Karena standar kerugian negara itu harus nyata dan pasti dengan standarisasi proses pengukuran dan penilaian yang cukup standarnya
Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Agus Joko Pramono mengatakan BPK turut dalam pemberantasan korupsi melalui pemeriksaan terhadap pengelolaan keuangan di berbagai Kementerian dan Lembaga (K/L) pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan BUMN.

“Jadi dengan melakukan pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, pemeriksaan dengan tujuan tertentu untuk mendalami hal tertentu, maka sebenarnya kita sedang mengakses sistem kontrol mana, risk assessment mana, dari sistem yang sedang berjalan ini, yang menemui kendala atau ada permasalahan,” kata Wakil Ketua BPK Agus Joko Pramono dalam Workshop Anti Korupsi bertajuk “Deteksi dan Pencegahan Korupsi” yang dipantau di Jakarta, Selasa.

Ia mengatakan apabila pemeriksaan keuangan, kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu tersebut diintegrasikan, BPK dapat memproyeksikan risiko-risiko fraud atau proses yang menyimpang dari standar, pada masa yang akan datang.

Baca juga: Sri Mulyani pastikan jaga akuntabilitas keuangan dalam tangani COVID

Melalui pemeriksaan BPK, sistem kontrol internal yang lemah dalam suatu lembaga juga dapat terdeteksi. Selanjutnya BPK bisa memberikan rekomendasi untuk memperbaiki sistem kontrol internal tersebut.

BPK pun dapat menindaklanjuti deteksi tersebut dengan melakukan pemeriksaan investigatif, baik berdasarkan inisiatif BPK, maupun permintaan aparat penegak hukum.

“Kita juga berperan dalam proses penyidikan, penuntutan yang sifatnya represif, yaitu dengan perhitungan kerugian negara dan pemberian keterangan ahli di persidangan. Ini biasanya permintaan dari aparat penegak hukum yang merupakan tindak lanjut dari investigasi di BPK atau aparat penegak hukum,” kata Agus.

Ia menjelaskan kerugian negara yang dapat dihitung BPK harus bersifat nyata dan pasti, seperti pengurangan aset, kas, atau surat berharga negara. BPK tidak dapat menghitung kerugian negara yang disebabkan oleh kerusakan hutan di Riau atau penambangan di Papua.

“Karena standar kerugian negara itu harus nyata dan pasti dengan standarisasi proses pengukuran dan penilaian yang cukup standarnya. Karena itu, kita tidak bisa menyelesaikan itu yang karena UU atau pun pengaturannya belum ada sampai sekarang ini,” ujar Agus.

Baca juga: Temukan kelemahan realisasi Program PEN, BPK beri sejumlah rekomendasi

Pewarta: Sanya Dinda Susanti
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2021