Jakarta (ANTARA) - Ketua Ombudsman Republik Indonesia Mokhammad Najih mengingat bahwa rekomendasi yang dibuat oleh lembaganya merupakan produk hukum.

“Secara esensi sesungguhnya ketidakpatuhan terhadap rekomendasi (Ombudsman, Red) itu punya nilai yang sama dengan melanggar hukum, melanggar sumpah jabatan sebagai pegawai negeri, sebagai ASN (aparatur sipil negara, Red),” kata Mokh Najih saat membuka sesi diskusi di Jakarta, Selasa.

Ketua Ombudsman RI menyampaikan pernyataan itu saat pihaknya menggelar diskusi terkait aduan sejumlah warga negara Indonesia (WNI) keturunan Tionghoa yang kesulitan mendapatkan sertifikat hak milik (SHM) tanah di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Terkait hasil pemeriksaan aduan itu, Ombudsman RI sejak tahun lalu telah mengeluarkan surat rekomendasi bernomor 0001/2020 bahwa kantor pertanahan di lima daerah Provinsi D.I. Yogyakarta harus menindaklanjuti penerbitan SHM para pelapor karena mereka telah memenuhi seluruh syarat yang diatur oleh ketentuan perundang-undangan.

Baca juga: Sekda: DIY tidak berwenang menetapkan PSBB atau "lockdown"

Ombudsman dalam rekomendasinya juga meminta kepala kantor wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) di Yogyakarta dan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Sofyan Djalil melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan rekomendasi.

Pelaksana rekomendasi itu merupakan kantor pertanahan di Kabupaten Gunung Kidul, Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, Kabupaten Kulon Progo, dan Kota Yogyakarta.

Walaupun demikian, Menteri ATR/Kepala BPN Sofyan Djalil melalui suratnya ke Ombudsman RI pada 21 Desember 2020 menyatakan pihaknya belum dapat melaksanakan rekomendasi itu karena masih berlakunya Instruksi Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta No. K/898/I/A/1975.

Instruksi tersebut, yang diteken 46 tahun lalu, mengatur bahwa WNI keturunan non-pribumi dan WNI non-pribumi belum dapat memiliki tanah dengan status hak milik.

Oleh karena itu, Kementerian ATR/BPN menyarankan para pelapor agar menyertakan surat persetujuan kepemilikan tanah dari Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X.

Terkait usulan itu, Kepala Keasistenan Rekomendasi dan Monitoring Ombudsman RI Ratna Sari Dewi menerangkan tanah yang menjadi sumber persoalan adalah tanah biasa dan bukan milik Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat/Sultan Ground.

Baca juga: Yogyakarta lakukan penyesuaian aturan untuk perketat PPKM Mikro

Dengan demikian, penolakan pendaftaran peralihan hak kepemilikan tanah seharusnya mengacu pada ketentuan perundang-undangan, salah satunya Pasal 45 ayat (2) dan (3) Peraturan Pemerintah No. 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah. Ia juga menegaskan Instruksi Wakil Kepala Daerah yang diteken pada 1975 itu bukan bagian dari ketentuan perundang-undangan.

Dalam acara diskusi yang sama, Deputi III Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan RI Sugeng Purnomo berpendapat Ombudsman telah maksimal menunaikan tugasnya terkait masalah kepemilikan tanah di Yogyakarta.

“Kalau rekomendasi tidak dilakukan apa yang bisa diperbuat? Paling tidak kita bicara sanksi administrasi. Sanksi itu bukan kewenangan Ombudsman, tetapi atasan dari pejabat yang mestinya melaksanakan rekomendasi,” kata Sugeng menerangkan.

Menurut dia, polemik itu bersumber pada Instruksi Wakil Kepala Daerah No. K/898/I/A/1975. Ketentuan itu jadi pedoman bagi kantor pertanahan di Yogyakarta menolak penerbitan sertifikat hak milik tanah untuk warga keturunan Tionghoa.

Sikap kantor pertanahan yang berpedoman terhadap instruksi itu dapat dibenarkan, karena Yogyakarta merupakan provinsi yang menyandang status daerah istimewa, terang Sugeng saat diskusi.

Baca juga: Ombudsman dalami kesulitan warga dapatkan SHM tanah di DIY
 

Pewarta: Genta Tenri Mawangi
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2021