wirawan sebelumnya juga sering tampil dalam pagelaran seni Nasional dan Internasional dan bahkan diberikan penghargaan dari Unesco dengan titel "Seal of Excellence(Award of Excellence for Handicrafts)".

Untuk harga kain langka yang diproduksinya, Nanda bersikap rasional dengan biaya operasi dan bahan baku.

"Kisaran harga kain songket dan lainnya di sini kami pasang sesuai teknik kerumitan operasional dan bahan, antara Rp7,5 juta hingga Rp25 juta," kata dia.

Nanda berharap bentuk perhatian dari pemerintah daerah dengan upaya merevitalisasi kebudayaan lama Minangkabau khususnya di bidang kerajinan tangan berupa kain tenun, songket dan sulaman.


 

Pewarta: Miko Elfisha
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2021