Jakarta (ANTARA News) - Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo - yang juga akrab dipanggil Foke - mengakui adanya kesalahan prosedur dalam penghentian alokasi dana APBD DKI untuk Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta.

"Saya sudah cek Biro Hukum jawabannya tidak jelas. Ini kejadiannya hampir serupa dengan Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin," kata Foke di Balaikota DKI Jakarta, Jumat.

Gubernur pun berjanji untuk menuntaskan permasalahan dana ke LBH tersebut.

"Saya sudah minta supaya diluruskan kembali. Saya kira ini adalah pola pikir yang sedikit keliru dari SKPD (satuan kerja perangkat daerah) DKI," katanya.

Dia mengaku telah memerintahkan SKPD terkait untuk mengurus dua hal mengenai alokasi dana untuk LBH Jakarta.

"Saya memang memerintahkan untuk memperbaiki gedungnya, gedung dibuat, yang rutin dikurangi. Padahal ini kan dua hal yang berbeda. Pertama adalah untuk memang fasilitas sarana dan prasarananya, yang kedua kelangsungan hidup organisasi," kata dia.

Foke menegaskan komitmennya untuk tetap membantu LBH DKI Jakarta.

"Yang jelas, sejak berdirinya LBH sudah punya komitmen, saya tidak akan meninggalkan komitmen pribadi, tapi kalau dari bantuan Pemerintah DKI sudah saya jelaskan," katanya.

Sebelumnya, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menyatakan organisasi itu tengah mengalami krisis keuangan, tercatat per 20 Mei 2011 keuangan lembaga non pemerintah itu hanya memiliki dana Rp27 juta - jumlah yang hanya bisa mendanai bantuan hukum untuk sebulan ke depan.

"Kondisi ini tidak terprediksi sebelumnya oleh managemen LBH Jakarta, dan ini lebih dipengaruhi oleh tertundanya komitmen pemberian dana dari beberapa lembaga donor," kata anggota pengurus LBH Jakarta Nurkholis Hidayat, di Jakarta, Kamis.

Menurut Nurkholis Hidayat, meskipun tidak akan sampai menghentikan operasional LBH Jakarta, krisis keuangan ini akan berdampak pada terganggunya layanan bantuan hukum cuma-cuma dan kegiatan pemantauan publik terhadap kebijakan negara.

Sementara itu, katanya, beberapa lembaga donor tidak lagi memperpanjang dukungan keuangannya kepada LBH Jakarta karena kebijakan pengetatan keuangan pemerintah tempat lembaga donor berasal.

"Sejak dihentikannya donasi dari APBD DKI pada 2008, LBH Jakarta menghadapi tantangan besar dalam membiayai kerja-kerja bantuan hukum," katanya.

Terlebih kebijakan dari sejumlah lembaga donor yang menolak untuk mendanai kerja-kerja bantuan hukum, penanganan kasus per kasus, karena dianggap sebagai tanggungjawab pemerintah Indonesia.

Selama ini sejumlah donasi untuk program advokasi kebijakan yang didanai, telah digunakan untuk mensubsidi pemberian layanan bantuan hukum cuma-cuma.

Sementara, pemerintah tidak memberikan dukungan keuangan apapun untuk pelaksanaan kerja bantuan hukum, yang sebenarnya merupakan hak konstitusional warga negara.

"Padahal setiap tahun LBH Jakarta menangani seribu pengaduan, belum termasuk pendidikan hukum bagi masyarakat marjinal dan upaya mendorong perubahan kebijakan yang pro rakyat miskin.

Termasuk RUU Pekerja Rumah Tangga, RUU Bantuan Hukum, RUU KUHAP, RUU Pengadaan Tanah, RUU Jaminan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan, PERDA Ketertiban Umum, PERDA Perpasaran, dan lainnya," katanya.

Pada 2010, LBH Jakarta menerima 1.150 pengaduan dan yang terbantu sebanyak 201.165 orang (catatan tahun 2010).

Dalam 5 tahun terakhir, LBH Jakarta menerima tidak kurang dari seribu pengaduan dengan jumlah orang terbantu rata-rata 59.900 orang per tahun.

Sementara itu, menjelang akhir semester 2011 (31 April 2011), LBH Jakarta menerima pengaduan kasus sebanyak 447 kasus dengan 3.949 orang terbantu.

"Untuk membiayai kerja-kerja tersebut, setiap bulan LBH Jakarta membutuhkan biaya sedikitnya Rp70 juta untuk keperluan operasional kantor dan overhead, termasuk transportasi, kurir, peralatan kantor, komunikasi dan gaji untuk 17 staf, atau sekitar kurang lebih Rp800 juta per tahun," katanya.
(N006)

(ANTARA)

Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2011