Jakarta, (ANTARA News) - Bencana banjir yang menelan korban jiwa dan kerugian materiil cukup besar di Jember pada Minggu malam (1/1) adalah fakta kesekian kalinya untuk mengingatkan bahwa Pulau Jawa berada dalam kondisi kritis dan rawan bencana. Dengan luas 13 juta hektar, Pulau Jawa hanya memiliki 1,9 juta hektar tutupan hutan yang tersebar diberbagai provinsi sehingga dengan kondisi seperti itu, praktis Jawa menjadi pulau dengan tingkat kerawanan bencana yang cukup tinggi, demikian siaran pers Walhi yang diterima ANTARA di Jakarta, Rabu (4/1). Menurut Direktur Eksekutif Walhi, Chalid Muhammad, banjir bandang hanyalah salah satu indikator adanya kerusakan pada kawasan hutan sehingga tidak tertutup kemungkinan bencana lainnya akan mendatangi Jawa dan menjadi" menu tahunan" masyarakat Jawa. Walhi menilai, bencana banjir bandang di Jember itu tidak terlepas dari inkonsistensi peruntukan kawasan di daerah hulu sehingga berpengaruh pada kawasan di bawahnya. "Pemerintah cenderung melakukan praktek pembiaran atas kawasan-kawasan yang memiliki hidro-orologis," katanya. Wilayah Keputran, misalnya, dengan kelerengan lebih dari 40 derajat seharusnya tidak diperuntukkan bagi kawasan budidaya, namun wilayah itu justru menjadi sentra penghasil kopi. Demikian pula dengan wilayah Besuki dan Rembangan dengan bukaan hutan yang luar biasa sehingga berpengaruh pada fungsi hidro-orologis hutan. Pulau Jawa, menurut Chalid, pada dasarnya telah mencapai titik jenuh. Dengan jumlah penduduk yang kian padat telah memacu konversi lahan yang dilakukan secara membabi buta dan menempatkan Jawa sebagai kawasan dengan potensi bencana cukup tinggi. "Sudah saatnya pemerintah berkomitmen dan bertindak nyata untuk menyelamatkan Pulau Jawa. Semua bisa dimulai dengan mengoreksi ulang kebijakan ruang pengelolaan sumber daya alam secara mendasar," demikian Chalid.(*)

Copyright © ANTARA 2006